Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga pekan ini, pembocor rahasia intelijen Amerika Serikat, Edward Snowden, sudah enam minggu luntang-lantung di area transit Bandar Udara Internasional Sheremetyevo, Moskow, Rusia. Bujangan 30 tahun itu tengah diburu pemerintah Amerika. Mantan karyawan Dinas Intelijen Pusat (CIA) dan Badan Keamanan Nasional (NSA) itu dianggap sebagai pengkhianat lantaran membocorkan program intelijen Abang Sam.
Sejak tiba dari Hong Kong, 23 Juni lalu, Snowden tak bisa ke mana-mana. Paspornya dicabut pemerintah Amerika. Ia sudah meminta suaka ke lebih dari 20 negara, termasuk Bolivia, Nikaragua, dan Venezuela. Ahad dua pekan lalu, ia juga memohon suaka sementara di Rusia. Sialnya, hingga kini, ia tak kunjung mendapat jawaban. Presiden Rusia Vladimir Putin pun tak mau tahu. "Mana saya tahu? Itu kan urusan dia. Dia datang tanpa diundang dan negara kami bukan tujuan akhir dia," kata Putin, seperti dikutip situs RIA Novosti.
Terjebak di bandara bukan cuma cerita Snowden. Sekitar 2.000 kilometer dari Sheremetyevo, di Bandara Internasional Almaty, Kazakstan, ada Mohammed al-Bahish. Pemuda Palestina kelahiran Irak itu sudah empat bulan terjebak di wilayah yang disebut "zona steril". Setiap hari, ia mendengar suara perempuan mengumumkan jadwal kedatangan, jam penerbangan, dan pintu keberangkatan. Dia menunggu pesawat yang akan membawanya ke luar Kazakstan, selama empat bulan.
"Saya merasa mulai sedikit gila," ujarnya dengan wajah pucat dan mata bengkak. Bahish saat ini "indekos" di ruangan 2 x 3 meter di pojok kawasan kedatangan. Di kamar yang sudah pengap dengan asap rokok itu terdapat tempat tidur dua tingkat, kasur lusuh, kursi plastik, dan meja lipat yang terpaku di dinding. Melalui pintu yang sedikit terbuka, ia bisa melihat penumpang yang baru tiba menuju gerbang pemeriksaan paspor.
Soal makanan, Bahish tak kesulitan. Ia mendapat ransum penumpang angkutan udara nasional Kazakstan, Air Astana. "Mereka membawa makanan pesawat tiga kali sehari, sekotak kecil salad dan kue," ujarnya. "Sepanjang Juni, saya makan daging sapi dan jamur stroganoff. Saya pikir saya bosan makan daging sapi."
Yang membuat Bahish gila adalah ruang geraknya yang terbatas. Keamanan bandara mengontrol setiap gerakannya di luar ruangan. Sesekali ia diizinkan mengambil air hangat ke tempat dispenser buat menyeduh kopi. Untuk urusan buang hajat dan mencuci, ia bisa menggunakan kamar mandi yang biasanya hanya diperuntukkan bagi staf di departemen bagasi. Tapi, ke mana pun ia pergi, polisi atau penjaga keamanan menemaninya. Satu-satunya tempat untuk merasakan udara segar adalah teras bandara yang menghadap ke landasan pacu.
Beruntung, ia masih bisa melakukan kontak dengan dunia luar. Ia mengandalkan sinyal Wi-Fi gratis yang ada di bandara untuk menggunakan Skype. "Saya berbicara dengan Yaser, sepupu saya di Norwegia. Saya tidak punya keluarga dekat lagi. Orang tua saya meninggal di Irak ketika saya masih 16 tahun, dan saya tidak memiliki saudara," katanya.
Awalnya, Bahish datang ke Kazakstan dengan hati berbunga-bunga. Ia akan menikahi pacarnya, Olesya Grishenko, yang tengah hamil anak pertama mereka. Ia bertemu dengan Grishenko di Dubai, tempat Bahish bekerja sebagai desainer interior. Namun, di Kazakstan, saat ia mendaftarkan pernikahan, dokumen perjalanannya hilang, sedangkan visa Kazakstan dan Uni Emirat Arab miliknya sudah kedaluwarsa.
"Saya dideportasi ke Istanbul karena tidak ada visa yang sah. Di sana, mereka mengirim saya kembali ke Almaty. Tapi di sini saya juga tidak memiliki visa yang sah, sehingga mereka mengirim saya kembali ke Istanbul. Empat kali saya terbang bolak-balik di antara dua kota itu," ujar Bahish lesu. Ia mengaku sempat berpikir akan melarikan diri. "Saya rindu sinar matahari, saya rindu berada di luar. Di sini saya seperti di penjara."
Drama Snowden dan Bahish tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Mehran Karimi Nasseri. Pria asal Iran ini harus tinggal di Terminal 1 Bandara Charles de Gaulle, Prancis, sejak 1988 hingga 2006 alias 18 tahun. Kehidupan Nasseri menginspirasi pembuatan film Hollywood garapan sutradara Steven Spielberg, The Terminal. Film 2004 yang dibintangi Tom Hanks dan Catherine Zeta-Jones ini bercerita tentang Viktor Navorski, pria asal Krakozhia, yang terjebak di Bandara John F. Kennedy, New York. Ia tidak diberi izin memasuki Amerika, tapi juga tak bisa pulang karena di negaranya sedang berkecamuk revolusi.
Sama seperti Navorski, Nasseri diusir dari negara kelahirannya, Iran, dan paspornya dicabut. Setelah empat tahun mencari suaka politik, Nasseri diterima Belgia. Identitas barunya memungkinkan dia mendapat status kewarganegaraan dari salah satu negara di Eropa. Setelah tinggal enam tahun di Belgia, Nasseri memutuskan menjadi warga negara Inggris. Paris menjadi titik awal perjalanannya menuju Inggris.
Saat Nasseri sedang berkeliling menggunakan kereta di Paris, perampok merampas tasnya, yang berisi dokumen-dokumen suaka politiknya. Ia masih bisa terbang ke Bandara Heathrow di London, tapi ditolak Imigrasi Inggris. Nahas, kedatangannya kembali ke Bandara Charles de Gaulle tak disambut baik. Dia dianggap sebagai pendatang ilegal dan tidak dapat lagi memasuki Prancis.
Mulailah Nasseri membangun sarang di Terminal 1 tersebut. Ia tinggal di bangku dengan meja bistro dan troli sebagai tempatnya menaruh barang. Ia menghabiskan waktu dengan menulis buku harian, membaca koran dan buku, serta menonton televisi. "Saya menulis apa yang saya dengar. (Pemusik soul Amerika) Ray Charles meninggal, pemilihan umum berlangsung di Prancis," katanya saat diwawancarai Guardian pada 2004.
Pada 1999, pemerintah Prancis menawarkan tempat tinggal sementara. Tapi dia menolak karena pemerintah masih menuliskan dirinya sebagai warga negara Iran. "Dia punya pengacara. Jadi dia bebas pergi," kata juru bicara Aeroports de Paris, pengelola Bandara Charles de Gaulle. Petualangannya berakhir di rumah sakit pada 2006 karena ia mengidap sebuah penyakit. Nasseri kini tinggal di Paris.
Dalam laporan hak asasi manusia 2010, Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mengatakan zona transit, yang merupakan kawasan tanpa negara, menjadi pilihan aman bagi mereka yang melarikan diri karena motif politik. Bagi sebagian yang lain, seperti Bahish dan Nasseri, zona steril ini menjadi harapan mendapat kemerdekaan di tempat baru.
Raju Febrian (BBC, Guardian, Washington Post, Wall Street Journal)
Penghuni Zona Steril Lainnya
Sanjay Shah
Sanjay berniat masuk Inggris dengan paspor warga Inggris di luar negeri, tapi ditangkal. Saat mendapat paspor Kenya, ia melakukan protes di Bandar Udara Nairobi, Kenya, selama Mei 2004-12 Juli 2005. Ia akhirnya mendapat kewarganegaraan penuh dari Inggris.
Zahra Kamalfar
Ia bersama keluarganya melarikan diri dari Iran dan mencari suaka di Kanada. Terdampar di Bandara Internasional Sheremetyevo, Rusia, sejak Mei 2006 sampai 15 Maret 2007, mereka kini tinggal di Vancouver, Kanada.
Hiroshi Nohara
Nohara menolak mengungkapkan alasannya. Pria Jepang ini tinggal di Mexico City International Airport, Meksiko, pada 2 September-28 Desember 2008. Ia meninggalkan bandara tiga bulan kemudian bersama perempuan Jepang bernama Oyuki.
Feng Zhenghu
Ia melakukan protes di Bandara Internasional Narita, Jepang, setelah ditolak kembali masuk Cina. Tinggal di sana sejak 9 November 2009 sampai 3 Februari 2010, Feng kemudian bertemu dengan beberapa diplomat Cina agar bisa kembali ke negaranya. Saat ini ia menjalani tahanan rumah.
Ahmed Kannan
Pemuda Palestina ini tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur, Sepang, Malaysia, tanpa paspor karena disita Turki. Sesudah hak tinggalnya kedaluwarsa, Mei 2013, ia terbang ke Turki, tapi ditolak dan dikembalikan ke Malaysia. Setelah tertahan pada 21 Mei-13 Juli 2013, ia mendapat visa tambahan 30 hari dari Malaysia dan kembali ke Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo