ORIANA Fallaci seorang wanita yang bermulut tajam. Tapi wartawan ini, 49 tahun, jadi perhatian dunia justru karena mulutnya dan tekadnya menembus pertahanan tokoh-tokoh dunia -- hingga mereka bersedia diinterview. Shah Iran dan Henry Kissinger, misalnya, pernah ditaklukkannya, meskipun mereka ini kemudian berang. Maka tiap wawancara Fallaci adalah berita dunia. Tapi berita dunia terbesar tentang Oriana Fallaci pastilah ketika ia mewawancarai Ayatullah Khomeini September yang lalu. Bagaimana pemimpin keagamaan dan penguasa tertinggi Iran-yang menyuruh wanita memakai cadar ini -- mau diwawancarai seorang wanita yang bermulut tajam? Fallaci memang mengenakan cadar, untuk wawancara itu. Tapi kemudian ia mencampakkannya di depan Khomeini seraya memakai pakaian "kuno" itu. Sang Ayahtullah dengan cepat meninggalkan ruangan. Tapi toh ia bersedia menerima Fallaci esok harinya lagi. Munkin Fallaci diterima karena wawancaranya dengan Shah dulu pernah dilarang beredar oleh Shah sendiri. Belum diketahui apakah kali ini wawancaranya juga akan dilarang oleh musuh Shah terbesar. Beberapa petikan, dari The New York Times Magazine, 7 Oktober: FALLACI: Imam Khomeini, negeri ini di tangan anda. Tiap keputusan anda merupakan perintah. Maka banyak orang di negeri ini yang mengatakan di Iran tak ada kemerdekaan, bahwa revolusi tak membawa kemerdekaan. KHOMEINI: Iran bukan berada di tangan saya. Iran berada di tangan rakyat, sebab rakyatlah yang menyerahkan negeri ini kepada orang yang merupakan abdi mereka, dan yang menginginkan hanya apa yang baik bagi mereka. Anda sendiri melihat bagaimana -- setelah meninggalnya (Ayatullah) Taleghani - berjuta orang turun ke jalan tanpa ancaman kekerasan. Ini menunjukkan ada kemerdekaan. Ini juga menunjukkan bahwa rakyat hanya mengikuti orang yang mengabdi Tuhan. Dan itulah kemerdekaan. .... Tapi anda menakutkan.... Dan bahkan kerumunan orang yang menyerukan nama anda juga menakutkan. Apa perasaan anda -- mendengarkan mereka menyeru seperti itu, siang dan malam, anda tahu bahwa mereka di sana, semuanya duduk di sana berjam-jam, didorong-dorong, mau menderita untuk dapat melihat wajah anda biar sebentar, dan menyerukan puji-pujian untuk anda? Saya menyenangi itu. Saya senang mendengar dan melihat mereka. Sebab merekalah orang-orang yang juga bangkit dan menyingkirkan musuh di dalam dan di luar. Sebab tepuk tangan mereka merupakan lanjutan dari pekik yang dulu telah menumbangkan si perampas kekuasaan. Sampai negeri ini reda kembali rakyat harus tetap berapi-api, siap untuk mau dan menyerbu lagi. Lagi pula, ini adalah cinta suatu rasa cinta yang cerdas. Mustahil untuk tidak menyenangi itu. Cinta atau sikap fanatik, Imam? Menurut saya itu adalah sikap fanatik, dan dari jenis yang paling berbahaya. Maksud saya, fanatisme fasis .... Tidak, itu bukan fasisme ataupun fanatisme. Saya ulangi, mereka berseru demikian karena mereka mencintai saya, dan mereka mencintai saya karena mereka merasa bahwa saya memperhatikan mereka, bahwa saya bertindak untuk kebaikan mereka. Artinya, untuk menjalankan perintah Islam. Islam adalah keadilan. Kediktaturan merupakan dosa terbesar dalam agama Islam. Fasisme dan Islamisme secara mutlak tak dapat dipertemukan. Fasisme bangkit di Barat, bukan di antara bangsa yang berkebudayaan Islam. Mungkm kita saling tak sepaham tentang arti kata Fasisme, Emam. Dengan fasisme yang saya maksudkan ialah sebuah peristiwa populer, macam yang di Italia dulu ketika orang banyak mengelu-elukan Mussolini, sebagaimana di sini mereka mengelu-elukan anda, dan mereka mematuhi Mussolmi seperti mereka kini mematuhi anda. Tidak. Sebab rakyat kami Muslim, dididik oleh para ulama -- yakni orang yang mengajarkan kerohanian dan kebajikan. Fasisme hanya mungkin di sini bila Shah kembali atau komunisme mengambil alih. Ya, yang anda katakan hanya bisa terjadi bila komunisme menang dan menyapu bersih kami. Berseru mengelu-elukan, bagi saya, berarti mencintai kemerdekaan dan demokrasi. .....Dalam pidato di Qum anda pernah bilang bahwa untuk jadi modern berarti harus membentuk manusia yang punya hak memilih dan mengritik. Tapi surat kabar progresif Ayandegan ditutup. Dan juga semua suratkabar kiri. Suratkabar Ayandegan . . . punya hubungan dengan kaum Zionis ia memperoleh ide-idenya dari mereka untuk merusak negeri ini. Hal yang sama berlaku buat semua suratkabar yang oleh jaksa agung revolusi dianggap subversif, dan kemudian ditutup: koran-koran yang melalui oposisi palsu, mencoba mengembalikan rezim lama dan melayani kepentingan asing. Kami tutup mereka karena kami tahu siapa mereka, dan apa yang mereka kejar. Dan ini tidak bertentangan dengan kemerdekaan. Ini dilakukan di mana-mana. Di sini, Imam, saya harus bertanya apa yang anda maksud dengan kemerdekaan. Kemerdekaan tidak mudah mendefinisikan pengertian ini. Baiklah kita sebut bahwa kemerdekaan adalah bila anda dapat memilih ide-ide anda sendiri dan berfikir tentang itu bila anda suka, tanpa dipaksa untuk berfikir yang lain. Baiklah kita katakan bahwa kemerdekaan berarti hidup di manapun yang kita suka, dan melakukan pekerjaan yang anda sukal. Berfikir, bukan untuk menyatakan atau mengkongkritkan fikiran itu? Dan apa demokrasi menurut pengertian anda, Imam? . . . Anda pernah melarang kata "Republik Demokrasi Islam". Anda larang kata demokrasi, seraya mengatakan, "Tak boleh lebih sepatah kata pun, tak boleh kurang." Akibatnya rakyat yang percaya pada anda menggunakan istilah "demokrasi" seakan-akan itu sepatah kata yang kotor. Apa salahnya dengan kata itu, yang terasa indah bagi kami di Barat? Pertama-tama, kata Islam tak memerlukan ajektif seperti "demokratis" segala. Sebab justru Islam adalah segala-galanya, ia berarti segala-galanya. Sungguh menyedihkan bagi kami untuk menambahkan satu kata di dekat kata Islam, yang sempurna itu. Di samping itu, demokrasi ini, yang anda begitu cintai, dan yang anda anggap begitu berharga, tak punya makna yang persis. Demokrasinya Aristoteles satu hal, demokrasinya Soviet hal lain, dan demokrasi dari kapitalisme lain pula lagi. Kami tak dapat memakai pengertian yang kabur itu untuk ditaruh dalam Konstitusi kami. Akhirnya, baiklah saya beri satu contoh untuk anda apa yang saya maksud dengan demokrasi. Ketika Sayidina Ali menggantikan Nabi dan menjadi pemimpin negara Islam .... ia kebetulan bersengketa dengan seorang Yahudi. Dan Yahudi itu membuat ia dipanggil hakim, dan Ali menerima panggilan itu, dan pergi menghadap. Dan ketika ia memasuki ruangan, sang hakim berdiri, tapi Ali berkata kepadanya dengan marah, "Kenapa anda bangun waktu saya masuk tapi tidak bangun ketika orang Yahudi itu masuk? Di depan hakim kedua pihak yang bersengketa harus diperlakukan sama." Kemudian, ia bersedia menerima keputusan hakim, yang tak menguntungkannya. Saya tanya sekarang kepada anda, . . dapatkah anda memberi contoh yang lebih baik tentang demokrasi? Imam, demokrasi berarti jauh lebih dari itu saja. Ini dikatakan oleh banyak orang Iran juga. Orang-orang Iran yang juga tak paham ke arah mana Republik Islam anda akan dibawa. Jika orang asing seperti anda tidak paham, sayang. Ini bukan urusan anda, anda tak punya soal dengan pilihan yang kami ambil. Jika beberapa orang Iran tak memahami ini, sayang bagi mereka. Itu berarti mereka tak memahami Islam. Yah, yang pasti mereka paham despotisme yang dilakukan kaum ulama sekarang, Imam. Dalam menyusun rancangan Konstitusi, majelis para ahli meloloskan satu pasal, pasal kelima, yang menentukan bahwa pemimpin negeri ini haruslah pemegang wewenang keagamaan tertinggi. Artinya, anda. Dan keputusan tertinggi hanya akan dibuat oleh mereka yang memahuni benar-benar Qur'an. Artinya, ulama. Tidakkah ini berarti, menurut Konstitusi, politik akan seterusnya ditentukan oleh para rohaniawan dan bukan orang lain? Hukum ini, yang akan disetujui rakyat, tidaklah sama sekali bertentangan dengan demokrasi. Karena rakyat mencintai ulama, mempercayai ulama, ingin dibimbing oleh ulama, maka benar bahwa pemegang wewenang keagamaan tertinggi harus mengawasi kerja Perdana Menteri atau Presiden dari republik ini, untuk menjamin kepastian bahwa mereka tak berbuat salah atau melawan hukum, artinya bertentangan dengan Qur'an . . . Baiklah kita pertimbangkan sebentar keadilan yang diatur oleh kaum ulama, Imam. Marilah kita bicara tentang 500 hukuman mati yang dilakukan di Iran sejak kemenangan. Setujukah anda akan cara ringkas yang dipakai dalam peradilan itu, tanpa pembela, tanpa kesempatan untuk naik bandin? Jelaslah di Barat anda mengabaikan, atau pura-pura mengabaikan, siapa yang dihukum mati. Mereka orang yang ambil bagian dalam pembunuhan besar di jalan raya dan alun-alun, atau yang memerintahkan pembunuhan itu, atau yang membakari rumah, menyiksa, memotong lengan dan kaki orang yang diinterogasi. Apa yan harus dilakukan: mengampuni dan membebaskan mereka? Hak untuk membela diri, dan menjawab tuduhan -- kami beri mereka kesempatan itu. Tapi sekali kesalahan mereka terbukti, apa perlunya naik banding? Imam, bagaimana mungkin membandingkan seorang anggota Savak yang pembunuh dengan seorang warga negara yang melakukan kebebasan seks? Misalnya anak yang mereka tembak kemarin, karena berbuat sodomi. Korupsi, korupsi. Kami harus membasmi korupsi. Ambil contoh gadis berumur 18 tahun yang hamil, yang ditembak mati di Bishar, beberapa minggu yang lalu, karena zina Hamil? Bohong, bohong. Kebohongan seperti yang mereka sebarkan tentang pemotongan susu wanita. Dalam Islam, hal begitu tak terjadi. Kami tak menembak wanita hamil dalam Islam. Bukan bohong, Imam. Semua koran Iran mengabarkan berita itu, dan ada debat di televisi sebab pacar si wanita hanya dihukum cambuk 100 kali. Jika itu benar, artinya wanita itu memperoleh apa yang layak baginya. Apa yang saya ketahui tentang soal-soal kecil? Wanita itu pasti telah berbuat sesuatu yang serius. Tanya saja mahkamah yang menghukumnya. Berhentilah berbicara tentang soal ini. Saya jadi capek. Ini bukan soal penting. Baiklah, Imam. Mari kita bicara soal Shah. Andakah yang memerintahkan agar Shah dihukum mati di luar negeri, dan bahwa siapa saja yang melakukan itu adalah pahlawan, dan bila ia mati dalam tugas, ia akan masuk sorga? Bukan! Bukan saya. Sebab saya ingin agar Shah dibawa ke Iran untuk diadili di depan khalayak, untuk 50 tahun kejahatannya terhadap rakyat Persia, termasuk kejahatan pengkhianatan dan perampokan. Jika Shah terbunuh di luar negeri, uang itu akan hilang. Tapi bila sebaliknya ia kami adili di sini, kami dapat memperoleh uang itu kembali. Tidak, tidak, saya tak ingin ia terbunuh di luar negeri. Saya menginginkannya di sini, di sini. Dan agar itu terlaksana, saya mendoakan kesehatannya, seperti halnya Ayatullah (Kazem Shariat) Madari mendoakan kesehatan Riza Pahlevi bapak Pahlevi yang sekarang, yang juga melarikan diri dari negeri ini dengan membawa uang banyak. Tapi jika Shah kembali dengan membawa uang, apakah anda akan menghentikan pemburuannya? Untuk uang itu, jika ia benar-benar mengembalikannya, ya. Tapi dalam soal pengkhianatannya kepada negeri ini, dan kepada Islam, tidak. Bagaimana ia dapat diampuni setelah pembunuhan massal 16 tahun yang lalu -- atau pembunuhan massal Jum'at Hitam setahun yang silam? Bagaimana ia dapat diampuni setelah semua kematian yang ditinggalkannya? Hanya jika mereka yang mati dapat hidup lagi, saya dapat mengampuninya, dan menerima uang itu. Apakah itu berlaku juga buat keluarganya? . . . Jika keluarganya tak ambil bagian dalam kejahatan apapun, saya tak melihat kenapa mereka harus dihukum. Menjadi keluarga Shah tidak dengan sendirinya suatu kejahatan. Anaknya Reza, misalnya, tak mengotori dirinya dengan kejahatan, sepanjang yang saya ketahui. Jadi, saya tak punya alasan memusuhinya. Dia dapat pulang ke Persia, ke Iran, kapan saja ia mau, dan hidup di sini sebagai warganegara yang normal. Biarkan dia kembali. Pasti dia tak akan kembali, Imam. Dan bagaimana dengan Farah Diba (isteri Shah) ? Mahkamah akan memutuskan tentang dia. .... Imam, banyak pertanyaan yang ingin saya ajukan. Misalnya soal cadar yang harus saya pakai ini, untuk menghadap anda, dan yang anda desakkan agar dipakai semua wanita. Katakanlah, kenapa anda memaksa mereka menyembunyikan diri, semua terbungkus pakaian yang tak enak dan mokal (absurd) ini, hingga sulit bekerja dan bergerak? Padahal di sini wanita sudah menunjukkan bahwa mereka setaraf pria. Mereka berjuang seperti pria, dipenjara dan disiksa. Mereka juga membantu mengadakan revolusi. Wanita yang punya sumbangan kepada revolusi dulu dan sekarang adalah wanita berpakaian Islam, bukan wanita berdandan . . . seperti anda, yang berkeliling tanpa tertutup, dan menyeret sederet pria membuntuti. Para pesolek yang berias dan turun ke jalan mempertontonkan leher, rambut dan bentuk tubuh mereka, tidak berjuang melawan Shah. Mereka tak berbuat apapun yang baik . . . Mereka tak tahu caranya jadi berfaedah, baik secara sosial, politik ataupun profesional. Dan ini karena, dengan membuka diri mereka sendiri, mereka mengacaukan fikiran pria, mengganggu hati mereka. Lalu mereka mengacaukan pula fikiran wanita lain dan mengganggu hati mereka juga. Itu tidak betul, Imam. Betapa pun juga, saya tak hanya berbicara tentang sepotong pakaian, tapi apa yang ditunjukkan dengan pakaian itu. Yakni, keadaan dibeda-bedakan yang kini diberlakukan lagi bagi wanita setelah revolusi. Bahwa mereka tak dapat belajar di universitas bersama pria, atau bekerja dengan pria, misalnya, atau pergi ke pantai atau kolam renang dengan pria. Mereka harus menyemplung berjauhan, sambil mengenakan cadar. O, ya, bagaimana orang berenang dengan mengenakan cadar? Ini bukan urusan anda. Adat kami bukan urusan anda. Jika anda tak menyu.kai pakaian Islam anda tak diwajibkan mengenakannya. Sebab pakaian Islam adalah untuk wanita muda baik-baik dan patut. Anda baik sekali, Imam. Ian karena anda berkata demikian, saya akan menanggalkan gombal kuno dan bodoh ini sekarang. Nah, 'tu. Beres sudah. Tapi coba katakan. Seorang wanita seperti saya ini, yang selalu hidup di antara pria, menunjukkan lehernya, rambutnya, kupingnya, yang pernah berada dalam perang dan tidur di garis depan di medan pertempuran di antara prajurit, menurut anda ia wanita tak bermoral, berandal dan tak patut? Hati nurani anda tahu jawabnya. Saya tak menghakimi soal pribadi. Saya tak tahu apakah anda bermoral atau tidak, apakah anda bertingkah patut atau tidak dengan para prajurit di garis depan itu. Tapi saya tahu, sepanjang umur saya yang lama ini, yang saya ucapkan selamanya benar. Jika sepotong pakaian ini tak ada -- pakaian Islam ini -- wanita tak akan dapat bekerja dalam cara yang sehat serta bermanfaat. Bahkan pria juga tak akan dapat. Hukum kami adalah hukum yang valid. . . . Dalam menjalankan hukum itu, anda bahkan menghidupkan larangan terhadap musik dan alkohol. Katakanlah, kenapa berdosa minum segelas anggur atau bir, bila kita haus atau bila sedang makan? Dan mengapa mendengarkan musik juga dosa? Para pendeta kami minum dan menyanyi -- malah Paus juga. Apakah itu berarti Paus seorang pendosa? Aturan pendeta anda tak menarik perhatian saya. Islam melarang minuman keras dan itu cukup sudah. Islam melarangnya dengan mutlak, sebab minum menyebabkan orang kehilangan kepala dan mengganggu fikiran jernih. Bahkan musik mempermajal mental, karena ia menyangkut kenikmatan dan kegairahan, mirip obat bius. Musik anda, maksud saya. Biasanya musik anda tak mengangkat rohani, tapi menidurkannya. Dan ia menghancurkan para pemuda kami, yang jadi keracunan olehnya, hingga mereka tak peduli lagi akan tanah air mereka. Juga musik Bach, Beethoven, Verdi? Saya tak mengenal nama-nama itu. Tapi bila musik mereka tak mempermajal mental, mereka tak akan dilarang. Beberapa musik anda tak dilarang. Misalnya, lagu mars dan lagu pengiring untuk berbaris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini