Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JENAZAH lima tentara Azerbaijan itu sempat tersandera situasi. Kelompok pemberontak yang didukung Armenia melarang pemindahan mayat-mayat itu dari lokasi baku tembak di sepanjang perbatasan wilayah Nagorno-Karabakh. Pernyataan dari kelompok itu menyebutkan alasan "pihak Azeri (Azerbaijan) melanggar kesepakatan".
Kelima tentara itu, menurut Kementerian Pertahanan Azerbaijan, tewas di kawasan "tak bertuan" Khojavend dan Fizuli. Bentrokan terjadi pada pagi hari Sabtu dua pekan lalu. Pemberontak menuding tentara Azerbaijan berupaya menyusup ke wilayahnya; Azerbaijan punya tuduhan serupa untuk pemberontak.
Tidak sepenuhnya jelas apa kesepakatan yang dimaksud itu. Yang pasti, bentrokan tersebut sempat menimbulkan kekhawatiran konflik bakal meluas di Kaukasus Selatan yang dilintasi pipa minyak dan gas itu. Karena itu, para juru penengah dari OSCE Minsk Group buru-buru menyeru kedua pihak agar "mempertahankan peralatan militer di posisinya saat ini agar pemindahan jenazah bisa dilakukan". Pemindahan akhirnya bisa dilakukan pada Selasa pekan lalu.
Bentrokan beberapa kali terjadi di sana sejak perang antara Armenia dan Azerbaijan diakhiri dengan gencatan senjata pada 1994-pertempuran pertama kali pecah pada 1991, tak berapa lama setelah Uni Soviet ambruk. Nagorno-Karabakh, wilayah yang oleh masyarakat internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, terbelah: sebagian besar dikuasai oleh penduduk dari etnis Armenia, yang mendeklarasikannya sebagai Republik Nagorno-Karabakh.
Kejadian di Khojavend dan Fizuli berlangsung bertepatan dengan peringatan pembantaian di Khojaly pada 1992. Di masa perang itu, setidaknya 160-an warga sipil Khojaly, kota terbesar kedua di Nagorno-Karabakh, menjadi korban kekejian tentara Armenia selama dua hari, 25-26 Februari. Azerbaijan mengklaim jumlah korban lebih banyak-lebih dari 613 warga sipil, termasuk 106 perempuan, 63 anak-anak, dan 70 orang lanjut usia.
Laporan Human Rights Watch pada 1993 menyebutkan tragedi itu terjadi ketika "iring-iringan besar penduduk kota, yang dikawal beberapa puluh tentara Azerbaijan yang mundur, meninggalkan kota yang direbut tentara Armenia". Di perbatasan dengan Azerbaijan, tentara Armenia di sebuah pos memergoki mereka dan membabi-buta menembakkan senjata ke arah mereka. Kedutaan Besar Azerbaijan untuk Indonesia menyebutnya sebagai "genosida paling mengerikan dan tragis" dalam sejarah negara itu.
Di tingkat internasional, tak ada perselisihan mengenai peristiwa di Khojaly-bahwa jumlah korban pembantaiannya merupakan yang terbesar selama konflik berlangsung dan bahwa pelakunya tentara Armenia. Demikian pula halnya dengan bagaimana konflik kedua negara tersebut mesti diselesaikan. Melalui empat resolusi Dewan Keamanan pada 1993, yang mengakui Nagorno-Karabakh sebagai "bagian tak terpisahkan dari Azerbaijan", Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak penarikan pasukan pendudukan dan menyeru agar lebih dari sejuta warga Azerbaijan yang terusir dipulangkan.
Pelaksanaan resolusi 822, 853, 874, dan 884 itulah yang hingga kini tak dipatuhi oleh Armenia. Bagi Armenia, seperti dikemukakan Victoria Bagdassarian, Duta Besar Armenia untuk Italia, kepada kantor berita Agenparl pada Rabu pekan lalu, resolusi itu diadopsi "dengan tujuan khusus untuk menghentikan kekerasan". "Armenia tak pernah disebut sebagai bagian dari konflik," katanya.
Berbagai upaya diplomasi telah dilakukan untuk menguburkan perbedaan itu. Tapi Minsk Group-kelompok negara-negara yang dipimpin bersama oleh Amerika Serikat, Rusia, dan Prancis-belum menemukan pemecahan masalahnya meski sejak awal telah menjadi penengah. Politik, yang mereka yakini merupakan jalan keluar, seakan-akan mampet. "Karena standar ganda Rusia yang mendukung Armenia," demikian pernyataan Kedutaan Besar Azerbaijan untuk Indonesia.
Azerbaijan memandang, adalah penting, demi tercapainya perdamaian, fakta-fakta itu diangkat dan dibahas secara adil, di samping adanya proses hukum terhadap para pelaku. Selain itu, Azerbaijan percaya adanya suara masyarakat sipil di kedua pihak yang sama-sama menghendaki perdamaian dan harus didengar.
Peluang perdamaian memang belum tertutup sama sekali. Para juru penengah masih percaya perundingan merupakan forum yang tak tergantikan. Bentrokan di Khojavend dan Fizuli, menurut Richard Hoagland, Duta Besar Amerika untuk Minsk Group, justru menegaskan betapa masih pentingnya hal itu. Karena itu, dia mendesak kedua pihak memulainya lagi.
PURWANTO SETIADI (AL JAZEERA, AZERI-PRESS AGENCY, AZERNEWS, TASS)
Sekam Konflik
KONFLIK akibat perebutan wilayah Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan bertahan bagai sekam. Sejak perang kedua negara diakhiri dengan gencatan senjata pada 1994, telah beberapa kali terjadi kontak senjata di perbatasan Azerbaijan dengan wilayah yang kini sebagian besar dikuasai Armenia itu.
Nagorno - Karabakh
Penduduk: 150.000
Status:
Terletak di wilayah Azerbaijan, tapi dikuasai oleh pasukan etnis Armenia dan militer Armenia sejak 1994. Perang di antara kedua negara setelah Uni Soviet ambruk pada 1991 menewaskan hingga 30 ribu orang dan menjadikan lebih dari sejuta orang mengungsi.
Ketegangan:
Kekerasan yang pecah antara warga Armenia yang Kristen dan warga Azerbaijan yang umumnya muslim di sepanjang ”garis kontak” cenderung meningkat beberapa tahun terakhir. Ini bisa mengancam kestabilan kawasan yang memasok minyak dalam jumlah besar ke Eropa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo