Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKELOMPOK pria asal Indonesia timur bergerombol di depan kantor Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Jakarta di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Mereka menunggu seseorang. Malam itu kantor ramai karena ada rapat pengurus.
”Ketika ditanya ada perlu apa, mereka bilang cuma ingin bertemu orang ini dan itu,” kata Dhea Prekasha Yoedha, Ketua Informasi dan Komunikasi PDI Perjuangan cabang Jakarta.
Rombongan pria kekar itu membawa kertas penting: surat kuasa penagihan dari Mayjen (Purn.) Slamet Kirbiyantoro—orang yang pernah diusung PDIP menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakarta. Dalam surat itu, menurut Dhea, Slamet memerinci pengeluarannya: Rp 2,25 miliar diberikan dalam sembilan giro bilyet masing-masing bernilai Rp 250 juta. Empat lembar giro diserahkan ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan lima lembar ke PDI Perjuangan.
Ketika Ketua PDIP Jakarta Agung Imam Sumanto keluar ruangan, para pria itu langsung mengejar. Mereka sempat berbicara, tapi Ketua DPRD Jakarta ini rupanya tak senang. Terjadi cekcok, lalu seorang anggota satuan tugas partai mengusir si tamu. Ketika para penagih berada di jalan, empat mobil mengejar mereka. Di dekat Wisma Tebet, sekitar 500 meter dari kantor PDIP, terjadi baku pukul. Mohamad Saleh, 43 tahun, seorang pria dari kelompok penagih, terkapar. Lengannya kena bacok. Penagih yang lain kocar-kacir.
Kirby—begitu Slamet Kirbiyantoro dipanggil—mengaku terus terang berada di belakang aksi tagih berdarah itu. ”Saya sakit hati dan memang mau menagih,’’ katanya pekan lalu. Menurut mantan Panglima Kodam Jakarta ini, ide menagih muncul ketika ditawari bantuan oleh sekelompok orang dari Indonesia timur. ”Saya tak kenal mereka. Karena mereka berniat membantu, ya, saya percaya saja,’’ katanya.
Kirby, yang pernah menjadi pengurus Partai Amanat Nasional, mengaku nekat karena terdesak utang. ”Saya harus membayar utang juga. Pensiunan saya cuma Rp 1,7 juta. Dari mana saya punya miliaran kalau tidak ngutang? Kirby belakangan mengaku sebagian duitnya sudah dikembalikan.
Seorang sumber yang dekat dengan Kirby menuturkan, duit itu tidak resmi diminta oleh partai. ”Mereka perorangan yang punya posisi strategis di partai dan menjanjikan mendukung Pak Kirby,” katanya. Berbeda dengan catatan dalam surat yang dibawa penagih utang, menurut sumber ini, duit yang digelontorkan Pak Jenderal lebih gede: Rp 2,75 miliar. Rinciannya, Rp 1,25 miliar dikucurkan kepada dua pengurus PPP dan Rp 1,5 miliar diserahkan kepada tiga pengurus PDIP. Penyerahan itu dilakukan secara bertahap sejak Desember lalu.
Selain Kirby, sejumlah pensiunan jenderal militer dan polisi tercatat mendaftar sebagai calon wakil gubernur ke partai anggota Koalisi Jakarta—kumpulan 16 partai pendukung calon gubernur Fauzi Bowo. Mereka antara lain Mayjen Abdul Wahab Mokodongan, Edy Waluyo, Asril Tanjung, Ferial Sofyan, Hatta Syafrudin, dan Mayjen (Pol.) Nurfaizi.
Mereka mengikuti proses seleksi dan sosialisasi di beberapa partai. Beberapa orang kemudian mengaku ”mengantongi” dukungan. Persaingan antarkandidat jadi ketat karena Fauzi Bowo menyatakan menghendaki berduet dengan wakil dari kalangan militer. Menurut Undang-Undang Pemilu, yang bisa dicalonkan tentu hanya militer nonaktif.
Kirby mungkin terbuai ketika dikampanyekan oleh PDIP. Pada awal Mei lalu, tiga petinggi PDIP Jakarta, yakni Agung Imam Sumanto (Ketua), Audy Z. Tambunan (Wakil Ketua), dan Erico Sotarduga (Sekretaris), menyatakan Slamet Kirbiyantoro harus dipasangkan dengan Fauzi Bowo. ”Ini Jakarta, ibu kota negara. Jangan main-main dengan kepentingan pribadi. Slamet Kirbiyantoro adalah harga mati,’’ kata Tambunan. Untuk makin menegaskan dukungan, Kirby juga melamar ke PPP, PBB, dan sejumlah partai lain di Koalisi Jakarta.
Calon lain yang ngebet adalah Ferial Sofyan. Ketua Partai Demokrat cabang Jakarta ini melamar ke PPP meski ia sudah digadang-gadang Partai Demokrat, partai pemenang Pemilu 2004 di Jakarta. Agar aman, para jenderal memang melamar ke lebih dari satu partai. Djasri Marin, misalnya, meski namanya sempat menguat di Partai Golkar, juga mendaftar ke PPP dan PDIP.
Namun Koalisi Jakarta memilih nama lain dari luar proses seleksi. Pada akhir Mei lalu, koalisi ini mengumumkan Mayjen TNI Prijanto, saat itu menjabat Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat, sebagai wakil gubernur pendamping Fauzi Bowo. Lulusan Akabri 1975 itu dipilih Fauzi Bowo sendiri. ”Calon militer aktif adalah alternatif agar koalisi tidak pecah dan memastikan keamanan Jakarta,” kata Agung Imam Sumanto, Ketua PDIP Jakarta. Prijanto yang kemudian mengundurkan diri dari dinas militer dinilai memahami Jakarta lantaran pernah menjadi Kepala Staf Kodam Jaya dan Kepala Staf Garnisun Jakarta.
Para pensiunan jenderal ini makin sakit hati karena belakangan terungkap bahwa Koalisi Jakarta ternyata ”mengantongi” dua kandidat lain yang juga jenderal aktif. Keduanya adalah Mayjen Tri Tamtomo (mantan Panglima Kodam I Bukit Barisan) dan Mayjen Syamsul Ma’arif (Gubernur Akademi Militer 1999-2000 yang kini adalah Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi). ”Mereka mendukung orang lain, tapi duit kita dirampok. Itu curang,” kata Djasri Marin.
Djasri sempat didukung oleh delapan partai anggota Koalisi Jakarta. Ia mengaku menghabiskan sekitar Rp 3 miliar. ”Untuk daftar saja Rp 30 juta–Rp 50 juta,” katanya. Belum lagi untuk acara partai seperti gerak jalan, bakti sosial, atau rapat resmi partai. Uang paling banyak diberikan untuk PPP dan PDIP dalam wujud giro bilyet. ”Ini sudah tidak etis. Saya berpikir untuk menuntut mereka. Kalau setelah mereka dukung lalu kita kalah (dalam Pilkada), ya, nggak apa-apa,” kata Djasri.
Salah satu orang dekat Kirby membisikkan kepada Tempo bahwa Asril Tanjung ”tersedot” hingga Rp 3,7 miliar. Edy Waluyo terkuras Rp 4 miliar. Keempat jenderal kini balik kanan dan memilih mengalihkan dukungan ke pasangan calon Partai Keadilan Sejahtera. ”Kami berempat memutuskan akan mendukung pasangan Adang Daradjatun dan Dani Ahmad,” kata Kirby, awal Juni lalu, seusai berapat dengan kolega senasibnya. Adang dan Dani adalah pasangan yang disokong Partai Keadilan Sejahtera.
Serangan jenderal tua ini ditangkis Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung. Menurut dia, orang yang menerima atau mengembalikan uang mantan calon wakil gubernur hanya oknum. ”Partai melarang politik uang dan tidak pernah menerima satu sen pun dari mereka,” katanya pekan lalu. Ia bahkan menantang agar kasus tersebut dibuka. ”Biar bisa diusut siapa yang menerima,” katanya. Sayang, ketika dikonformasi, pengurus PPP Jakarta memilih bungkam. ”Untuk soal itu, saya tidak komentar, deh,” ujar Ridho Kamaludin, Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah PPP.
Pembelaan justru datang dari Dhea Prekasha Yoedha. ”Jenderal kok bodoh,” kata Yoedha. Mereka tidak jujur dalam bersaing di antara mereka sendiri dan main belakang untuk mempengaruhi pengurus partai. ”Mereka berusaha membeli dukungan dan pengaruh partai. Padahal, sudah jelas, keputusan tentang wakil gubernur adalah keputusan kolektif,” ujarnya. Apalagi, menurut Yoedha, para jenderal itu bukan tak punya pengalaman dalam pencalonan seperti itu. Kirbi, misalnya, pernah mendaftar sebagai calon Gubernur Jawa Tengah. ”Dia harusnya bisa membedakan,” kata Dhea, ”mana ongkos politik, mana politik uang.”
Arif A.K., Ibnu Rusydi, Marlina M.S., Badriah, Yudha Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo