Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah lima dekade pemerintahan dinasti yang brutal, rakyat Suriah merayakan jatuhnya Bashar al Assad. Namun, para analis memperingatkan bahwa situasi tetap tidak menentu dan rentan akibat munculnya kekosongan kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok pemberontak yang dipimpin oleh militan Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS) melancarkan serangan kilat yang berhasil merebut kota-kota besar dalam waktu kurang dari dua minggu dan menggulingkan presiden setelah memasuki ibu kota Damaskus pada Minggu, 8 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa ini mengakhiri perang saudara berkepanjangan yang dimulai pada 2011, ketika Assad dengan keras menindak demonstrasi anti-pemerintah, menyebabkan ratusan ribu kematian dan jutaan orang mengungsi.
Meskipun Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut ini sebagai “kesempatan bersejarah” bagi rakyat Suriah untuk membangun masa depan yang lebih baik, masih menjadi pertanyaan siapa yang akan mengisi kekosongan kepemimpinan. Kekhawatiran akan munculnya pemimpin yang lebih buruk dari Assad juga menghantui, yang dapat memicu kekerasan lebih lanjut dan menimbulkan risiko baru di kawasan tersebut.
Siapa yang Akan Memerintah Suriah?
Mengutip CNA, HTS yang memimpin pemberontakan diperkirakan menjadi aktor utama dalam pemerintahan Suriah. Namun, hubungan masa lalunya dengan al-Qaeda menjadi tantangan besar karena kelompok ini telah diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh PBB, Amerika Serikat, dan Turki.
Sejak memutus hubungan dengan al-Qaeda pada 2016, HTS mencoba merubah citra dengan menampilkan pemimpinnya, Abu Mohammed al-Golani, sebagai pendukung pluralisme dan toleransi. Meski demikian, para analis khawatir apakah HTS dapat menyeimbangkan nilai-nilai Islamnya dengan realitas masyarakat Suriah yang sekuler.
Aktor Internasional Berebut Pengaruh
Kekosongan kekuasaan di Suriah memicu intervensi dari berbagai negara asing. Rusia dan Iran, yang telah lama mendukung Assad, kini berebut mempertahankan pengaruh mereka.
Moskow dilaporkan sedang merundingkan kesepakatan dengan pemberontak untuk mempertahankan pangkalan militer mereka di Suriah, termasuk pangkalan udara Hmeimim dan fasilitas angkatan laut Tartous di Laut Tengah. Kehilangan pangkalan ini akan melemahkan kemampuan Rusia untuk memproyeksikan kekuatan di kawasan.
Di sisi lain, Iran kemungkinan akan terus mencari cara untuk mempertahankan pengaruhnya, meskipun sekutunya, Hizbullah, dilemahkan oleh konflik dengan Israel.
Bisakah Pengungsi Suriah Pulang?
Saat ini, sekitar 5,5 juta jiwa pengungsi Suriah tinggal di negara-negara tetangga seperti Turki, Lebanon, dan Mesir. Sementara sekitar 4,5 juta jiwa lainnya mengungsi ke Eropa. Nasib mereka bergantung pada perkembangan politik di negara-negara tuan rumah dan situasi keamanan di Suriah yang tetap tidak stabil.
Meskipun beberapa negara Eropa telah mempertimbangkan untuk mengembalikan pengungsi, analis memperingatkan bahwa pulang ke Suriah mungkin masih terlalu berisiko.
Harapan untuk Suriah
Rifaie Tammas, aktivis dan pengungsi asal Suriah yang kini menjadi peneliti di Universitas Western Sydney, menyebut kejatuhan Assad sebagai kemenangan besar melawan rezim otoriter.
“Kami telah memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman setelah 50 tahun hidup di bawah kediktatoran. Tidak peduli siapa yang berkuasa, kami akan terus memperjuangkan kebebasan kami," dia menegaskan.