Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ketua Dewan Pengawas Girls Not Brides, Mabel van Oranje: Saatnya Indonesia Mengakhiri Pernikahan Anak

JADWAL lawatan Putri Mabel van Oranje di Indonesia padat. Selama sepekan sejak 4 Maret lalu, ia mengunjungi Rembang, Sukabumi, dan Lombok Barat.

25 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Dewan Pengawas Girls Not Brides, Mabel van Oranje: Saatnya Indonesia Mengakhiri Pernikahan Anak

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JADWAL lawatan Putri Mabel van Oranje di Indonesia padat. Selama sepekan sejak 4 Maret lalu, ia mengunjungi Rembang, Sukabumi, dan Lombok Barat. Di tiga daerah itu, Mabel mengkampanyekan program "Yes I Do" untuk mencegah dan memutus rantai pernikahan anak.

"Jika Anda ingin mengakhiri pernikahan anak, Anda harus melakukannya sejak tingkat lokal," ujar Mabel. Ia juga bertemu dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi serta Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani.

Mabel adalah anggota keluarga Kerajaan Belanda. Ia adik ipar Raja Belanda Willem-Alexander. Namun perempuan 49 tahun ini juga dikenal luas sebagai aktivis sosial dan politik. Melalui berbagai organisasi nirlaba, ia aktif berkampanye tentang perlindungan hak asasi manusia.

Pada 2011, Mabel mendirikan Girls Not Brides, kemitraan global yang berfokus memerangi pernikahan anak. Terdaftar sebagai lembaga independen di Inggris dan Wales sejak 2013, Girls Not Brides kini berjejaring dengan lebih dari 900 organisasi masyarakat sipil di 95 negara.

Di Indonesia, organisasi yang dipimpin Mabel bekerja sama dengan Plan Indonesia, Rutgers WPF Indonesia, dan The Independent Youth Alliance. Lewat program "Yes I Do", yang telah berjalan di 12 desa di Rembang, Sukabumi, dan Lombok Barat, Mabel berupaya meningkatkan pemahaman tentang risiko pernikahan dini, terutama bagi anak perempuan.

Mabel menerima wartawan Tempo Mahardika Satria Hadi dan Angelina Anjar Sawitri di Erasmus Huis, Jakarta Selatan, Kamis tiga pekan lalu. Ibu dua anak ini menceritakan bagaimana terbatasnya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi berdampak besar pada pernikahan dini.

Bagaimana fenomena pernikahan anak di Indonesia?

Satu dari sembilan gadis di Indonesia menikah sebelum berumur 18 tahun. Jika Anda melihat ukuran negara Anda, yang jelas sangat besar, artinya sangat banyak gadis yang menjadi pengantin anak. Mereka kebanyakan akhirnya putus sekolah. Sering kali mereka hamil terlalu dini dan belum siap menjadi ibu. Akibatnya, tingkat kematian ibu di antara gadis-gadis ini cukup tinggi.
Seberapa mengkhawatirkan?
Sangat mengkhawatirkan. Tingkat pernikahan anak di Indonesia sebesar 12 persen. Angka itu memang masih di bawah rata-rata global. Tapi tetap saja menciptakan kerugian besar. Dengan menyetop pernikahan anak, pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia bakal meningkat 1,7 persen. Itu angka yang besar meski masih perkiraan konservatif.
Saya pernah ke sini sebagai turis 20 tahun lalu. Saya kini melihat betapa ekonomi Indonesia tumbuh. Jika ekonomi tumbuh, Indonesia akan jauh lebih sejahtera. Itulah sebabnya saya pikir pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk mengakhiri pernikahan anak.
Di mana Anda menemukan angka pernikahan anak tertinggi?
Pernikahan anak lebih sering dijumpai di perdesaan ketimbang perkotaan. Lebih banyak di keluarga miskin daripada keluarga kaya. Seperti di negara lain, pernikahan anak terjadi di semua agama. Saya menjumpainya di Bali, Lombok, dan daerah lain yang warganya penganut Kristen.
Bagaimana peran pemuka agama?
Agama bisa memainkan peran di sini. Pemimpin agama terkadang dapat mendorong pernikahan anak. Tapi ada pula pemimpin agama yang tegas mengatakan bahwa pernikahan anak bukan hal yang baik. Tahun lalu, sekelompok ulama perempuan (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) telah menolak pernikahan anak. Mereka menyadari ini berbahaya.
Peran pemuka adat?
Seperti pemimpin agama, pemuka adat terkadang dapat mendorong praktik pernikahan anak.
Apa yang Anda pelajari setelah berkunjung ke daerah?
Di Lombok, saya bertemu dengan para pemuka adat yang sebenarnya ingin pernikahan anak dihentikan. Mereka beranggapan bahwa merarik, tradisi Sasak yang menyatakan perempuan tak boleh menikah sampai berusia 24 tahun, sudah tepat. Ketika Anda menikah, Anda harus mendapat persetujuan dari perempuan itu.
Bagaimana faktor pendidikan seks?
Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi yang terbatas berdampak besar pada pernikahan dini. Berbicara tentang seksualitas memang tidak mudah. Sebagian orang menganggap hal itu memalukan. Anda menyebutnya "tabu".
Saya berbincang dengan beberapa siswa perempuan. Dari para pendidik, mereka diberi tahu bahwa mereka tidak boleh hamil sebelum menikah. Tapi, ketika saya tanya tentang bagaimana mereka bisa hamil, mereka tidak paham. Ada kebingungan di sana, dan saya pikir itu tidak adil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus