Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Adel bin Ahmed al-Jubeir, Menteri Luar Negeri Arab Saudi, sempat meletupkan spekulasi. Waktu itu, Maret 2016, rancangan undang-undang yang memungkinkan rakyat Amerika Serikat korban atau keluarga korban serangan 11 September 2001 menggugat Saudi sedang hangat diperdebatkan. Menanggapi hal ini, Al-Jubeir mengatakan Saudi akan menjual ¡±kekayaan US$ 750 miliar di Amerika¡± jika undang-undang itu diberlakukan.
Yang segera mengusik, khususnya bagi rakyat Amerika, adalah pertanyaan apakah benar Saudi memarkir dana sebesar itu di sanadalam wujud surat utang negara. Ada kekhawatiran, jika benar Saudi menarik kekayaannya, dolar bakal terguncang; ini yang menyebabkan Presiden Barack Obama sempat memperingatkan tentang ¡±konsekuensi yang tak diinginkan¡±.
Sebuah artikel di majalah ¡©Forbes pada Mei 2016, yang ditulis Jim Collins, menepis pikiran bahwa Saudi memegang kekuasaan teramat besar di pasar Amerika itu. Collins menyebutnya "tidak berdasar" dan "sangat tidak akurat". Merujuk pada data Departemen Keuangan, menurut dia, Saudi hanya memiliki kurang dari 1 persen dari total utang Amerika. Ini di masa ketika, dalam pembukuan, Saudi masih digabungkan dengan negara-negara pengekspor minyak.
Pada pertengahan Mei tahun lalu, Departemen Keuangan memutuskan untuk mengumumkan data baru, yang memisahkan angka-angka dari setiap negara dalam kelompok itu. Pembukaan data ini dilakukan untuk memenuhi permintaan Bloomberg, yang menggunakan Undang-Undang Kebebasan Informasi sebagai dasar. Angka yang kemudian dipublikasikan tercatat US$ 117 miliar.
Ada perkiraan jumlah yang sebenarnya bisa lebih besar. Tapi Collins, yang sebelumnya menduga jumlahnya sekitar US$ 150 miliar, tak mempercayainya. Dia menulis: "Saya yakin hal itu mustahil. Kepemilikan Saudi lainnya tak mungkin dihitung secara persis, tapi pastinya tak besar."
Berapa pun, yang jelas Saudi mesti berhitung keras secara politik sebelum memutuskan menarik dananya, untuk keperluan apa saja-termasuk menambal defisit anggarannya. Dalam sejarah, seperti terungkap bersamaan dengan diumumkannya besaran utang Saudi itu, dana tersebut merupakan salah satu faktor penting yang ikut menempa perjanjian yang menjadikan kedua negara saling membutuhkan.
Semua itu bermula pada masa Presiden Richard Nixon. Waktu itu tahun 1974. Amerika sedang mengalami krisis ekonomi-harga minyak terbang tinggi, inflasi ikut membubung, indeks bursa saham ambruk-akibat embargo oleh negara-negara Arab anggota Organisasi Pengekspor Minyak (OPEC). Embargo ini dilancarkan sebagai balasan atas dukungan Amerika Serikat untuk Israel dalam perang Arab-Israel 1973.
Nixon lalu mengutus Menteri Keuangan William Simon untuk meredam senjata minyak itu dan membujuk Saudi agar mau membiayai defisit anggaran Amerika. Karena harga minyak berlipat empat kali, Saudi-seperti halnya semua negara produsen minyak-memang bagaikan mendapat rezeki nomplok, yang lazim disebut petrodolar.
Misi itu boleh dikata mustahil. Tapi Nixon tak mau menerima kegagalan. Sebagai bekas petinggi Salomon Brothers yang menangani obligasi pemerintah, Simon kebetulan paham seluk-beluk dan daya tarik utang pemerintah Amerika. Dia juga percaya bisa menjual ide kepada Saudi bahwa Amerika adalah tempat paling aman untuk memarkir dana.
Simon menawarkan prinsip dasar yang sederhana: Amerika membeli minyak dari Saudi dan menyediakan bantuan militer serta peralatan; Saudi, sebagai imbalannya, menggelontorkan petrodolarnya ke Amerika, membeli surat utang pemerintah-dan secara tak langsung membiayai belanja pemerintah Amerika.
Setelah melalui beberapa perundingan, Saudi setuju dengan syarat, seperti diminta Raja Faisal bin Abdulaziz al-Saud, Amerika bersedia merahasiakan transaksi itu. Penggabungan Saudi ke dalam kelompok negara-negara pengekspor minyak itu merupakan salah satu cara.
Kini, 41 tahun kemudian, Saudi sedang berada di masa-masa sulit. Akibat harga minyak yang cenderung melemah, dan perang yang sedang dijalaninya di Yaman, kerajaan ini terpaksa menjual sebagian saham perusahaan terpentingnya: Saudi Aramco. Hubungan dengan sekutu terbesarnya, Amerika, pun menjadi kurang mesra-dan masih belum pasti pada masa awal pemerintahan Presiden Donald Trump. Amerika berdamai dengan Iran; Amerika juga makin tak bergantung pada minyak Saudi. Meski demikian, dengan tetap dipertahankannya pengaturan dana itu, belum jelas juga apakah kedua negara bakal berpisah jalan.
Purwanto Setiadi (CNN, The Independent, Forbes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo