RUANG sidang Pengadilan Dili bukanlah panggung L.A Law. Film serial yang diputar RCTI dan SCTV ini selalu memperlihatkan jaksa yang tegas, pengacara yang canggih, hakim yang akomodatif dan adil, serta terdakwa yang menaruh harapan sepenuhnya pada penilaian juri. Maka, jangan kaget jika tak seorang pun tertuduh ikut demonstrasi yang berpuncak pada peristiwa 12 November 1991 di Dili itu dibebaskan atau mendapat hukuman ringan. Misalnya, lima terdakwa yang divonis Rabu lalu. Hukuman paling rendah lima tahun delapan bulan, tertinggi seumur hidup. Gregorio da Chunha Saldana, 30 tahun, yang terkena tuduhan subversi mendapat ganjaran hukuman penjara seumur hidup (TEMPO, 11 Juli 1992). Fransisco Miranda, juga tuduhan subversi divonis 15 tahun penjara. Selain itu, Jacinto Dan Neives Raimundo Albes, Juvencio de Jesus Martin, dan Carlos Dos Santos Lemos yang dituduh berbuat makar dihukum dari lima hingga 10 tahun. Sementara itu, sebulan silam Mahkamah Militer memvonis 12 sampai 18 bulan penjara kepada enam bintara dan tamtama yang terlibat penembakan dalam insiden Dili yang mengakibatkan 50 demonstran mati, 91 lukaluka, dan 90 orang hilang itu. Para pembela mencoba meringankan hukuman kliennya. "Hukuman berat lebih karena pertimbangan politis daripada yuridis," kata Artidjo Alkostar, salah satu pengacara dari pembela YLBHI IKADIN yang mendampingi para terdakwa. Tuntutan yang sudah berat dari jaksa, katanya, ditambah "bonus" dari hakim. Misalnya, Jacinto Das Neves Raimundo Albes, 36 tahun, yang semula dituntut delapan tahun divonis 10 tahun. Sedang Carlos Dos Santos Lemos, 31 tahun, pegawai Pemda Tim-Tim yang dituntut delapan tahun penjara, dihukum enam tahun oleh hakim Ratu Tanah Bolleng. Alasannya, selama persidangan, Lemos berterus terang dan bahkan membantu pengusutan terdakwa lainnya. Hakim Ratu menganggap hukuman berat terpaksa dijatuhkan bagi demonstran karena "Terungkap dalam persidangan, bahwa demonstrasi 12 November 1991 itu didalangi oleh enam orang anggota CE (Komite Eksekutif) yang berupaya memisahkan Tim-Tim dari Indonesia." Perbedaan mencolok antara hukuman yang dijatuhkan kepada para demonstran dan tentara juga disorot berbagai pihak di luar negeri. Pekan lalu, misalnya, lima senator Amerika Serikat menulis surat kepada Menteri Luar Negeri James Baker agar perutusan AS ke sidang CGI di Paris memberikan pernyataan protes atas ketimpangan hukuman itu dan penyetopan pendanaan sejumlah LSM. Keprihatinan AS disampaikan pula oleh Wakil Menteri Pertahanan Paul Wolfowitz kepada Menteri L.B. Moerdani dua pekan silam. "Pada Wolfowitz saya katakan kalau ini urusan dalam negeri kita," kata Moerdani dalam dengar pendapat di Komisi I DPR. Dalam kasus militer itu, kata Moerdani, mereka disebut "insubordinasi", misalnya melaksanakan penembakan tanpa ada perintah dari atasan. "Jangan ikut orang asing yang tak mengerti tolok ukur kita," kata Moerdani. Sementara para demonstran, katanya, terbukti terlibat subversi yang merongrong Pemerintah dengan memisahkan Tim-Tim dari Indonesia. Biar begitu, tetap saja hukuman dianggap terlalu tinggi. "Hukuman itu kebangetan," kata seorang pejabat tinggi. Menurut dia, hukuman itu "Pasti merugikan citra Indonesia di luar negeri." Leila S.Chudori, Wahyu Muryadi, Linda Djalil (Jakarta), dan Rubai Kadir (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini