Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DISTRIK 23 de Enero di sisi barat Kota Karakas, Venezuela, tidak lagi menjadi benteng Chavista. Di kawasan miskin di puncak bukit itu, revolusi Bolivarian, yang dulu pernah dikobarkan Hugo Chavez, kini senyap. Satu per satu penduduk distrik yang dikenal dengan sebutan El 23 tersebut kehilangan simpati terhadap suksesor Chavez, Nicolás Maduro.
"Semakin banyak orang di El 23 berbalik melawan Maduro," kata seorang warga, Alirio Maldonado. Menurut dia, krisis ekonomi yang terus mengimpit di era Maduro membuat banyak warga berpaling dari Chavismo--sosialisme ala Hugo Chavez. "Bagaimana Anda tidak akan berubah sikap saat Anda kesulitan mendapat makanan dan obat-obatan?"
Distrik 23 de Enero dulu basis pendukung fanatik Chavez. Jenazah Chavez, yang wafat akibat kanker pada 5 Maret 2013, dimakamkan di Cuartel de la Montana, museum sejarah militer sekitar 1,1 kilometer di timur distrik. Namun semua itu berubah saat ratusan warga 23 de Enero turun ke jalan-jalan Karakas ikut aksi protes anti-pemerintah, Senin dua pekan lalu.
Pagi itu ribuan demonstran dari penjuru Karakas berkumpul di Altamira, sisi timur ibu kota yang banyak dihuni warga kelas menengah. Di dekat Plaza Brión, sejumlah politikus dan aktivis oposisi terlihat di tengah aksi unjuk rasa. Mereka mewakili banyak partai politik kecil dari berbagai kelompok sosial. Tapi mereka punya satu kesamaan: menentang Maduro.
Di antara pengunjuk rasa itu ada Alirio Maldonado, yang memimpin partai lokal Avanzada Progresista. Maldonado contoh rakyat Venezuela yang tak lagi mengagungkan Chavismo. Ia dulu pendukung setia Chavez yang aktif berpartisipasi dalam upaya pemerintah mengangkat daerah kumuh di Karakas. "Tapi pria gemuk dengan rambut putih cerah itu sekarang anggota oposisi yang sangat keras kepala," begitu diberitakan Vice News.
Satu pekan kemudian, giliran warga El Guarataro yang turun ke jalan-jalan. El Guarataro bertetangga dengan Distrik 23 de Enero dan hanya berjarak 2,5 kilometer dari kantor kepresidenan, Istana Miraflores. Seperti El 23, El Guarataro kawasan miskin yang pernah menjadi benteng Chavista--sebutan untuk para pendukung Chavez. "Sekarang, mereka yang tetap 'chavistas' hanyalah kaum radikal," ujar Irene Castillo, yang tinggal di El Guarataro.
Castillo memilih Maduro dalam pemilihan presiden 2013, yang digelar satu bulan setelah Chavez wafat. Perempuan 26 tahun itu pernah mengicip kenikmatan subsidi dari rezim sosialis Chavez. Namun semua perlakuan "istimewa" bagi kaum papa itu tak lagi dirasakan sejak Maduro berkuasa. "Maduro sangat berbeda," katanya. Di El Guarataro, layanan publik seperti listrik dan air sering dimatikan. Kini tak ada lagi pendukung Maduro di kawasan itu.
Sejak akhir Maret lalu, Venezuela kembali bergejolak. Berawal dari kerumunan pemrotes, massa anti-pemerintah membesar ibarat bola salju. Jumlahnya ratusan ribu orang. Mereka tumpah ruah membanjiri jalan-jalan di Karakas dan kota lain, seperti Valencia, Barquisimeto, Cabudare, dan Cristobal. Tiada hari tanpa demonstrasi, yang acap berujung pada bentrokan dengan tentara dan polisi serta telah menewaskan sedikitnya 33 orang.
Tiga tahun lalu, gelombang unjuk rasa juga melanda Venezuela. Saat itu raksasa pengekspor minyak ini mulai terempas krisis akibat merosotnya harga minyak dunia. Inflasi di negeri itu diperkirakan mencapai 400 persen. Unjuk rasa meruyak di daerah-daerah kelas menengah-atas, kelompok masyarakat yang pertama terkena imbas resesi. Ribuan mahasiswa dari kampus-kampus bergengsi turun berdemonstrasi di jalan-jalan Karakas.
Kelas pekerja dan warga miskin saat itu absen dari aksi-aksi protes. Sebab, hidup mereka masih ditopang subsidi. Namun, manakala krisis terus membelit, kesulitan ekonomi dengan cepat menyambar kaum papa--kelompok utama pendukung Chavismo. "Basis gerakan chavista telah terkikis," ujar Margarita López Maya, analis politik di Karakas. "Tidak ada roti, tapi pemerintah terus menuntut dukungan mayoritas rakyat."
Bagi 31 juta warga Venezuela, yang 80 persennya tinggal di perkotaan, menjaga perut tetap kenyang tidak gampang. Harga makanan meroket setidaknya lima kali lipat. Warga juga harus rela berdiri 5-10 jam untuk antre. Itu pun tak ada jaminan mereka bakal mendapat barang belanjaan. "Harga pangan melonjak tinggi dan upah minimum tak cukup untuk kebutuhan dasar," kata Eugenia Morin, 59 tahun, seorang ibu rumah tangga.
Kini unjuk rasa anti-Maduro melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat. Gelombang protes makin masif akibat tersulut oleh skandal politik 29 Maret lalu. Saat itu Mahkamah Agung memutuskan mengambil alih kewenangan Majelis Nasional, yang dikuasai kubu oposisi setelah memenangi pemilihan legislatif 2015. Ini membuat massa pendukung oposisi berang. "Maduro, dalang kudeta!" mereka berpekik dalam aksi protes.
Massa pro-oposisi makin marah setelah Maduro melarang pemimpin mereka, Henrique Capriles, mengisi jabatan publik hingga 15 tahun mendatang. Capriles pun tak tinggal diam terhadap aturan nyeleneh yang diumumkan pada 7 April lalu itu. "Ayo, semua turun ke jalan! Abaikan kegilaan ini," pria 44 tahun itu menyeru lewat Twitter. Capriles penantang terkuat Maduro. Dalam pemilihan 2013, tokoh oposisi pro-bisnis itu hanya kalah 1,6 persen suara. Ia diperkirakan mampu mengalahkan Maduro dalam pemilihan 2018.
Wajar jika Maduro ketar-ketir. Unjuk rasa maraton telah melumpuhkan aktivitas warga Venezuela. Krisis pangan dan obat-obatan memaksa puluhan ribu penduduk negeri itu mengungsi ke Kolombia, Brasil, Trinidad dan Tobago, bahkan ke Florida, Amerika Serikat. Tensi politik yang memanas membuat rakyat terbelah: mereka yang oposisi versus pro-Maduro. "Saya tidak ingin pecah perang sipil," kata Maduro, berpidato dalam peringatan Hari Buruh di depan massa pendukungnya di pusat Kota Karakas, Senin pekan lalu.
Kubu oposisi telah lama membidik kejatuhan rezim sosialis. Mereka berkali-kali mendesak digelar pemilihan umum untuk mengakhiri 18 tahun kekuasaan Partai Sosialis Bersatu (PSUV). Namun upaya itu tak mudah. Maduro, 54 tahun, yang sadar tengah diincar oposisi, kembali bermanuver. Pria berkumis tebal itu mengumumkan pembentukan Majelis Konstitusi, lembaga superbodi yang berwenang menulis ulang dasar negara.
Hugo Chavez pernah membentuk lembaga superbodi serupa setelah ia memenangi pemilihan 1998. Ia saat itu sukses meloloskan Konstitusi 1999 untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya. "Ini akal-akalan (rezim Maduro) untuk mengelabui rakyat Venezuela," ucap Presiden Majelis Nasional Julio Borges, mengkritik keputusan Maduro. "Sebuah mekanisme berkelit yang tidak lebih dari sebuah aksi kudeta," Borges menambahkan.
Tanpa kekuatan di tingkat elite, oposisi hanya berharap kepada rakyat. "Dengar, Maduro, kami dari Petare. Apa pun yang Anda lakukan, Anda tidak akan pernah menghentikan protes kami," ujar demonstran dari kota kecil Petare--wilayah terpadat di Amerika Latin dengan 1,2 juta penduduk--yang bergabung dalam aksi protes 20 April lalu. Satu per satu daerah benteng Chavista, seperti El Valle dan La Vega, berbalik menentang Maduro.
Maduro kini makin tersudut. Tanpa keterampilan memimpin seperti Chavez, ia banyak kehilangan pendukung--membuatnya lebih sering berbagi kekuasaan dengan militer. Lebih dari 80 persen warga Venezuela menolak pemerintah Maduro, termasuk jutaan Chavista, mereka yang pernah memuja dia dan pendahulunya, Chavez. "Siapa yang bisa tahan dengan situasi ini? Sangat banyak kelaparan, kesengsaraan, dan kejahatan," ucap Sonia Lopez, 34 tahun, pekerja sosial yang ikut unjuk rasa oposisi di Karakas barat.
Mahardika Satria Hadi (The Washington Post, Vice, The Guardian, BBC, Reuters)
Bagi 31 juta warga Venezuela, menjaga perut tetap kenyang tidak gampang. Harga makanan meroket setidaknya lima kali lipat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo