"BERI saya hukuman mati," kata Kim Jae-kyu, bekas Direktur KCIA
(Badan Pusat Intelijen Korea Selatan) kepada Mahkamah Militer
yang mengadili peristiwa pembunuhan Presiden Park Chunghee.
Pernyataan ini dikemukakannya setelah penuntut umum mengajukan
hukuman mati bagi Kim dan 6 orang terdakwa lainnya yang terlibat
dalam peristiwa pembunuhan itu. Bekas Direktur KCIA itu memberi
pengakuan bahwa pembunuhan yang dilakukannya itu demi
pembangunan demokrasi di Korea Selatan. Dalam sidang tertutup
yang hanya dihadiri oleh keluarga Kim dan pembelanya itu, dia
menyatakan, "Saya gembira telah menemukan cara kematian yang
baik, dan saya tidak meminta untuk diberi hidup."
Sehari kemudian, Kamis pekan lalu Kim dijatuhi hukuman mati oleh
Mahkamah Militer. Dia menerima keputusan itu tanpa emosi.
Termasuk di antara yang dihukum mati ialah Kim Kaewon,
sekretaris Presiden Park, Kolonel Park Hungju, pembantu utama
Direktur KCIA dan 4 orang anggota KCIA lainnya.
Letjen Kim Young-sun, Ketua Mahkamah Militer yang mengadili
perkara itu mengatakan bahwa Kim dan kawankawannya melakukan
pembunuhan itu dengan tujuan merebut kekuasaan. "Sebagai
pembantu presiden dia seharusnya setia," kata Kim Young-sun. Dan
tentang alasan untuk "pembangunan demokrasi" menurut Jenderal
Kim, itu hanya suatu kepura-puraan yang dibuat untuk pembenaran
tindakannya.
Pura-pura atau bukan, tindakannya membunuh Park tampaknya
merupakan titik awal bagi Korea Selatan dalam memasuki suatu era
demokrasi baru. Paling tidak ada peluang untuk itu. Dan Amerika
Serikat ambil kesempatan. Presiden Carter, yang diketahui tak
menyukai cara Park memerintah, mengirim surat kepada Presiden
Choi Kyu-hah. "Saya mengharapkan anda berhasil dalam memimpin
perubahan konstitusional dan mengembangkan konsensus politik
yang lebih luas di Korea," kata Presiden Carter. Presiden
Carter, yang gagal mendorong Park untuk melunakkan cara-cara
keras pemerintahannya, memuji Choi dalam keberhasilannya
meniadakan tindakan kekerasan.
Tiga Divisi Dari Utara
Surat itu ditulis Carter setelah terjadinya penangkapan terhadap
Jenderal Chung Seung-hwa, penguasa keadaan darurat yang juga
Kepala Staf Angkatan Darat Korea Selatan. (TEMPO, 22 Desember).
Menurut kelangan pengamat di Seoul, keluarnya pernyataan Carter
ini disebabkan adanya kerisauan di pihak AS melihat tindakan 3
divisi militer Korea ketika berlangsungnya penangkapan terhadap
Jenderal Chung. Bergeraknya militer ke Seoul pada malam itu
--sebagian di antaranya adalah pasukan yang bertugas menjaga
perbatasan Utara -- tak mengenakkan pemerintah AS. Apalagi
diketahui bahwa tindakan militer di luar wewenang yang wajar:
sebagian dari pasukan itu berada di bawah komando bersama
AS-Korea Selatan.
Sikap AS ini tampaknya akan membantu Presiden Choi dalam menata
kembali iklim demokrasi di negara itu. Walaupun kalangan
pengamat di Seoul melihat bahwa gerakan terselubung dari
beberapa kelompok jenderal masih terus akan memb,ayangi
percaturan politik di negara itu. Mungkin inilah sebabnya
pejabat AS secara mendadak mengadakan pertemuan bilateral yang
berlangsung di Washington dan Seoul. Khusus membicarakan
kemungkinan akan terjadinya perebutan kekuasaan oleh militer.
Tapi suatu jaminan telah diberikan oleh Jenderal Lee Hui-sung,
Kepala Staf Angkatan Darat yang menggantikan Jenderal Chung.
Pihak militer, katanya, tidak akan melibatkan diri lagi dalam
politik. Meskipun demikian peristiwa 12 Desember -- hari
penangkapan Jenderal Chung -- masih menimbulkan pertanyaan:
tidak adakah konflik baru nanti antara para jenderal?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini