Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika menghadiri kelas bahasa Jerman di Berlin, Dacil Granados terkejut mendapati hampir seluruh kelas berisi warga Spanyol seperti dia. Teman sekelasnya sebagian besar insinyur, kecuali dia dan seorang arsitek, juga asal Negeri Matador. "Mereka berada di sini untuk alasan yang sama: bekerja," ujar Granados seperti dikutip Guardian awal bulan lalu.
Perempuan 36 tahun itu baru saja mendapatkan pekerjaan sebagai pemandu wisata di Museum Pergamon—salah satu tujuan wisata populer di Berlin. Sejak tiba di Berlin setahun lalu, sejarawan seni itu menganggur. Sebelumnya, Granados bekerja sebagai kurator di galeri seni Catalan di Madrid. Namun, dua tahun setelah krisis keuangan pecah pada 2009, ia diberhentikan.
Granados adalah satu dari sekitar 370 ribu imigran dari negara-negara Eropa yang menyerbu Jerman pada tahun lalu. Sebagian besar pendatang berasal dari Eropa selatan, seperti Spanyol, Portugal, dan Yunani.
Eksodus besar-besaran itu dipicu oleh tingginya angka pengangguran akibat krisis keuangan. Di Spanyol, lebih dari 50 persen tenaga kerja muda menganggur, sedangkan di Italia dan Portugal angkanya mencapai 40 persen. Di Yunani, angkanya bahkan melampaui 60 persen.
Jerman, yang perekonomiannya paling baik di zona euro, menjadi tanah harapan bagi para pekerja migran. Jerman sendiri menerima mereka karena kekurangan tenaga kerja. Penyebabnya, menurut Kantor Statistik Federal Jerman, pertumbuhan penduduk Jerman minus dalam beberapa tahun terakhir. Tahun ini pertumbuhannya minus 0,19 persen.
International Placement Service (ZAV), yang bertanggung jawab merekrut pekerja asing untuk mengisi pasar kerja di Jerman, sibuk menjelajahi Eropa selatan mencari insinyur, ilmuwan, dan perawat. Kondisi Jerman berubah 180 derajat dari akhir 1990-an ketika ia dijuluki "orang sakit dari Eropa" lantaran perekonomiannya goyang setelah menghabiskan dana 1,5 triliun euro untuk reunifikasi pada 1990.
"Ini perubahan besar. Tujuh tahun lalu pekerja Jerman dikirim bekerja ke Spanyol, yang perekonomiannya sedang meroket," kata pakar migrasi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Thomas Liebig, kepada Die Zeit.
Sebagian pekerja asal Spanyol mengatakan tak pernah terpikir bakal mencari pekerjaan ke Jerman sebelum krisis ekonomi mengguncang negara mereka. Juanjo Pujol berasal dari keluarga berkecukupan di Mallorca. Ayahnya dokter, ibunya perawat. Mereka selalu menasihatinya, jika giat belajar, dia akan hidup mapan. "Tapi kenyataannya berbeda," ujar pria 28 tahun itu.
Pernah bekerja di pabrik daur ulang, kini Pujol bekerja sebagai pengasuh bayi dan bartender di Berlin. Namun Jerman bukan tanah harapan. Menurut data Kantor Statistik Jerman, sebesar 70 persen pekerja Spanyol menetap kurang dari satu tahun di Jerman. Pujol tak menemui kesulitan dengan makanan. Tapi ia tersiksa oleh musim dingin yang lebih panjang di Jerman.
Sedangkan Granados mengaku kesulitan bersosialisasi dengan warga di lingkungan tempat tinggalnya. "Ketika kami berkumpul dan berbincang dalam bahasa Spanyol, mereka memandang kami seolah-olah kami hidup dari belas kasihan mereka."
Namun, untuk menarik minat pekerja terampil dari mancanegara, pemerintah Jerman telah mengucurkan fulus hingga 140 juta euro. Dana itu digunakan untuk membiayai kursus bahasa Jerman, akomodasi, dan biaya relokasi pekerja.
Sejak akhir tahun lalu, Dewan Kerajinan untuk Muenchen dan Bavaria Atas juga menggelar program percobaan untuk melatih sejumlah pekerja asal Spanyol. Tujuannya: mengisi kekurangan tenaga terampil di perusahaan-perusahaan kecil dan menengah di Jerman. Untuk tahap pertama, sebelas pemuda berusia 18-30 tahun dilatih bekerja di sejumlah perusahaan di Muenchen dan sekitarnya, yang membuka lowongan kerja. Dewan Kerajinan berharap bisa menempatkan paling sedikit 21 tenaga kerja Spanyol hingga akhir tahun ini.
Salah seorang peserta pelatihan, Antonio José García Roca, 27 tahun, bekerja menjadi tukang las di proyek renovasi gedung enam lantai di Muenchen. Dia bekerja sebagai tukang las sejak usia 16 tahun. Sebelum ke Jerman, dia bekerja di perusahaan pembuat kapal hingga 2009. Perusahaan itu gulung tikar akibat krisis ekonomi. Bank berhenti mengucurkan kredit. "Jadi, perusahaan menendang 80 persen karyawannya ke jalanan. Saya salah satunya," kata García Roca, yang tiba di Jerman pada November 2012.
Setelah lulus sekolah menengah, dia bekerja di sektor pariwisata. Tapi kini sektor itu tak bisa lagi diandalkan. Padahal dia punya impian membeli rumah dan membangun keluarga suatu hari nanti. "Kalau saya bertahan di Spanyol, saya tidak bisa meraih impian itu."
Menurut salah seorang koordinator program, Elisabeth Kirchbichler, program dibuat berdasarkan tingginya angka pengangguran di Spanyol. "Banyak orang di Spanyol dapat mengerjakan pekerjaan ini, sementara kami punya banyak perusahaan yang bisa menampung mereka," ujarnya.
Pemilik perusahaan yang mempekerjakan García Roca, Moreno Nigro, mengatakan tak banyak pemuda Jerman berminat bekerja di konstruksi. Satu-satunya jalan untuk mengisi kekosongan adalah merekrut pekerja migran yang terampil seperti García Roca. "Saya puas. Dia cocok bekerja dengan kami," katanya.
Gelombang migrasi lebih besar terjadi di Yunani. Menurut kajian University of Thessaloniki, selama krisis ekonomi, lebih dari 120 profesional muda meninggalkan negeri itu, sebagian di antaranya para ilmuwan muda. Dokter, insinyur, ilmuwan, dan profesional teknologi informasi kesulitan mendapatkan pekerjaan di dalam negeri karena pemangkasan anggaran di berbagai bidang.
"Jumlah ilmuwan muda yang hijrah ke luar negeri mencapai 10 persen," ujar direktur kajian, Lois Lambrianides, kepada surat kabar Athena, Ethnos.
Lambrianides, pengajar geografi ekonomi di University of Thessaloniki, mengatakan para ilmuwan itu menyebar ke sejumlah negara Eropa dan bekerja di sektor swasta. Separuh dari mereka merupakan lulusan 100 universitas top dunia. Pertumbuhan ekonomi Yunani yang minus dalam enam tahun terakhir membuat mereka hengkang.
Menteri Tenaga Kerja Jerman Ursula von der Leyen menyambut baik masuknya pekerja asing yang terampil. Dia mengatakan ada puluhan ribu lowongan kerja untuk perawat, pekerja bidang perawatan kesehatan, tukang listrik, dan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan lainnya. "Semua akan mendapat keuntungan dari gelombang tenaga kerja karena para imigran ini lebih muda dan berpendidikan lebih baik," ucapnya seperti dikutip surat kabar Frankfurter Allgemeine Zeitung.
Ketua Kamar Dagang dan Industri Jerman Eric Schweitzer mengatakan Jerman membutuhkan sekitar 1,5 juta tenaga ahli asing hingga 2025. Artinya, setiap bulan butuh sekitar 10 ribu orang. Dengan pertumbuhan penduduk minus, Jerman, menurut penyedia jasa tenaga kerja terbesar di Jerman, Federal Employment Agency, diperkirakan kekurangan tenaga kerja hingga 6,5 juta orang pada 2025.
Sapto Yunus (Guardian, Der Spiegel)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo