SERUAN pemerintah agar rapat akbar itu dibatalkan tidak beroleh sambutan. Partai Demokratik Korea Baru (NKDP) berkeras menyelenggarakan aksi massa di Masan, ketujuh dari serangkaian kegiatan unjuk rasa oposisi yang ternyata berlangsung paling tertib. Dugaan Mendagri Chung Suk Mo, bahwa "akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", meleset sama sekali. Dihadiri 15.000 pengunjung, rapat yang berlangsung Sabtu pekan lalu itu bertempat di sebuah kompleks olah raga dengan pembicara utama, Kim Young Sam. "Hari ini merupakan titik peralihan," ujar politikus pembangkang kenamaan itu. "Gelora suasana menunjukkan pada saya bahwa pemerintah harus segera merombak konstitusi." Adalah perombakan itu juga yang dituntut kelompok mahasiswa militan. Tapi cara yang mereka tempuh mengundang bahaya. Seusai rapat itu sekitar 20.000 pelajar, pemuda, dan mahasiswa yang tidak ikut hadir di kompleks olah raga tersebut turun ke jalan. Mereka dihadang polisi anti huru-hara. Bentrokan tak terelakkan lagi, 23 demonstran kabarnya luka-luka. Kerusuhan bisa lebih meningkat andai kata polisi tidak cepat menyemprotkan gas air mata. Sejak awal Maret berselang, pemerintahan Chun Doo-Hwan terpaksa belajar kenal dengan "kekuatan rakyat" yang seakan mendapat tenaga ekstra sesudah Kardinal Kim Su Hwan mendukung perjuangan mereka. Pemimpin 2 juta umat Katolik di Korea Selatan ini dalam satu khotbahnya menyatakan bahwa pembaruan konstitusi memang diperlukan untuk menyukseskan rujuk nasional. Karena itu, mengapa harus menunggu sampai tahun 1989? Adalah Presiden Chun Doo-Hwan yang menetapkan ancer-ancer tahun 1989 untuk perombakan konstitusi yang selama ini ia hindari. Mengapa? Jenderal Chun Doo-Hwan berkuasa lewat sebuah kudeta militer tahun 1980. Dan ia diangkat sebagai presiden setelah melalui pemilihan tidak langsung lewat lembaga perwakilan - sementara lawan-lawannya disekap dalam penjara atau terkena larangan berpolitik. Kini, setelah oposisi bebas bergerak lagi, mereka menuntut agar pemilihan presiden dapat diselenggarakan melalui pemungutan suara langsung, pada pemilu 1988 mendatang. Supaya sasaran ini tercapai, proses pertama yang harus ditempuh ialah merombak konstitusi. Dungan untuk itu datang dari segenap penjuru, apalagi setelah adanya pengukuhan dari Kardinal Kim. Tidak heran bila rapat oposisi selalu mendapat sambutan gegap gempita di banyak tempat. Kabarnya, 50.000 pengunjung membanjiri rapat terbesar di Kwangju, 31 Maret lalu. Rapat paling seru terjadi di Ichon, sebuah kota pelabuhan, 32 km sebelah barat Seoul. Waktu itu kaum buruh melemparkan batu dan bom minyak ke arah polisi yang kontan membalas dengan granat gas air mata. Seratus orang luka-luka, 150 lainnya ditahan. Tapi Chun Doo-Hwan tidak mudah digertak. Sikap kerasnya lantas kambuh dan hampir semua tokoh oposisi dikenai tahanan rumah. Tapi belakangan ia menempuh siasat lain. Chun mengundang oposisi makan siang. Lalu mereka berbincang-bincang. Akhirnya jenderal itu menawarkan kompromi: konstitusi dirombak nanti, tahun 1989, sesudah presiden baru terpilih untuk tujuh tahun masa jabatan, yang siapa lagi kalau bukan Chun Doo-Hwan. Mahasiswa meningkatkan militansi karena khawatir oposisi bisa "termakan" oleh kompromi itu. Pada saat yang sama Kardinal Kim terpanggil untuk memainkan peran lebih besar demi kelangsungan demokrasi di negerinya. Akhirnya Kim Young Sam menggerakkan aksi kumpul tanda tangan, sementara makin banyak saja pendeta yang turun ke jalan. Tampaknya, dalam upaya "menundukkan" Chun, oposisi makin banyak terilhami oleh revolusi confetti di Filipina. Aksi-aksi mereka damai dan tertib, poster-poster didominasi warna kuning dan yel-yel menyuarakan "demokrasi, demokrasi ...." Kekurangannya cuma ini, belum muncul dua tokoh yang berperan sebagai Ramos dan Enrile ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini