Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ketika Makanan Jadi Senjata

Akhirnya perang yang sudah berlangsung dua tahun lebih itu memasuki fase ketika para kombatan asyik dengan dirinya sendiri. Dan tercekiklah 17 juta dari 24 jutawarga Yaman, negara termiskin di Timur Tengah itu, oleh ancaman kelaparan, tatkala kekuatan pemerintah pendukung Presiden Abd Rabbu Mansur Hadi yang dibeking pa¡©sukan Arab Saudi mulai memblokade kota pelabuhan Hudayda pada akhir bulan lalu.

8 Mei 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya perang yang sudah berlangsung dua tahun lebih itu memasuki fase ketika para kombatan asyik dengan dirinya sendiri. Dan tercekiklah 17 juta dari 24 jutawarga Yaman, negara termiskin di Timur Tengah itu, oleh ancaman kelaparan, tatkala kekuatan pemerintah pendukung Presiden Abd Rabbu Mansur Hadi yang dibeking pa¡©sukan Arab Saudi mulai memblokade kota pelabuhan Hudayda pada akhir bulan lalu.

Bagi Yaman, yang selama ini mengandalkan 90 persen kebutuhan makanannya melalui impor lewat pelabuhan komersial di Laut Merah itu, taktik pasukan Arab Saudi ini jelas telah menjepit urat nadi kehidupan negeri. Majalah The Economist bercerita tentang seorang pengusaha, pemilik pabrik biskuit, bernama Shawki Hayel, yang bisnisnya amblas dalam perang saudara antara pemberontak Houthi dan pemerintah itu. Praktis, pabrik biskuitnya di Kota Taiz tak dapat menghasilkan suatu apa, ketika pelabuhan Hudayda terisolasi, pasokan tepung terigu berhenti total, dan perusahaannya tak bisa melunasi pembayaran impor bahan mentah.

Sejak pemberontak Syiah Houthi menguasai ibu kota, Sana'a, di utara pada Januari 2015, Presiden Abd Rabbu Mansur Hadi memindahkan bank sentral Yaman ke Aden, kota di selatan yang masih dikuasai pemerintah. Sayangnya, pemindahan ini sama sekali tidak memecahkan masalah, karena para birokrat bank sentral beserta segenap anggota staf, juga data bank, masih berada di Sana'a. Dengan kesulitan ini, sejak Juli tahun lalu, pemerintah pun memutuskan untuk menyetop gaji para pegawai negeri, bank sentral tak lagi menerbitkan letter of credit, dan tidak melayani pencairan cek.

Tak semua orang terpukul oleh perang yang bermula pada akhir 2014 ini. Para penguasa partikelir mendirikan pos-pos penjagaan untuk memeras dan merampok para pelancong dan pedagang yang melalui daerah-daerah yang boleh dibilang tidak bertuan. Penguasa lokal juga berlomba-lomba menyediakan ratusan kombatan dari sukunya untuk membantu pasukan Arab Saudi dan pemerintah di medan perang--tentu dengan imbalan tinggi.

Satu lagi kelompok yang justru menangguk keuntungan dari kesengsaraan rakyat banyak ini adalah para pedagang senjata. Asalkan membayar cukup mahal, setiap truk pengangkut senjata dapat melalui pos penjagaan tanpa gangguan. Saking melimpahnya pasokan senjata di negeri yang diroyan perang saudara ini, kini meledakkan granat--sebagai pengganti mercon--mulai menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian upacara perkawinan.

l l l

"Dalam tiga bulan pertama perang ini, sasaran utama serangan adalah obyek-obyek militer. Tapi, ketika mereka (Houthi) tak kunjung menyerah, sasarannya berubah," kata Martha Mundy, profesor London School of Economics, Inggris, yang mempelajari relasi perang dan kelaparan. Koalisi yang dipimpin Arab Saudi ini "dengan sengaja menghantam sektor pertanian" dan memotong jalan distribusi makanan untuk para penduduk di bagian utara Yaman.

Pada 12 Agustus tahun lalu, pesawat-pesawat tempur pasukan koalisi menghancurkan jembatan utama Sana'a seraya menghentikan 90 persen suplai makanan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diangkut dari pelabuhan Hudayda. Menurut Mundy, jalan utama yang menghubungkan Sana'a dan Hudayda ini berulang kali jadi bulan-bulanan serangan pesawat koalisi. Oxfam, organisasi nirlaba internasional yang hirau akan bahaya kelaparan, mengingatkan bahwa serangan itu "dapat membuat lebih banyak orang kehilangan persediaan makanan dan membuat bencana yang menimpa negeri itu menimbulkan efek lebih buruk".

Yaman, yang lebih dari separuh penduduknya petani, adalah negara agraris, dan pengeboman yang sistematis terhadap pusat-pusat pertanian tentu saja menimbulkan akibat mengerikan bagi infrastruktur pertanian. Menurut Mundy, di antara 20 provinsi di Yaman, sedikitnya sudah 357 tanah pertanian jadi sasaran pengeboman. Arab Saudi, yang semakin terperosok lebih dalam pada perang yang panjang ini, tampaknya akan menempuh bermacam cara untuk mengakhiri dan memenangi perang--termasuk dengan menggunakan suplai makanan sebagai "senjata". Akibatnya pun luar biasa: dalam tempo tiga bulan sejak Januari, menurut PBB, angka kelaparan di Yaman telah melonjak tajam--hampir dua kali lipat, dari empat juta menjadi tujuh juta orang.

Jatuhnya Sana'a dan kota-kota lain di utara ke tangan pemberontak Houthi telah mendorong Wakil Putra Mahkota dan Menteri Pertahanan Pangeran Muhammad bin Salman mengirim pesawat tempur dan tentara ke Yaman. Namun kemenangan yang digadang-gadang tak cepat jadi kenyataan. Bahkan pemberontak Syiah Zaidi itu saat ini sudah berani menembakkan rudal sampai ke Riyadh.

l l l

Perang sektarian adalah sesuatu yang boleh dibilang mustahil terjadi di Yaman belasan tahun silam. Sebelum pecah perang saudara, para penganut Syiah Zaidi yang inklusif biasa hidup berdampingan dengan orang-orang Sunni yang bermazhab Syafii. Beribadah di masjid yang sama, tak banyak perbedaan yang membelah persaudaraan kedua sekte Islam ini.

Pada 1979, tatkala rakyat dan ulama Iran menumbangkan rezim Syah Iran, segelintir pengikut Syiah Zaidi di Yaman menyempatkan diri belajar di kota suci Qom untuk memperdalam pengetahuan akidah. Namun periode itu cepat berlalu setelah Presiden Saddam Hussein, yang didukung dan direstui negara-negara Arab, menyerang Iran pada 1980-an. Mengisi "kevakuman" yang ditinggalkan Iran, Arab Saudi pun giat mengekspor paham Wahabi kepada para penganut Sunni Syafii. Ulama garis keras seperti Muqbil al-Waddai, yang biasa menjalankan salat dengan senapan Kalashnikov di depannya, cukup berhasil menanamkan pengaruhnya di antara sejumlah penganut Sunni.

Kini Yaman negeri yang terbelah: pemberontak Syiah Zaidi di utara yang pro-bekas presiden Ali Abdullah Saleh serta didukung Iran; dan pemerintah Sunni di selatan di bawah kepemimpinan Presiden Abd Rabbu Mansur Hadi yang didukung pasukan koalisi Arab Saudi. Inilah perang yang sepi publikasi, tak seperti perang di Suriah yang selalu ramai disoroti masyarakat internasional. Berbagai pelanggaran hak asasi manusia, seperti penggunaan bom cluster, serta pengeboman rumah sakit dan jalur makanan oleh pasukan koalisi Arab Saudi yang mendapat dukungan penuh Inggris dan Amerika Serikat itu, luput dari perhatian masyarakat internasional.

Idrus F. Shahab (Middle East & North Africa, The Economist, The Independent)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus