SUDAH 3 tahun Timor Timur berintegrasi ke dalam wilayah RI.
Umumnya keamanan baik, kecuali sebelah timur Los Palos dan
Matabean. "Senjata mereka sudah tidak ada artinya," ujar Kol.
Soebroto, Pelaksana Komando Taktis Timor Timur. Diharapkan akhir
tahun depan keamanan seluruh wilayah propinsi ke-27 ini sudah
mantap.
Tidak disangkal, masih ada gerombolan Fretilin di hutan dan
pegunungan. Tapi di Kabupaten Baucau misalnya, tinggal satu dua
orang saja. "Mereka sebenarnya ingin pulang tapi masih
ragu-ragu," kata Letkol Hendrokusumo, Dan Dim Baucau.
"Gerombolan di hutan-hutan juga tinggal sedikit. Mereka ingin
turun tapi takut balas dendam penduduk," kata Abel Gomes, ketua
DPRD tk II Kabupaten Kovalima. Perjalanan 2 hari dari Dili ke
Kovalima di pantai selatan juga tidak menjumpai gangguan apa-apa
seperti yang misalnya dilakukan Dan Dim Kovalima, Mayor Rasyid
belum lama ini.
Gerombolan bisa ditumpas. Tapi keadaan alam, di masa perang atau
damai sama saja. Seperti halnya daerah lain di Indonesia, Timor
Timur beriklim tropis, tapi coraknya musson, dipengaruhi
perubahan musim di Australia. Ketika Australia musim vinter
(Juli-Agustus) di Timor Timur justru sedang musim kemarau
dengan suhu 18ø C. Ketika Australia musim summer (April-Mei), di
Timor Timur sedang musim penghujan dengan suhu sampai 32ø C.
Menunggu Bibit
Di musim penghujan, Desember-Mei, hujan turun setiap hari di
Tim-Tim. Sungai-sungai yang semula kering, meluap. Dataran
rendah yang terdiri savana (padang rumput) dan steppa (semak
belukar) kebanjiran. Hanya ada 2 sungai yang mengalirkan air
sepanjang tahun: Sungai Laclo dan Sungai Lois.
Musim kemarau di Tim-Tim memang lebih lama, sejak Mei sampai
Oktober. Hampir tak ada hujan, banyak rerumputan dan tanaman
lain mati. Tanah pun banyak yang rengkah. Ternak banyak mati
kehausan dan kepanasan. Di bulan Oktober seperti baru lalu
kemarau yang gersang amat terasa di Dili, ibukota propinsi Timor
Timur itu.
"Sekarang sudah damai, tapi gersang," ucap seorang pejabat di
Dili bergurau mengingatkan judul sebuah lagu pop. Wartawan TEMPO
pertengahan Oktober lalu sempat ikut terbang dengan tim survai
pembangunan kehutanan Dirjen Kehutanan di atas Dili -- Kovalima
-- Viqueque -- Los Palos -- Baucau. Dan menyaksikan gambar musim
kemarau seperti di atas. Apalagi penggundulan hutan bukan.hanya
di dataran rendah tapi juga sampai ke puncak-puncak gunung.
Hutan yang masih tampak hijau cuma terlihat sedikit di pantai
selatan, di suaka alam Tilomar, Kabupaten Kovalima, di Lore, Los
Palos, di hutan ujung timur serta di Pulau Jaco.
Akan halnya pembakaran rerumputan dan ilalang kering oleh
penduduk, itu merupakan persiapan musim tanam jagung bila hujan
mulai turun Nopember ini. Jagung memang makanan pokok di sana.
Cuma sayang, bantuan 100 ton bibit jagung beium datang juga dari
Surabaya. Susahnya, "tak ada kapal yang berlayar secara tetap ke
mari," kata Sinaga, Sekwilda Propinsi Timor Timur. Sedang untuk
carter terlalu mahal. Padahal bibit jagung cuma tahan 3 bulan
sejak dipetik.
Sarana perhubungan di sana memang sudah lumayan. "Perjalanan ke
seluruh kabupaten sudah dapat dilakukan," kata Gubernur Timor
Timur Guilherme Maria Goncalves. Di beberapa kota, jalan-jalan
memang sudah diaspal. Selebihnya hanya diratakan dengan tanah,
asal bisa dilewati saja, meskipun di musim hujan bukan hanya
becek tapi banjir. Itulah sebabnya beberapa pejabat di sana
mengkhawatirkan sulitnya penyampaian bibit jagung kepada
penduduk di seluruh pelosok bulan ini.
Selain masalah perhubungan dan ancaman kekeringan, hama tikus
juga menghadang. Di musim tanam baru lalu, tikus menyerang
Kecamatan Fatumea Kabupaten Kovalima. Juga di Baucau, Liquica
dan Viqueque. Bahkan di Baucau 60% sawah dirusak tikus.
Penduduk di 4 kabupaten itu kini sangat membutuhkan bantuan
pangan. Di Liquica saja diperlukan persediaan pangan untuk 1
tahun lagi, dihitung dari saat tanam jagung yang makan waktu 9
bulan. Sehari, kini harus disediakan 300 gram beras untuk
sekitar 30.000 jiwa. "aka tak bisa dibayangkan andaikata bibit
jagung itu tak sampai ke tangan penduduk di gunung-gunung," kata
seorang pejabat di Liquica.
Keadaan seperti itu menjadi lebih parah karena harga-harga yang
membubung, terutama beras. Di pasar-asar Dili misalnya 100 kg
beras mencapai Rp 19.000. Penjualan eceran tidak dilakukan
kiloan melainkan dengan kaleng mentega ukuran sedang. Harga per
kaleng Rp 3.000. Sedang sayuran selalu dijual dengan harga dasar
Rp 100, tidak bisa ditawar lagi. Tomat 3 biji seratus, kelapa 2
butir seratus, jagung 4 buah seratus.
Maka sulitlah bagi Bentu, 29 tahun, sopir Dinas Pertanian
Propinsi Timor Timur buat menghidupi 4 anaknya. Untung, meskipun
gajinya cuma Rp 22.000 ia masih menerima beras 50 kg cuma-cuma.
Meskipun harga-harga umumnya naik, tapi menurut Bentu keadaan
sekarang lebih baik.
"Dulu jalan-jalan di Dili belum diaspal dan rumah-rumah belum
banyak. Sekarang setelah integrasi di tiap kabupaten jalan-jalan
kotanya sudah diaspal. Dulu di Dili radio saja tidak ada.
Sekarang malah ada televisi," kata Bentu. Tapi dengan gaji yang
pas-pasan, ia baru dapat membeli pakaian setelah menabung 6
bulan.
Upaya meningkatkan taraf hidup tentu saja ada. Pemerintah Daerah
Timor Timur telah membagi 5 wilayah pembangunan. Yaitu: Kovalima
dengan titik berat tanaman pangan dan perkebunan Dili
perdagangan Baucau petemakan dan pertanian Los Pal.os juga
peternakan dan Oecusse, seperti halnya Kovalima dengan titik
berat tanaman pangan dan perkebunan.
Ternak
Sesudah perang kemerdekaan 3 tahun lalu, usaha pembangunan juga
dimulai dengan memulihkan jumlah ternak. Di waktu pergolakan
ternak sebagian besar ikut tewas. Di Kovalima kini misalnya,
jumlah ternak tinggal 20% saja. Begitu pula di Alieu, "kerbau
tinggal 6 ekor saja, "ujar Thojib Hadiwidjaja, bekas Menteri
Pertanian yang ditugasi Presiden Soeharto membangun perkebunan
cengkeh dan kopi di sana. Di seluruh Timor Timur, sisa ternak
itu bahkan tinggal 5-10% lagi.
Presiden juga membantu pemulihan jumlah ternak di sana, misalnya
untuk Kabupaten Maliana 3.000 ekor sapi. Sampai akhir pekan lalu
yang sudah diterima baru 1.540 ekor. Bantuan itu diberikan
secara kontrak. Kepada setiap 5 kk diberikan 10 sapi betina dan
2 jantan. Kalau beranak induknya diambil, diberikan kepada yang
belum menerima, sementara anaknya menjadi milik si pemelihara
pertama.
Dari jumlah ternak yang tinggal tersisa sedikit itu, di Dili
saja setiap hari penduduk makan 2 ekor sapi. Semakin langkanya
ternak sapi itu, sementara sapi di Los Palos terkenal baik dan
gemuk, banyak mata mengincar ke kabupaten yang banyak ditumbuhi
jenis rumput kesukaan sapi itu. Ketika Portugis masih bercokol
di sana, pernah ada ranch di Los Palos seluas 180 ha.
Sebuah perusahaan asing dari Korea kabarnya sudah berminat
membuka peternakan besar di Los Palos. Begitu pula sebuah
perusahaan swasta PT Buana Putera, yang kabarnya mendapat 'jalan
terang' dari seorang pejabat di Dili. Bila hal itu terlaksana,
maka Timor Timur bakal tak kalah dalam hal perlombaan membuka
ranch besar-besaran setelah NTT.
Selain membantu pemulihan jumlah ternak,,Presiden Soeharto juga
membantu usaha penanaman cengkeh, terutama di Maliana. Dari 1,5
juta benih cengkeh yang disemai, hanya 50% saja yang tumbuh. Hal
itu menurut Thojib Hadiwidjaja, karena sulitnya air di rmusim
kemarau ini. Juga lantaran para pekerja yang belum faham perihal
penanaman cengkeh. "Ini benar-benar tugas berat bagi saya yang
mestinya sudah pensiun ini," kata Thojib, "tapi juga satu
kehormatan."
Thojib yang juga pernah menulis buku "Cengkeh, Data dan Petunjuk
ke Arah Swasembada" itu tampaknya benar-benar mempertaruhkan
namanya dalam hal penanaman cengkeh di Timor Timur. Jenis
tanaman seperti itu memang manja dan membutuhkan pemeliharaan
yang teliti, padahal tanah di Maliana hanya beberapa lokal saja
yang baik untuk tanaman ini.
Itulah sebabnya kalangan staf Thojib punya saran agar penanaman
cengkeh diusahakan dengan cara perkebunan, bukan menganjurkan
penduduk menanam dengan pembagian benih secara cuma-cuma.
Perkebunan itu juga disarankan agar dikaitkan dengan usaha
pemukiman penduduk, tidak menyebar seperti sekarang. Dengan kata
lain, penanaman cengkeh hendaknya mirip perkebunan kopi di Timor
Timur yang telah lama ada sejak zaman Portugis.
Tapi menurut Gubernur Maria Goncalves, tanah di Kovalima
sebenarnya lebih baik buat tanaman kopi atau cengkeh ketimbang
di Maliana. Tanah di Kovalima hampir seluruhnya merupakan
dataran, sementara di musim kemarau beberapa sungai masih
mengalirkan air. Lagi pula penduduk Maliana sudah beruntung bisa
menanam padi karena tanahnya memang baik untuk itu. "Itulah
sebabnya banyak penduduk kabupaten lain merasa heran mengapa
Maliana masih perlu dibantu dengan tanaman cengkeh," kata
gubernur.
Barangkali mendengar keluhan rakyat seperti itulah, Presiden
juga menugaskan Thojib menyebarkan bibit kopi 1 juta pohon untuk
semua kabupaten. Sejak dulu kopi merupakan hasil utama Timor
Timur. "Dulu sampai bisa mengekspor kopi 6.000 ton setahun,"
kata Gubernur Goncalves yang punya kebun kopi 300 ha. Tapi
setelah jadi gubernur, ia tak sempat mengurusnya lagi.
Bagi Indonesia, kopi merupakan ekspor ketiga di luar minyak
setelah kayu dan karet. Kopi di Timor Timur, menurut Goncalves
juga ada yang merupakan hasil silangan (hybrida) yang unggul,
tahan hama dan bisa tumbuh di tanah rendah atau tinggi. Akibat
perang kemerdekaan yang lalu, banyak kebun kopi tak terurus,
termasuk di Ermera yang dikenal sebagai penghasil kopi utama.
Masalah Harga
Tapi sekarang rakyat menghadapi masalah harga. Pemda Propinsi
Timor Timur memonopoli pembelian kopi cuma seharga Rp 250/kg.
Ini sangat berat terutama dibanding harga bahan pangan yang
lebih tinggi. "Seharusnya Rp 650 per kg," kata Fransisco Dos
Santos Ribeiro, Bupati Liquica. Tapi ada yang bilang, sisa harga
kopi itu akan diberikan dalam bentuk rehabilitasi pembangunan.
Menurut ir. Azis Hasjim, pendamping Kepala Dinas Pertanian
Propinsi Timor Timur, sebagian besar rakyat bukanlah pemilik
kebun kopi. Ini mungkin akibat perang kemerdekaan yang lalu,
yang belum jelas benar siapa yang memiliki kebun-kebun kopi itu.
Jadi yang memetik kopi sekarang inil bukanlah si pemilik. Lalu
ada yang menganggap, harga Rp 250/kg itu sebagai upah petik
saja.
Yang mengherankan, pelaksanaan pembelian dan pemasaran kopi di
sana dimonopoli oleh PT Denok Hernandez International yang
swasta. Kalau monopoli itu diteruskan, menurut Joao Martins,
Sekretaris DPRD tk. I Timor Timur, "akan bikin susah rakyat dan
kelak bisa menyulitkan pemerintah sendiri." Jalan keluarnya,
menurut Martins, pemda harus segera meninjau hak monopoli itu.
Harian Merdeka akhir Agustus lalu mengungkapkan sinyalemen
anggota F-KP, Sugiarso, bahwa PT Denok Hernandez International
telah menyalahgunakan legalitas Laksusda Nusatenggara No.
T/36-5/Kamda/V/1979 untuk membeli kopi di Timor Timur dengan
harga terlalu rendah. Padahal harga rata-rata di Manggarai, NTT,
bisa mencapai Rp 950/kg. Untunglah, akhir pekan lalu sebuah
sumber menyebutkan bahwa pihak Laksusda di sana sudah minta agar
soal monopoli itu diselesaikan sebaik-baiknya, "agar tidak
menimbulkan keresahan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini