Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAMAN 24 detik antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menjadi olok-olok dunia. Trump menarik dan mengguncang tangan Abe lalu menepuk-nepuknya hingga pemimpin Jepang itu meminta Trump melepaskan tangannya sambil menunjuk para juru kamera. Bersalaman yang tak biasa dan aneh dalam diplomasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah bersalaman, Abe melemparkan punggungnya ke kursi dengan senyum getir. Sementara itu, Trump mengacungkan jempol ke arah wartawan dan menunjuk Abe yang duduk di sebelahnya. "Tangan yang kuat," katanya. Keduanya lalu menggelar pertemuan tertutup di Gedung Putih, Washington, DC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Trump, menjamu Abe pada Jumat dua pekan lalu itu adalah pertemuan pertama dengan kepala pemerintah negara lain sejak dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45 pada pertengahan Januari lalu. Bagi Abe, pertemuannya dengan Trump sangat penting karena ia membawa agenda krusial soal kelanjutan kerja sama pertahanan.
Jepang sedang cemas atas "infiltrasi" kapal-kapal patroli Cina yang masuk perairan Laut Senkaku. Perairan dengan delapan pulau karang tak berpenghuni seluas 7 kilometer persegi ini adalah batas terluar wilayah Jepang di Laut Cina Timur. Jarak ke daratan Cina 330 kilometer, 170 kilometer ke Taiwan, 170 kilometer ke Pulau Ishigaki, dan 410 kilometer ke Pulau Okinawa.
Sejak 2014, jumlah kapal Cina ke wilayah ini semakin meningkat dari 23 kali kunjungan pada 2012 menjadi 36 kali pada tahun lalu. Pada Juli tahun lalu, petugas patroli laut Jepang memergoki sebuah kapal berbobot 10 ribu ton masuk perairan ini.
Menurut juru bicara Japan Coast Guard (JCG), Hiroaki Ohdachi, para penjaga pantai acap bentrok dengan kapal-kapal tersebut. Dalam sebuah pengejaran yang direkam personel JCG, terlihat kapal patroli laut Jepang menabrak kapal Cina setelah berkejaran. "Kami coba berkomunikasi dengan bertanya dari mana dan apa keperluan mereka di Senkaku," ujar Ohdachi dalam bahasa Jepang di Tokyo.
Para petugas patroli Jepang terus merangsek mengepung ratusan kapal Cina hingga mereka perlahan keluar dari batas laut Senkaku. Sekali waktu, dalam sebuah penghadangan, penumpang kapal Cina itu menjawab pertanyaan petugas patroli Jepang. "Mereka mengaku sedang berpatroli karena, menurut mereka, Senkaku adalah wilayah laut Cina," kata Ohdachi.
Bukan kapal saja, Jepang juga menangkap kapal selam dan pesawat tempur Cina berkeliaran di perairan itu. Pada 2016, Kementerian Pertahanan Jepang mencatat ada 644 kali manuver pesawat Cina di perbatasan wilayah selatan. Jumlah ini meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya yang hanya 571 kali.
Di wilayah perbatasan dengan Korea di selatan, Kementerian Pertahanan juga merekam pergerakan pesawat tempur Rusia. Mereka bolak-balik mengitari laut Jepang, berputar di atas Hokkaido ke Samudra Pasifik hingga di perairan di timur Shizuoka. Kementerian bahkan mendeteksi ada pelatihan militer antara Rusia dan Cina di atas wilayah Jepang.
Di Laut Cina Selatan, pemerintah Jepang juga mendeteksi aktivitas militer Cina. Melalui foto-foto satelit, Jepang mengetahui pemerintah Cina menimbun laut dan membangun pangkalan militer, lapangan terbang, dan satelit di Kepulauan Paracel-gugusan pulau kecil di antara Filipina dan Thailand.
Jepang kelimpungan dengan "pengepungan" ini. Oka Masami, Deputi Direktur Kebijakan Pertahanan Kementerian Pertahanan Jepang, menyebutkan pemerintahnya prihatin terhadap situasi di sekitar negara mereka. Mariko Kaneko, Asisten Sekretaris Pers Kementerian Luar Negeri, menyebut "infiltrasi" ini sebagai "situasi yang sulit bagi Jepang".
Dua tahun setelah Amerika mengebom Nagasaki dan Hiroshima pada 1945, Jepang mengubah konstitusi mereka dengan menghapus tentara ofensif dan menggantinya dengan pasukan bela diri sipil. Untuk urusan pertahanan, Jepang mengandalkan Amerika Serikat, yang membuka pangkalan militer di Pulau Okinawa.
Kerja sama pertahanan ditandatangani kedua negara lima tahun setelah Amerika mengembalikan Okinawa ke Jepang pada 1972 setelah diokupasi selama Perang Dunia II. Maka kunjungan Shinzo Abe ke Washington sangat penting bagi Jepang untuk memastikan pemerintahan baru Presiden Donald Trump setia pada kerja sama itu.
Dua pekan sebelum bertemu dengan Trump, Abe menjamu Menteri Pertahanan James Mattis di Tokyo untuk membahas Okinawa. Dalam pernyataan bersama pada Sabtu dua pekan lalu, Abe berhasil meyakinkan Trump agar teguh memegang perjanjian antara Jenderal Douglas McArthur dan Perdana Menteri Kijuro Shidehara itu.
Dalam rilis yang diunggah situs Gedung Putih, Trump dan Abe sepakat menentang aksi unilateral di perairan Senkaku. Meski tak menyebut Cina, pernyataan itu jelas ditunjukkan kepada Negara Panda. "Kami akan berdiri di belakang Jepang dalam soal pertahanan, 100 persen!" ujar Trump.
"Konflik" ini sebetulnya perseteruan lama antara Cina dan Jepang, sejak Okinawa masih bernama Kerajaan Ryukyu pada abad ke-14. Jepang menamai perairan itu Senkaku pada 1900, lima tahun setelah perjanjian Shimonoseki yang menyerahkan Taiwan dan pulau-pulau di sekitarnya kepada Jepang dan surat terima kasih Konsulat Cina di Nagasaki atas penyelamatan 31 nelayan Provinsi Fujian di Pulau Uotsuri, pulau terbesar di Senkaku.
Pemerintah Cina tetap menyebut pulau-pulau karang itu Diaoyu Dao sebagai wilayah mereka berdasarkan perjanjian Postdam Kairo 1943. Dalam "Buku Putih Diaoyu Dao Sebagai Wilayah Tak Terpisahkan Cina", yang diterbitkan pada 2012, pemerintah Republik Rakyat Tiongkok menegaskan bahwa pengakuan Jepang atas wilayah tersebut ilegal. Maka, sejak buku itu diterbitkan, pemerintah mengirim kapal patroli ke perairan tersebut untuk mengguyah kapal patroli Jepang.
Setelah pernyataan bersama Abe dan Trump, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuan, angkat bicara. Menurut dia, retorika Amerika dan Jepang tak akan mengubah fakta bahwa Diaoyu Dao adalah wilayah Cina. "Sebaiknya berhenti membuat pernyataan yang akan membawa dampak negatif pada perdamaian dan stabilitas regional," katanya.
Senkaku layak diperebutkan. Wilayah ini kaya minyak, gas, dan ikan. Menurut catatan Kementerian Ekonomi Jepang, di dasar laut Senkaku tersimpan cadangan minyak sebanyak 500 juta kiloliter. Sedangkan Cina memperkirakan lebih dari 100 miliar barel minyak dan 200 triliun kaki kubik gas.
Gesekan di Senkaku itu tak urung membuat nelayan Jepang jeri melaut ke sana. "Terlalu berbahaya berlayar ke sana," ujar Yoji Gushiken, 60 tahun, nelayan Ishigaki sejak usia 20. "Kapal kami bisa tenggelam karena ombak akibat kapal-kapal patroli yang sangat besar." Penghasilan Gushiken pun melorot dari 200 tuna per tiga hari menjadi 60 ekor tiap pekan.
Parlemen dan masyarakat Jepang sudah geram terhadap kejadian di Senkaku. Yoshiyuki Toita, anggota parlemen Ishigaki dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertahanan, meminta pemerintah pusat lebih tegas dengan mengirimkan tentara ke Yaeyama-sebutan untuk pulau-pulau terluar di selatan Jepang, termasuk Ishigaki. "Jika perang tak mungkin, mari kita ciptakan konflik diplomatik," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo