Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konflik panas Hamas-Fatah, ia tetap netral. Mustafa Barghuti, 53 tahun, memang diterima kedua pihak. Ia berperan sebagai juru damai sebelum kesepakatan Mekkah tercapai pada Maret lalu—kesepakatan yang kemudian melahirkan kabinet persatuan nasional dengan 25 menteri dan seorang wakil perdana menteri (Azzam Ahmad dari Fatah).
Barghuti sendiri ditunjuk menjadi Menteri Informasi, tapi Fatah dan Hamas kembali bertarung sejak Mei lalu. Ketika konflik senjata pecah, Presiden Mahmud Abbas membentuk pemerintahan darurat: kabinet dengan 12 menteri dan menunjuk Salam Fayyad sebagai perdana menteri. Barghuti, anggota parlemen dari kubu independen, pun ikut tersingkir.
Ini bukan kali pertama ia tersingkir. Pria yang memiliki lembaga bantuan kesehatan di Palestina ini pernah bertarung dalam pemilihan presiden 2004 yang dimenangkan Abbas. Ketika itu, Barghuti meraih seperlima dari jumlah suara yang masuk.
Barghuti kini menyaksikan pertikaian klasik yang berulang: perebutan kontrol keamanan atas wilayah Palestina. Hamas merasa berhak lantaran mereka menang dalam pemilihan anggota parlemen, Januari 2006—Hamas berhasil mengumpulkan 74 dari 132 kursi, sementara Fatah hanya 45. Sedangkan Fatah mewakili sosok ”penguasa lama” yang tak ingin kehilangan kontrol.
Rabu malam pekan lalu, Barghuti bersedia menjelaskan soal konflik dan masa depan pemerintahan darurat tanpa Hamas. Berikut penuturannya kepada Faisal Assegaf dari Tempo saat dihubungi melalui telepon selulernya:
Bagaimana Anda melihat situasi di Palestina saat ini?
Saya pikir kondisi sekarang ini sangat buruk. Perpecahan bangsa Palestina menghancurkan seluruh rakyat dan hanya menyenangkan Israel.
Menurut Anda, siapa yang pantas disalahkan atas semua ini?
Tentu saja saya menyalahkan kedua pihak, Hamas dan Fatah. Tapi saya juga mengecam masyarakat internasional yang mematuhi keinginan Israel dalam hal bekerja sama atau menolak pemerintahan persatuan Palestina. Jika masyarakat dunia tidak membiarkan embargo terus berlangsung terhadap Palestina, tentu kami tidak akan mengalami kondisi seperti sekarang. Namun, mereka malah membantu agar embargo bisa terus berjalan, meski setelah kami berhasil membentuk pemerintahan persatuan nasional yang sangat penting. Pemerintahan yang sesuai hukum, menghormati kesepakatan (Mekkah), berinisiatif untuk perdamaian dan gencatan senjata, serta menikmati jaminan keamanan.
Selama ini bagaimana hubungan antara kabinet persatuan dan Presiden Mahmud Abbas?
Secara umum, kami dapat bekerja sama dengan sangat baik. Suasana dalam pemerintahan juga sangat bagus. Kami juga bekerja sama secara sangat baik dengan Presiden. Tidak ada masalah. Hubungan kami berjalan mulus. Satu-satunya masalah yang kami hadapi adalah embargo yang terus berlanjut. Juga, ketidakmampuan pemerintah melaksanakan rencana keamanan lantaran sejumlah pihak tidak bisa bekerja sama. Presiden Abbas dan Perdana Menteri Ismail Haniyah sebelumnya telah sepakat menyelesaikan persoalan ini. Sayangnya, semua berjalan di luar kendali. Menurut saya, penyebab utama terjadinya perpecahan dan makin memburuknya kondisi di Palestina lantaran masyarakat internasional sudah menegaskan tidak akan mengakhiri embargo.
Apakah Abbas mengumpulkan semua anggota kabinet persatuan sebelum membentuk pemerintahan darurat?
Tidak. Ia hanya bertemu dengan ang-gota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Kami diundang sebagai tim peninjau dan mewakili fraksi di parlemen. Dalam pertemuan itu, saya telah berusaha meyakinkan Presiden Abbas untuk menunda keputusannya dan ia setuju. Saya juga membujuk Hamas untuk menghentikan serangan ke Israel, tapi Haniayh meminta waktu untuk itu. Akhirnya semua gagal.
Apakah Anda setuju dengan pernyataan Abbas bahwa Hamas berusaha mengkudeta?
Saya pikir apa yang dilakukan anggota Hamas di Gaza itu salah. Mereka kini dituding menyerang seluruh sistem demokrasi. Mereka seharusnya tidak melakukan itu. Sekarang Israel berusaha mengkonsolidasi situasi ini dengan memisahkan sepenuhnya Jalur Gaza dari Tepi Barat. Inilah yang mereka inginkan selama ini. Kedua pihak sama-sama bersalah. Pertempuran antara Fatah dan Hamas adalah perebutan soal siapa yang berwenang dan siapa yang tak berwenang. Padahal, kewenangan yang ada masih dalam status penjajahan, sebab perjuangan untuk kewenangan itu adalah khayalan. Kami kehilangan persatuan nasional dalam gerakan kami. Ini sebuah dilema.
Namun, Hamas beralasan apa yang dilakukan di Gaza adalah untuk memerangi kelompok sempalan Fatah?
Itu sah saja, tapi tidak boleh menyerang kompleks kepresidenan, kediaman presiden, dan menguasai kantornya. Bagaimana ini boleh terjadi?
Menurut Anda, Israel juga turut memperkeruh konflik Hamas-Fatah?
Israel telah menahan 45 anggota parlemen kami. Kami tahu bahwa Israel ingin menghancurkan demokrasi kami. Serangan pertama mereka diarahkan ke anggota parlemen Palestina dan mereka telah menangkap 45 orang—kebanyakan dari Hamas. Kami tak boleh membiarkan itu terjadi dengan bersatu. Sekarang Hamas menyerang Fatah di Gaza dan Fatah melakukan tindakan serupa di Tepi Barat. Ini sebuah dilema besar dan terus berlanjut. Kami ingin ini semua berakhir. Karena itulah kami mengusulkan pemilu yang bebas digelar kembali. Mungkin satu-satunya cara menyelamatkan persatuan dan demokrasi adalah tercapainya kesepakatan sementara dan pemerintahan independen di antara kedua pihak yang akan menyiapkan pelaksanaan pemilu baru.
Kapan pemilu akan dilaksanakan?
Saya tidak tahu. Isu ini akan makin rumit lantaran Israel tidak akan menyetujui usulan ini. Saya yakin itu. Israel tidak ingin kami bersatu.
Pemerintahan Hamas sah lantaran mereka menang pemilu. Bagaimana dengan pemerintahan darurat sekarang?
Ya, mereka pemerintah yang sah. Kami, pemerintahan persatuan, juga sah. Tapi Presiden memiliki hak membubarkan kabinet. Ia juga berhak mengumumkan keadaan darurat. Ia dapat membentuk pemerintahan darurat hanya dalam waktu 30 hari. Lewat dari waktu itu, tidak bisa.
Apa yang akan terjadi setelah 30 hari?
Ia harus minta persetujuan parlemen (Dewan Legislatif Palestina). Tanpa persetujuan PLC, tidak ada legitimasi. Itu sebuah masalah. Karena itulah, untuk menyelesaikan krisis ini kami menyerukan segera digelar pemilu.
Tapi anggota PLC didominasi Hamas?
Karena itulah mereka tidak bisa mendapat legitimasi.
Anda yakin krisis ini akan terus memburuk?
Sayangnya, ya, karena Amerika Serikat, Israel, dan semua pihak mendorong ke arah itu.
Tapi setelah pemerintahan darurat dibentuk, embargo dihentikan?
Kenyataan bahwa embargo dicabut, itu bagus. Masalahnya, pencabutan embargo itu sangat terlambat dan karena alasan politis, bukan atas dasar kemanusiaan. Saya pikir dengan hanya membantu Tepi Barat, Gaza sekarang menghadapi krisis kemanusiaan. Itu masalah besar.
Menurut Anda, apa peran yang bisa dijalankan Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dan anggota Organisasi Konferensi Islam?
Melakukan mediasi untuk menyelesaikan semua persoalan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo