Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Konflik yang Meredupkan Cita

Amerika dan Israel mendukung pemerintah baru Palestina ala Presiden Mahmud Abbas. Hamas dikurung di Gaza.

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Dahlan terpaksa cepat-cepat angkat kaki ke Ramallah, Tepi Barat. Ia baru saja menjalani perawatan lututnya yang luka lantaran sekonyong-konyong sejumlah anggota Brigade Ezzedine al-Qassam mendobrak pintu dan menduduki kantornya di Kota Gaza. Orang dekat Presiden Mahmud Abbas ini—ia juga Ketua Dewan Keamanan Nasional Palestina—celingukan mencari tempat berlindung. Namun, semua pintu tertutup, semua markas Fatah di Jalur Gaza telah dikuasai sayap militer Hamas itu.

Dahlan sebenarnya penguasa keamanan di Jalur Gaza. Penduduk Gaza menyebutnya Panglima Perang. Tapi ia tak lagi memerangi Israel lewat pasukan komando Fatah yang dulu bertugas membunuh pejabat Israel—sesuatu yang akhirnya membuat Dahlan mendekam di penjara Israel selama lima tahun. Sekarang tugas utama Dahlan mengamankan posisi Fatah, bekas penguasa yang kalah dalam pemilu tahun lalu di Gaza.

Beberapa hal memang selalu memicu pertikaian Hamas versus Fatah: dari sikap terhadap keberadaan Israel hingga kontrol keamanan di Gaza dan Tepi Barat. Sayap militer Hamas belakangan ini mulai galak dan menjuluki Fatah ”Pasukan Yahudi Amerika”. Juru bicara Hamas, Sami Abu Zuhri, menuduh pasukan Fatah telah mengobarkan dendam, melakukan penculikan dan penyiksaan terhadap aktivis Hamas yang mereka tangkap. Sayap militer Fatah dinilai aktif mengintimidasi lawannya, juga membakar masjid.

Yang terang, dua minggu terakhir, sayap militer Hamas kalap dan memburu semua anggota pasukan keamanan Fatah di seluruh pelosok Gaza dan mengeksekusi pemimpinnya. Sebaliknya, Presiden Abbas pun berang dan menuding Hamas melakukan kudeta militer, dan Rabu pekan lalu ia menuduh Hamas mencoba membangun ”kerajaan kegelapan” di Gaza. ”Saya tak akan bernegosiasi dengan teroris pembunuh,” katanya.

Menurut Hamas, aksi mereka mengganyang aparat keamanan Fatah itu merupakan upaya untuk mengembalikan kontrol atas aparat keamanan kepada Kementerian Dalam Negeri dalam kabinet Perdana Menteri Ismail Haniyeh. Sejak Hamas memimpin kabinet, Haniyeh membentuk kesatuan paramiliter ”Pasukan Pemerintah” untuk mengganti peran pasukan Fatah, meski Presiden Abbas selalu menentang.

Setelah kabinet persatuan terbentuk sebagai hasil kesepakatan Fatah dan Hamas di Mekkah tiga bulan silam, soal pasukan keamanan masih mengganjal. Haniyeh menunjuk Hani al-Qawasmi dari unsur independen selaku Menteri Dalam Negeri, tapi Al-Qawasmi frustrasi karena gagal mengontrol pasukan Fatah dan mengundurkan diri bulan lalu. Jadi, Hamas menggusur pasukan Fatah di Gaza karena Fatah memang tak berhak mengurusi keamanan. Bagi Khalil al-Hayah, tindakan Hamas ini bukan kudeta.

Ia menyalahkan Presiden Abbas yang membubarkan kabinet persatuan, memecat Haniyeh sebagai perdana menteri, dan membentuk pemerintahan darurat dengan melantik Salam Fayyad sebagai perdana menteri. ”Tindakan Abbas menunjuk perdana menteri baru adalah ilegal. Pemerintah darurat itu juga ilegal,” ujar Virginia Tilley, analis politik asal Amerika.

Tilley mengutip sejumlah pasal dalam konstitusi Palestina hasil amendemen 2003 atas desakan Amerika untuk menyunat kekuasaan bekas Presiden Yasser Arafat. Saat itu Mahmud Abbas menjabat perdana menteri. Berdasarkan konstitusi, Abbas bisa memberhentikan perdana menteri, tapi harus menunjuk perdana menteri baru dari partai yang menguasai suara mayoritas di parlemen. Artinya, Abbas seharusnya menunjuk perdana menteri baru dari Hamas, bukan Fayyad, doktor ekonomi lulusan Universitas Texas, Amerika, pernah bekerja untuk Bank Dunia, dan pendiri partai kecil yang cuma punya dua kursi di parlemen. Presiden juga tak berhak meminta pemilu dini.

Kegiatan pemerintah tetap dijalankan kabinet lama sebelum pemerintah baru disahkan parlemen. Masalahnya, tak ada pasal yang mengatur apa yang harus dilakukan jika parlemen lumpuh karena anggota parlemen tidak lengkap akibat banyak yang ditahan Israel atau menolak berpartisipasi. Jadi, kata Tilley, pemerintahan Fayyad sejatinya ”anak angkat” proses ekstralegal tanpa dibekali mandat demokratis.

Tapi inilah politik, dan urusan legalitas bisa dinomorduakan. Dua pekan lalu, Amerika dan Israel bertindak cepat: mengirim pasokan senjata untuk Fatah. Kini Amerika, Uni Eropa, PBB, dan Rusia, kuartet internasional yang selama ini gagal menghentikan sikap keras kepala Israel dalam perundingan damai dengan Palestina, justru merestui langkah Abbas. ”Kuartet mengakui keperluan dan legitimasi keputusannya (Abbas) diambil berdasarkan konstitusi Palestina,” begitu pernyataan bersama mereka.

Di Washington, Presiden George Bush dan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert merayakan kemenangan di Gedung Putih setelah Abbas membubarkan ”Pemerintah Persatuan” dan memecat Ismail Haniyeh pada Ahad 17 Juni lalu. ”Dia (Abbas) satu suara yang rasional di antara ekstremis di lingkungan Anda,” ujar Bush kepada Olmert.

Keduanya mendiskusikan paket bantuan untuk Abbas, termasuk mencabut embargo dan memberi dukungan keuangan dan senjata. ”Harapan kami, Presiden Abbas dan Perdana Menteri Salam Fayyad dapat memimpin rakyat Palestina pada arah yang berbeda,” ujar Olmert.

Maka, Menteri Luar Negeri Amerika, Condoleezza Rice, mengumumkan bahwa Amerika akan memulai lagi hubungan diplomatik penuh dengan Otoritas Palestina secepatnya. Ia juga menjanjikan bantuan darurat di Gaza sebesar US$ 40 juta lewat PBB. Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Livni, juga menyatakan akan mencairkan pendapatan pajak dari penduduk Arab yang dipungut Israel di wilayahnya sebesar US$ 800 juta yang ditahan Israel sejak Hamas memimpin kabinet.

Selain itu, Bush juga meminta Olmert membongkar permukiman Israel di Tepi Barat untuk menunjukkan pada rakyat Palestina bahwa pemerintah moderat yang dipimpin Abbas lebih menguntungkan secara politik dan ekonomi daripada pemerintah garis keras Hamas. Sasarannya tentu saja agar rakyat Palestina berpaling dari Hamas jika Presiden Abbas jadi menggelar pemilu dini.

Di luar Gedung Putih, sambutan tak terlalu gegap gempita. Malah bekas Presiden Amerika Jimmy Carter mencela. Bush dinilainya telah bertindak kriminal. ”Tindakan Washington menolak kemenangan pemilu Hamas tahun lalu adalah kriminal dan berpihak pada Fatah adalah upaya membelah rakyat Palestina,” ujar Carter.

Menurut Jon B. Alterman, analis politik dari Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, mimpi Bush dan Olmert menjaga agar posisi Abbas aman hanya bersifat jangka pendek. ”Bagian yang paling sulit adalah menjamin Fatah berhasil di Tepi Barat dalam jangka panjang,” katanya. Maklum, popularitas Fatah remuk karena korupsi pejabatnya dan ketidakmampuan memimpin.

Isolasi terhadap Gaza sebenarnya seperti pisau bermata dua bagi Palestina. Pertama, isolasi membuat rakyat Palestina terbelah dalam dua pemerintahan: Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Akibatnya, daya tawar Presiden Abbas yang hanya berkuasa di Tepi Barat dalam perundingan dengan Israel semakin lemah.

Kedua, isolasi diperkirakan akan membangkrutkan Hamas sehingga tak ada lagi kekuatan penyeimbang yang justru bisa menjadi amunisi bagi Presiden Abbas ketika berunding dengan Israel. Impian rakyat Palestina memiliki negara merdeka yang utuh dikubur dalam-dalam. ”Ini hal yang paling buruk saya lihat sejak 1967 (perang Arab-Israel),” ujar perunding Palestina, Saeb Erakat.

Raihul Fadjri (Palestine Chronicle, Electronic Intifada, Washington Post, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus