DUA tahun lalu suatu tim ahli vulkanologi dari Perancis,
dipimpin Profesor Dr. Haroun Tazieff, hadir di beberapa gunung
berapi di Indonesia. Masyarakat yang awam mulai gelisah dan
menduga kegiatan gunung itu sudah begitu gawat sehingga perlu
mendatangkan ahli vulkanologi asing. Ketika kemudian tampak
perhatian mereka terpusatkan kepada Gunung Merapi yang terkenal
aktif, dugaan ini makin bertambah.
Sebetulnya mereka sedang menjajaki kemungkinan mengukur
perubahan kekuatan magnetis bumi untuk mengetahui proses yang
menuju letusan vulkanis. Pengetahuan ini diharapkan dapat
membantu orang meramalkan sesuatu letusan gunung berapi,
sehingga bisa bertindak untuk menyelamatkan penduduk dan harta
jauh sebelumnya.
Banyak negara, termasuk Indonesia -- selama ini untuk mengetahui
kegiatan vulkanis -- menggunakan cara pengukuran seismik,
pengukuran suhu dan analisa komposisi gas, ditambah pengamatan
visuil. Ini dilakukan umumnya dengan tenaga dan dana yang sangat
terbatas (TEMPO 24 Maret 1979).
Sejak September lalu, 3 ahli geofisika Perancis -- Dr. F.
Robach, Dr. M. Bof dan Dr. Chapuis -- berada di lndonesia.
Mereka melanjutkan missi Tazieff, bekerja sama dengan ahli
vulkanologi Indonesia untuk mendirikan jaringan alat pengukur
magnetis bumi yang permanen di lereng Gunung Merapi -- suatu
metode baru. Berdasarkan penelitian sebelumnya, mereka dapat
menentukan lokasinya.
Gunung Merapi dipilih sebagai medan ekspenmen mereka, karena
terkenal aktif. Tapi yang terpenting adalah bahwa Merapi sejak
dulu dimonitor oleh jaringan pos pengamat yang baik. Dan kota
besar seperti Yogyakarta berada di dekatnya.
Tiga buah sensor ditempatkan di sana. Dipakai berbagai
pertimbangan lokasinya yang, misalnya, sangat peka terhadap
perubahan kekuatan magnetis di kala terdapat kegiatan vulkanis.
Perubahan kekuatan magnetis bumi disebabkan tekanan dalam
formasi batubatuan serta perubahan suhu telah lama diketahui
dalam ilmu geofisika. Juga diketahui bahwa kegiatan vulkanis
dibarengi dengan gejala ini. Persoalannya tinggal mengukur saja
berapa besar perubahan kekuatan magnetis di sekitar vulkan itu
dan menghubungkan data ini dengan kegiatan langsung. Ini akan
menghasilkan suatu pola yang bisa dipergunakan untuk meramalkan
kegiatan serupa di masa depan.
Sensor (alat "peraba") itu terselubung dalam tabung berdiameter
15 cm, dan panjang 60 cm. Ia ditempatkan di atas tiang, 6 m di
atas permukaan tanah. Dalam tabung pelindung itu terdapat dua
botol kaca yang dililiti kumparan kawat kuningan dan terisi
dengan cairan khusus. Keseluruhannya dibandingkan Dr. Robach
dengan sebuah lingkaran oskilator dalam teknik radio.
Orang Perancis itu menerangkan prinsipnya kepada T. Manyaka
Thayeb dari TEMPO di pos Plawangan, pada ketinggian 1275 m,
setelah 3/4 jam mendaki sisi bukit terjal dari Kaliurang. Sensor
itu, katanya, merupakan alat pengukur pokok yang mengirim
datanya melalui kabel langsung -- berjarak dekat -- ke peralatan
perekam di pos Plawangan.
Pos pengamat Direktorat Vulkanologi di Plawangan itu merupakan
suatu bangunan kayu dengan ruang sederhana. Dari ruang ini ke
arah utara tampak krucut megah Gunung Merapi, sedang ke arah
selatan dan barat terhampar pemandangan dataran wilayah
Yogyakarta dan Magelang. Dalam ruang itu terdapat satu teropong
kuno dan di atas beberapa meja terletak peralatan rekaman tim
Perancis itu.
Peralatan itu sendiri terdiri dari alat penghimpun dan pengolah
frekwensi yang diteruskan kepada perekam kaset, tidak jauh
berbeda dengan kaset recorder biasa. Semua data direkam pada
kaset ini, sekaligus direkam pada rol kertas grafik. Frekwensi
data tu dapat juga dilihat sebagai gelombang sinus pada layar
sebuah osiloskop kecil.
Peralatan ini sekaligus menerima data -- melalui pemancar radio
-- dari dua sensor pembanding yang terletak 4-5 km dalam pola
segitiga yang tidak beraturan dari pos Plawangan. Sensor
pembanding pertama terletak pada ketinggian 1200 meter di tengah
jalur lahar di lereng barat daya Merapi itu. Dari desa Argomulyo
dekat pos pengamat Ngepos di kecamatan Srumbung, lokasinya bisa
dicapai 1« jam berjalan kaki menyusur "sungai" lahar. Pada lokasi
ini berdiri dua tiang. Satu mendukung sensor serupa seperti di
Plawangan, dan satu lagi untuk pemancar radionya. Di tengah
kedua tiang itu terdapat lempengan pengubah sinar matahari yang
diolah menjadi listrik untuk menjalankan sensor dan pemancar
itu. "Biarpun 10 hari mendung," cerita Dr. Bof di atas bukit
itu, "accu khusus masih mampu mengeluarkan 20 W untuk
menjalankan peralatan itu.
Eksplorasi Mineral
Peralatan serupa dijumpai pada ketinggian 2000 m di atas lereng
sebelah tenggara Gunung Merapi. Lokasi ini lebih sukar dicapai
karena melalui tebing yang amat terjal. Ketiga sensor tadi
merupakan proton magnetometer dengan polarisasi dinamis, yang
dapat mengukur perubahan kekuatan magnetis sekecil 0.01 gamma.
(1 gamma - 1/100.000 Gauss, -- unit kekuatan magnetis).
Magnetometer ini berdasarkan prinsip pengukuran arah perputaran
proton yang diketahui langsung bereaksi terhadap pengaruh
kekuatan magnetis. Prinsip ini dibahas dalam tahun 40-an oleh
seorang ahli fisika Soviet dan diteruskan oleh tim Amerika
Serikat pimpinan Dr. Bloch. Ini pada tahun 50-an menghasilkan
magnetometer yang dapat mengukur kekuatan medan magnetis dengan
sangat teliti. Segera penggunaannya dalam berbagai bidang ilmu
terbukti. Terutama dalam bidang geologi, khususnya untuk
eksplorasi mineral seperti minyak bumi.
Perancis mencoba menerapkannya pada penelitian kegiatan
vulkanis. Dengan dana dari Komisariat Penelitian Atom (CEA) di
Grenoble, Perancis, Profesor Taieff dengan beberapa pembantu
semula berangkat ke Guadeloupe, wilayah Perancis di kepulauan
Antilles, Hindia Barat. Di pulau Guadeloupe terdapat gunung
berapi bernama Soufriere, tempat mereka melakukan percobaan
pengukuran magnetis pertama.
Dari sana menjelma program penelitiannya di Gunung Merapi. Juga
terjamin dana dari CEA.
Tim Perancis itu barusan saja kembali pulang, meninggalkan
peralatannya. Petugas Direktorat Vulkanologi diharapkan terus
merekam data pada kaset yang akan dikirim setiap bulan ke
Perancis untuk mereka pelajari. Ada kemungkinan bahwa
magnetometer akan menggantikan peralatan seismograf sebagai
andalan pokok untuk mengikuti kegiatan vulkanis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini