Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Semangat keolah-ragaan itu

Presiden berpesan agar semangat dan sikap keolahragaan dipupuk sejak dini. yang diperlukan adalah strategi pembinaan yang perlu disisipi dengan pengajaran yang berorientasi pada ilmu budaya.

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESAN Presiden kepada para pembina olah-raga belum lama berselang agar pembinaan olah-raga dilaksanakan sedini mungkin adalah pesan yang tepat. Barangkali selain mesti dibaca secara harafiyah, pesan itu mesti juga dibaca makna dan implikasinya yang lebih luas. Yakni agar semangat dan sikap keolah-ragaan dipupuk sqak sedini mungkin. Secara "teknis" barangkali pesan Presiden itu akan dijabarkan dalam berbagai bahasa perencanaan yang akan menyangkut banyak pengerahan dana, tenaga ahli dan pengadaan fasilitas dan sarana. Departemen P dan K lewat bung Gafur dan kelengkapan birokrasinya, KONI lewat bung Suprayogi dengan berbagai organisasi olah-raga yang bernaung di bawahnya, mungkin akan segera sibuk dengan merancangkan anggaran yang diperlukan buat pembinaan sekian tahun. Departemen Keuangan akan dirayu, Bappenas akan dibujuk, DPR akan dilobby dan tentu saja "dunia swasta" sponsor-sponsor potensial akan ditarik dan dilibatkan jauh. Berbagai perlengkapan olah-raga akan dipesan dan dibeli, lapangan olah-raga diperbaiki dan diperbanyak, pelatih dalam dan luar negeri akan dikontrak. Dan berbagai pertandingan dan pekan olah-raga ini dan itu akan segera diadakan. Kurikulum sejak SD akan ditinjau kembali, mata pelajaran olahraga -- pendidikan jasmani -- diperbanyak. Ini semua tentulah baik-baik saja. Pendekatan teknis yang "serba pengerahan" begitu bukannya tidak ada hasilnya yang positif. Buktinya, pendekatan "serba pengerahan" seperti kita mempersiapkan SEA Games baru-baru ini toh menghasilkan tumpukan medali yang jauh berada di atas negara-negara saingan kita, dan pesta olah-raga itu sendiri telah terlaksana dengan semarak. Tetapi semangat, watak dan sikap keolah-ragaan -- sportmanship - itu sendiri? Yang bukan hanya terdiri dari prestasi angka yang gemilang dan pemecahan rekor-rekor tetapi menyangkut sikap dan semangat yang lebih menyeluruh? Yang bukan hanya mesti dimiliki oleh para olah-ragawan tetapi juga para pembina dan masyarakat penggemar? Sudahkah cukup terbina itu . . . * * * Mencitra semangat keolah-ragaan -- seperti juga mencitra semangat apa saja -- ternyata tidaklah gampang. Seakan tidak kunjung lengkap maknanya pada setiap usaha pencitraan. Hal-hal yang dikemukakan di bawah ini akan menunjukkan itu: Seorang anak lakilaki yang duduk di SMP akhirnya mendapatkan sepatu-bolanya sesudah dia berhasil menyisihkan uang-sakunya selama berbulan-bulan. Dengan bangga dan penuh gairah dia kemudian berlatih sepak-bola . . . Sekelompok anak-anak sekolah mendirikan perkumpulan bulu-tangkis di kampungnya. Perkumpulan itu mereka biayai sendiri dari iuran yang mereka pungut dari para anggota. Dengan ketat mereka atur keuangan perkumpulan itu, dengan tertib uang iuran itu mereka pungut setiap bulan. Ongkos untuk menutup pengeluaran mereka tentulah lebih besar daripada pendapatan yang mereka dapat dari iuran anggota. Untuk menutup ketekoran itu mereka mengerahkan kelompok penggemar di kampung itu yang terdiri dari orangtua mereka serta tokoh-tokoh masyarakat di kampung itu. Perkumpulan bulu-tangkis itu berkembang sebagai perkumpulan bulu-tangkis anak-muda yang meskipun kecil tetapi rapi organisasinya dan tangguh prestasinya. Sebuah perkumpulan basket yang menjadi jantung-hati sekolah-sekolah menenah atas di satu kota, yan selalu memenangkan pertandingan, suatu hari mengalami kekalahan waktu bertanding dengan sebuah perkumpulan basket yang tidak begitu terkenal. Itu merupakan pukulan yang berat bagi para pemain yang biasa disanjung-sanjung. Tetapi pelatih mereka mengajak mereka berdiskusi menganalisa kekalahan mereka. Mereka berkesimpulan akhirnya bahwa kekalahan mereka karena mereka kurang banyak berlatih. Mereka telah menganggap remeh kekuatan lawan mereka. Pemain-pemain yang biasa disanjung dan menjadi jantung hati sekolah-sekolah menengah di kota itu menerima kekalahan mereka dengan ikhlas .... Sang wasit meniup peluit sambil menunjuk pada titik putih. Penalti dua belas pas. Para pemain protes keras karena merasa tidak membuat suatu pelanggaran penting. Penonton, penggemar dan pendukungnya pada berteriak bersuit-suit. Wasit tetap pada putusannya. Pemain yang dirugikan tunduk pada putusan itu dan menangguhkan protesnya pada komisi. Penonton yang tidak puas akhirnya diam menerima putusan wasit. Penalti dilaksanakan dan bolapun bersarang di gawang . . . Contoh demi contoh dapat terus dikemukakan untuk mencoba mengisi pengertian semangat keolah-ragaan itu. Penolakan terhadap usaha penyuapan, keengganan meminta uang-komisi dari pemborong stadion olah-raga, ini semua juga bagian dari semangat keolah-ragaan itu. Tetapi, saya kira, tidak satupun dari semua contoh itu dapat secara tuntas mencitra semangat itu. Semangat itu akan selalu menuntut kelengkapan kesediaan kita . . . *** Lantas bagaimana memupuk semangat dan sikap keolahragaan itu? Juga di sini nampaknya tidak ada "harga mati" dalam metodologi. Bahkan mungkin keteraturan, keajekan berolah-raga dan mengikuti progran. olah-raga di dalam dan di luar sekolah saja tidak cukup. Mekanisme aturan-aturan, rules of the game, yang ditanamkan dalam olah-raga itu sendiri seringkali tidak cukup kokoh membentengi semangat itu. Ada berapa superstar olah-raga kita yang benar-benar memiliki semangat keolah-ragaan itu? Mungkin mata pelajaran olah-raga itu harus banyak disisipi dengan pengajaran yang berorientasi pada "ilmu budaya" -- humanities. Setidaknya merupakan bagian yang berfungsi dari satu strategi pendidikan watak, karakter, di dalam dan di luar sekolah. Bukankah kita ingin mendidik anak-didik kita menjadi manusia mandiri, bebas yang bertanggung jawab, percaya kepada diri dan kekuatan sendiri, rendah hati, tepo sliro, solider dengan penderitaan bangsanya? Dan dalam semangat keolah-ragaan unsur-unsur ke arah itu semua hadir dan bisa dihadirkan. Pengertian tentang bekerja dalam kelompok, rasa kesetia-kawanan yang sehat, pengambilan inisiatif sendiri, tahu menghayati kemenangan, tahu menerima kekalahan, tahu menghadapi lawan, tahu menghormati lawan . . . Saya khawatir strategi pembinaan olah-raga tanpa banyak penekanan pada penanaman semangat keolah-ragaan itu akan menjadi strategi yang hanya akan mendidik calon gladiator, calon lanista -- pemilik sirkus gladiator -- dan calon penikmat pertunjukan, spectacle, yang pervers. Strategi yang demikian hanya akan menghasilkan olah-ragawan yang gila-prestasi, ngoyo medali dan piala. Dan bukan olah-ragawan yang santai tapi penuh kepercayaan diri dalam menghayati kemanusiaannya . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus