Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekarang ketika kami melihat kembali ke Timur
Kami ingat banyak hal dari masa lalu
O, di mana orang tua kami tercinta?
Anda mengusir kami ke Bangladesh
Kami harus meninggalkan negeri kami tercinta, Burma
LARIK lagu Rohingya itu akrab di telinga para pengungsi di kamp Nayapara di Bangladesh. Lagu rakyat berdurasi 2 menit 21 detik itu dilantunkan seorang pria dengan diiringi alat musik petik dan tabuh. Ditulis ulang oleh Farzana Kazi Fahmida, seorang dosen senior di Universiti Utara Malaysia, saat dia menyambangi kamp Nayapara pada 2009, syair lagu itu menggambarkan kerinduan orang Rohingya terhadap Burma-kini Myanmar.
"Moghs (orang-orang Buddha) menyebut kami ’manusia perahu’ karena tak punya kewarganegaraan," kata Kalaya Ahmed, 62 tahun, seorang penghuni kamp. Di Myanmar, negeri dengan mayoritas pemeluk Buddha, warga etnis minoritas muslim Rohingya seperti Ahmed telah lama menjadi korban aniaya tentara dan biksu radikal. "Kakek, ayah, dan saya lahir dan pernah tinggal di sana (Rakhine), tapi kami tetap dianggap ’penduduk sementara’."
Menurut Fahmida, kata "rumah" sangat bermakna bagi orang Rohingya. Dalam bahasa Rohingya, "Rumah bisa berarti tanah air, Rakhine," ujarnya, merujuk pada nama negara bagian di Myanmar barat yang dulu bernama Arakan. Rumah, Fahmida menuturkan, juga mengacu pada bekas kediaman, tempat orang Rohingya pernah menjalani kehidupan yang aman dan tenteram sebelum mereka terusir dari kampung halaman.
Nayapara salah satu kamp resmi yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bangladesh selatan. Bersama kamp Kutupalong di Distrik Cox’s Bazar, Chittagong, dua kilometer dari perbatasan Myanmar, Nayapara menampung sekitar 32 ribu pengungsi Rohingya. "Etnis Rohingya terjepit. Kabur dari penganiayaan di Myanmar, mereka didorong kembali oleh otoritas Bangladesh," kata Champa Patel, Direktur Amnesty International Asia Selatan.
Berimpitan dengan Rakhine, Bangladesh tujuan utama mengungsi kaum Rohingya. Sejak 1978, saat gelombang besar pertama pengungsi Rohingya, Bangladesh dijejali 222 ribu pendatang. Mayoritas mereka dipulangkan ke Myanmar. Pada 1991-1992, arus 250 ribu pengungsi Rohingya kembali membanjiri Bangladesh. Sebagian juga telah dipulangkan, kecuali mereka yang masih tinggal di kamp resmi, seperti Nayapara dan Kutupalong.
Bangladesh terus kebanjiran pengungsi Rohingya. Kini masih ada lebih dari 200 ribu orang Rohingya, termasuk 65 ribu orang yang masuk sejak operasi militer di Rakhine pada Oktober 2016. Kebanyakan pengungsi tak berdokumen, tinggal di tempat penampungan sementara dekat kamp-kamp resmi. "Kami tidak bisa terus membuka pintu untuk masuknya gelombang pengungsi," ujar Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina.
PULAU tak berpenghuni itu bahkan tidak tampak di peta. Gersang, rentan terhadap banjir, tidak ada bangunan, jalan, apalagi menara pemancar jaringan telepon. Dengan luas 2.430 hektare, pulau itu teronggok di mulut Sungai Meghna, dekat Pulau Hatiya di perairan Teluk Bengal. Berjarak sekitar 59 kilometer dari daratan utama Bangladesh, Thengar Char, nama pulau telantar tersebut, bakal menjadi "rumah" baru bagi ribuan pengungsi Rohingya.
Saat Reuters mengunjungi Thengar Char, satu-satunya tanda kehidupan hanya segerombol kerbau liar. Mamalia pencinta kubangan lumpur itu tengah mengunyah rumput yang menguning di tepi pantai, dua pekan lalu. "Pulau itu sangat sulit dijangkau," kata seorang pejabat pemerintah Bangladesh. Menurut dia, Thengar Char bukan tempat layak huni untuk pengungsi. "Ini ide mengerikan dan gila. Seperti mengirim orang ke pengasingan."
Thengar Char baru muncul sekitar satu dasawarsa silam. Pulau ini terbentuk dari endapan lumpur Sungai Meghna, perpanjangan Sungai Gangga di India. Sebagian besar tanah di pulau tersebut tidak stabil. Hampir 200 hektare daratannya terkikis dalam beberapa tahun terakhir. "Kebanyakan areanya terendam saat hujan besar atau laut pasang," ucap Amir Hossain Chowdhury, petugas dinas kehutanan di Distrik Noakhali, yang menaungi Thengar Char.
Kondisi itu tak menghalangi Perdana Menteri Sheikh Hasina untuk memoles Thengar Char. Ia mengutus orang kepercayaannya mendatangi pulau terpencil itu untuk menyiapkan dermaga, landasan helikopter, dan fasilitas pengungsian pekan lalu. "Pembangunan diminta rampung dalam 15 hari," kata Rezaul Karim, pejabat yang mendampingi tangan kanan Hasina. Karim tak menyebutkan kapan pengungsi Rohingya mulai dipindahkan.
Selain beton, bakau ditanam di sepertiga wilayah Thengar Char. Begitu pula pohon-pohon untuk mencegah tepian pulau tergerus air laut. "Agar pulau dapat ditempati," ujar Chowdhury. Namun upaya itu justru membuat waswas warga Kota Noakhali, yang berjarak 80 kilometer dari Thengar Char. "Lokasinya yang terpencil menjadi tempat bersembunyi perompak serta penyelundup narkotik dan senjata," kata Mohammad Rezaul Karim.
Mizanur Rahman, 48 tahun, petugas Desa Might Bangha, permukiman terdekat dengan Thengar Char, tak kalah khawatir. Ia terang-terangan menolak pengungsi Rohingya. Menurut dia, orang Rohingya kerap terlibat kejahatan. Apalagi di perairan Thengar Char, yang berjarak dua jam berperahu, bajak laut sering berkeliaran menculik nelayan demi uang tebusan. "Kami hanya mendengar hal-hal buruk tentang Rohingya," ucapnya.
ETNIS Rohingya mengisi 1 dari 53 juta penduduk Myanmar. Meski nenek moyang mereka telah tinggal di Rakhine selama ratusan tahun, warga muslim Rohingya selalu ditindas dan diperlakukan berbeda. Lewat Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, pemerintah Myanmar menganggap etnis Rohingya sebagai pengungsi Bangladesh. Tanpa status penduduk resmi, orang Rohingya tidak mendapat akses pendidikan dan pekerjaan.
Pengungsi Rohingya hanya bisa berharap pada bantuan kemanusiaan. Seperti saat kapal Nautical Aliya asal Malaysia merapat ke pelabuhan Chittagong, Selasa pekan lalu. Sebanyak 1.472 ton bahan makanan, pakaian, dan obat dibagikan untuk 15 ribu keluarga Rohingya di kamp Teknaf dan Teknaf di Cox’s Bazar. Sepekan sebelumnya, puluhan biksu radikal dan demonstran memprotes Nautical Aliya saat bersandar di ibu kota Myanmar, Yangon. Mereka melambaikan bendera Myanmar dan spanduk bertulisan "No Rohingya".
Terlunta-lunta di Myanmar, etnis Rohingya hidup merana di Bangladesh. Negara termiskin ketiga di Asia Selatan itu mengalami dilema karena tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Bangladesh tak memiliki undang-undang untuk menangani pengungsi. "Masuknya orang Rohingya menjadi isu tak nyaman bagi kami," kata Menteri Dalam Negeri Bangladesh Asaduzzaman Khan. "Kami tidak ingin imigran gelap Rohingya."
Bangladesh telah lama kewalahan meladeni pengungsi Rohingya. Pada 2015, Perdana Menteri Sheikh Hasina pernah mengusulkan relokasi ke Thengar Char. Namun rencana itu ditangguhkan setelah banjir kecaman dari komunitas internasional. Kini kritik kembali menghujani Hasina. "Mereka berdalih relokasi akan memperbaiki kualitas hidup orang Rohingya. Ini rencana kejam," ujar Brad Adams, Direktur Human Rights Watch Asia.
Pemerintah Bangladesh tak punya banyak pilihan. Mengacu pada Undang-Undang Warga Asing 1946, pengungsi Rohingya berstatus "orang asing ilegal". Polisi dapat menangkap mereka kapan saja. Orang Rohingya juga dilarang mencari kerja, mendaftar untuk pernikahan, dan bersekolah. "Myanmar harus mengambil kembali pengungsi Rohingya," kata Hasina setelah bertemu dengan Wakil Menteri Luar Negeri Myanmar Kyaw Tin di Dhaka pada medio Januari lalu.
Namun pemerintah Myanmar setengah hati. Mereka hanya setuju memulangkan pengungsi Rohingya yang kabur ke Bangladesh selepas Oktober tahun lalu. "Kami tidak bisa menerima begitu saja jika mereka bukan dari Myanmar," ucap Aye Aye Soe, Wakil Direktur Kementerian Luar Negeri Myanmar. Ia mengatakan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi telah memerintahkan verifikasi pengungsi Rohingya mulai April mendatang.
Rencana relokasi ke Pulau Thengar Char membuat waswas pengungsi Rohingya. "Kami mengenal tetangga kami, berbincang dengan dialek lokal, yang mirip dengan bahasa Rohingya," kata Shafiul Mostafa, yang telah dua dasawarsa tinggal di kamp pengungsi di Cox’s Bazar. Hasratnya untuk pulang ke Rakhine tak pernah pupus, meski tak pernah jadi pilihan mudah. "Di sana tidak aman. Tapi saya takut akan dikubur di tanah asing ini," ucap seorang perempuan paruh baya di kamp Teknaf, dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Mahardika Satria Hadi (REUTERS | DHAKA TRIBUNE | BBC | THE HINDU | FRONTIER MYANMAR | THE CONVERSATION)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo