PESAN Presiden kepada para pembina olah-raga belum lama
berselang agar pembinaan olah-raga dilaksanakan sedini mungkin
adalah pesan yang tepat. Barangkali selain mesti dibaca secara
harafiyah, pesan itu mesti juga dibaca makna dan implikasinya
yang lebih luas. Yakni agar semangat dan sikap keolah-ragaan
dipupuk sqak sedini mungkin.
Secara "teknis" barangkali pesan Presiden itu akan dijabarkan
dalam berbagai bahasa perencanaan yang akan menyangkut banyak
pengerahan dana, tenaga ahli dan pengadaan fasilitas dan sarana.
Departemen P dan K lewat bung Gafur dan kelengkapan
birokrasinya, KONI lewat bung Suprayogi dengan berbagai
organisasi olah-raga yang bernaung di bawahnya, mungkin akan
segera sibuk dengan merancangkan anggaran yang diperlukan buat
pembinaan sekian tahun.
Departemen Keuangan akan dirayu, Bappenas akan dibujuk, DPR
akan dilobby dan tentu saja "dunia swasta" sponsor-sponsor
potensial akan ditarik dan dilibatkan jauh.
Berbagai perlengkapan olah-raga akan dipesan dan dibeli,
lapangan olah-raga diperbaiki dan diperbanyak, pelatih dalam dan
luar negeri akan dikontrak. Dan berbagai pertandingan dan pekan
olah-raga ini dan itu akan segera diadakan. Kurikulum sejak SD
akan ditinjau kembali, mata pelajaran olahraga -- pendidikan
jasmani -- diperbanyak.
Ini semua tentulah baik-baik saja. Pendekatan teknis yang "serba
pengerahan" begitu bukannya tidak ada hasilnya yang positif.
Buktinya, pendekatan "serba pengerahan" seperti kita
mempersiapkan SEA Games baru-baru ini toh menghasilkan tumpukan
medali yang jauh berada di atas negara-negara saingan kita, dan
pesta olah-raga itu sendiri telah terlaksana dengan semarak.
Tetapi semangat, watak dan sikap keolah-ragaan -- sportmanship -
itu sendiri? Yang bukan hanya terdiri dari prestasi angka yang
gemilang dan pemecahan rekor-rekor tetapi menyangkut sikap dan
semangat yang lebih menyeluruh? Yang bukan hanya mesti dimiliki
oleh para olah-ragawan tetapi juga para pembina dan masyarakat
penggemar? Sudahkah cukup terbina itu . . .
* * *
Mencitra semangat keolah-ragaan -- seperti juga mencitra
semangat apa saja -- ternyata tidaklah gampang. Seakan tidak
kunjung lengkap maknanya pada setiap usaha pencitraan. Hal-hal
yang dikemukakan di bawah ini akan menunjukkan itu:
Seorang anak lakilaki yang duduk di SMP akhirnya mendapatkan
sepatu-bolanya sesudah dia berhasil menyisihkan uang-sakunya
selama berbulan-bulan. Dengan bangga dan penuh gairah dia
kemudian berlatih sepak-bola . . .
Sekelompok anak-anak sekolah mendirikan perkumpulan bulu-tangkis
di kampungnya. Perkumpulan itu mereka biayai sendiri dari iuran
yang mereka pungut dari para anggota. Dengan ketat mereka atur
keuangan perkumpulan itu, dengan tertib uang iuran itu mereka
pungut setiap bulan. Ongkos untuk menutup pengeluaran mereka
tentulah lebih besar daripada pendapatan yang mereka dapat dari
iuran anggota. Untuk menutup ketekoran itu mereka mengerahkan
kelompok penggemar di kampung itu yang terdiri dari orangtua
mereka serta tokoh-tokoh masyarakat di kampung itu. Perkumpulan
bulu-tangkis itu berkembang sebagai perkumpulan bulu-tangkis
anak-muda yang meskipun kecil tetapi rapi organisasinya dan
tangguh prestasinya.
Sebuah perkumpulan basket yang menjadi jantung-hati
sekolah-sekolah menenah atas di satu kota, yan selalu
memenangkan pertandingan, suatu hari mengalami kekalahan waktu
bertanding dengan sebuah perkumpulan basket yang tidak begitu
terkenal. Itu merupakan pukulan yang berat bagi para pemain yang
biasa disanjung-sanjung. Tetapi pelatih mereka mengajak mereka
berdiskusi menganalisa kekalahan mereka. Mereka berkesimpulan
akhirnya bahwa kekalahan mereka karena mereka kurang banyak
berlatih. Mereka telah menganggap remeh kekuatan lawan mereka.
Pemain-pemain yang biasa disanjung dan menjadi jantung hati
sekolah-sekolah menengah di kota itu menerima kekalahan mereka
dengan ikhlas ....
Sang wasit meniup peluit sambil menunjuk pada titik putih.
Penalti dua belas pas. Para pemain protes keras karena merasa
tidak membuat suatu pelanggaran penting. Penonton, penggemar dan
pendukungnya pada berteriak bersuit-suit. Wasit tetap pada
putusannya. Pemain yang dirugikan tunduk pada putusan itu dan
menangguhkan protesnya pada komisi. Penonton yang tidak puas
akhirnya diam menerima putusan wasit. Penalti dilaksanakan dan
bolapun bersarang di gawang . . .
Contoh demi contoh dapat terus dikemukakan untuk mencoba mengisi
pengertian semangat keolah-ragaan itu. Penolakan terhadap usaha
penyuapan, keengganan meminta uang-komisi dari pemborong stadion
olah-raga, ini semua juga bagian dari semangat keolah-ragaan
itu. Tetapi, saya kira, tidak satupun dari semua contoh itu
dapat secara tuntas mencitra semangat itu. Semangat itu akan
selalu menuntut kelengkapan kesediaan kita . . .
***
Lantas bagaimana memupuk semangat dan sikap keolahragaan itu?
Juga di sini nampaknya tidak ada "harga mati" dalam metodologi.
Bahkan mungkin keteraturan, keajekan berolah-raga dan mengikuti
progran. olah-raga di dalam dan di luar sekolah saja tidak
cukup. Mekanisme aturan-aturan, rules of the game, yang
ditanamkan dalam olah-raga itu sendiri seringkali tidak cukup
kokoh membentengi semangat itu. Ada berapa superstar olah-raga
kita yang benar-benar memiliki semangat keolah-ragaan itu?
Mungkin mata pelajaran olah-raga itu harus banyak disisipi
dengan pengajaran yang berorientasi pada "ilmu budaya" --
humanities. Setidaknya merupakan bagian yang berfungsi dari satu
strategi pendidikan watak, karakter, di dalam dan di luar
sekolah.
Bukankah kita ingin mendidik anak-didik kita menjadi manusia
mandiri, bebas yang bertanggung jawab, percaya kepada diri dan
kekuatan sendiri, rendah hati, tepo sliro, solider dengan
penderitaan bangsanya?
Dan dalam semangat keolah-ragaan unsur-unsur ke arah itu semua
hadir dan bisa dihadirkan. Pengertian tentang bekerja dalam
kelompok, rasa kesetia-kawanan yang sehat, pengambilan inisiatif
sendiri, tahu menghayati kemenangan, tahu menerima kekalahan,
tahu menghadapi lawan, tahu menghormati lawan . . .
Saya khawatir strategi pembinaan olah-raga tanpa banyak
penekanan pada penanaman semangat keolah-ragaan itu akan menjadi
strategi yang hanya akan mendidik calon gladiator, calon lanista
-- pemilik sirkus gladiator -- dan calon penikmat pertunjukan,
spectacle, yang pervers. Strategi yang demikian hanya akan
menghasilkan olah-ragawan yang gila-prestasi, ngoyo medali dan
piala. Dan bukan olah-ragawan yang santai tapi penuh kepercayaan
diri dalam menghayati kemanusiaannya . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini