Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Apa Peran ASEAN Mengatasi Krisis Myanmar

Indonesia menggunakan pendekatan diplomasi sunyi dalam menangani krisis Myanmar. Perlu diplomasi yang lebih terbuka dan nyata.

14 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia menggunakan diplomasi sunyi dalam krisis Myanmar.

  • Diplomat Indonesia menemui para pemangku kepentingan di Myanmar.

  • Diplomasi yang lebih terbuka dan nyata juga perlu dilakukan.

SEJAK kursi kepemimpinan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) diserahkan Kamboja kepada Indonesia di Phnom Penh, Kamboja, November 2022, Indonesia mulai menyusun berbagai program dalam memimpin organisasi tersebut. Namun sempat terjadi kesimpangsiuran dalam rencana menangani krisis Myanmar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Joko Widodo menyatakan berencana mengirim seorang jenderal untuk berdialog dengan junta militer Myanmar. “Ini soal pendekatan. Kami punya pengalaman, di sini, di Indonesia, situasinya sama,” kata Jokowi kepada Reuters pada Februari lalu. Jokowi mengatakan tak menutup kemungkinan ia yang pergi ke Myanmar. Namun dia menilai akan lebih mudah bila yang berdialog adalah pejabat yang memiliki latar belakang yang sama atau militer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana itu tak lagi terdengar kelanjutannya. Kementerian Luar Negeri justru membentuk envoy office untuk Myanmar. Langkah ini berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan Ketua ASEAN sebelumnya.

Sejak lima poin konsensus guna mengakhiri krisis Myanmar ditetapkan dalam Pertemuan Pemimpin ASEAN di Sekretariat ASEAN, Jakarta, pada April 2021, utusan khusus (special envoy) untuk Myanmar biasanya otomatis melekat pada menteri luar negeri negara yang sedang menjadi Ketua ASEAN. Misalnya, saat Brunei Darussalam memimpin pada 2001, Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Erywan Yusof ditunjuk sebagai utusan khusus. Adapun Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn menjadi utusan khusus ketika Kamboja memimpin ASEAN tahun lalu.

Berbeda dengan mereka, Indonesia membentuk “kantor utusan khusus” yang khusus menangani isu Myanmar. “Jangan dibayangkan seperti kantor betulan, tapi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi hanya menggunakan staf khususnya yang khusus menangani Myanmar,” kata Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia untuk Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, pada Jumat, 12 Mei lalu.

Kantor tersebut dipimpin Menteri Retno. Saat rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pada 30 Januari lalu, Retno mengumumkan I Gede Ngurah Swajaya, Staf Khusus Menteri Luar Negeri untuk Diplomasi Kawasan, sebagai Kepala Urusan Harian Utusan Khusus untuk Myanmar.

Indonesia memilih pendekatan non-megaphone diplomacy atau quiet diplomacy dalam menangani krisis Myanmar ini. “Tujuannya memberikan ruang bagi para pihak untuk membangun kepercayaan dan agar para pihak lebih terbuka dalam berkomunikasi,” ucap Menteri Retno Marsudi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 5 Mei lalu, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.

Presiden Joko Widodo usai foto bersama dengan sejumlah kepala negara-negara ASEAN saat pembukaan KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, NTT, 10 Mei 20023. POOL/ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

Retno menegaskan, dengan diplomasi sunyi ini bukan berarti Indonesia tidak melakukan apa pun. “Yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam empat bulan ini Indonesia telah melakukan banyak hal yang mudah-mudahan akan menjadi modal bagi upaya selanjutnya,” tuturnya.

Yuyun mengungkapkan, pendekatan diplomasi sunyi diperlukan dalam situasi yang peka dan sangat sensitif yang membutuhkan kehati-hatian. “Maka diplomasi sunyi diambil sebagai pendekatan yang lebih efektif untuk menangani isu-isu yang sensitif,” kata Yuyun. “Karena tujuannya membangun kepercayaan di antara kelompok yang bertikai. (Dengan diplomasi sunyi) mereka yakin bahwa ini bukan untuk mencari sensasi, reputasi, dan lainnya, tapi benar-benar untuk tujuan utamanya.”

Diplomasi sunyi, Yuyun menerangkan, juga akan menyelamatkan muka pihak-pihak yang terlibat. “Ia melindungi orang-orang yang terlibat,” ucapnya.

Retno menyatakan timnya telah melakukan lebih dari 60 kali interaksi (engagement) dengan berbagai pihak di Myanmar, baik kunjungan lapangan maupun secara virtual. Tim Retno bertemu dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti Dewan Administrasi Negara, nama resmi junta militer Myanmar; Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah bayangan bentukan politikus partai Liga Nasional untuk Demokrasi; dan kelompok-kelompok etnis bersenjata. Tim juga berhubungan dengan negara-negara dan perkumpulan negara kunci atau tetangga Myanmar, seperti India, Cina, Thailand, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, serta Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Intinya kami berinteraksi dengan para pemangku kepentingan dan ini diketahui oleh semuanya juga. Detailnya yang tidak disampaikan,” ujar I Gede Ngurah Swajaya pada Sabtu, 13 Mei lalu.

Menurut Ngurah, melalui pertemuan itu Indonesia bisa memastikan bahwa implementasi lima poin konsensus dapat didorong. Selain itu, “Bagaimana kami bisa mendapatkan gambaran untuk menciptakan situasi yang kondusif sehingga betul-betul upaya kami dalam rangka membantu Myanmar untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cara mereka bisa dilakukan secara optimal,” tuturnya.

Saat berhubungan dengan berbagai kelompok itu, Indonesia mendorong segera dilakukannya dialog nasional yang inklusif. Namun Retno mengakui bahwa perbedaan posisi di antara kelompok-kelompok di Myanmar itu masih cukup lebar dan dalam. Meskipun demikian, “Indonesia tidak akan menyerah sebagai Ketua ASEAN dan akan terus mencoba memainkan peran sebagai jembatan dari berbagai perbedaan dan akan terus melakukan engagement,” katanya.

“Kami pahami betul bahwa situasi yang berlangsung di Myanmar ini sudah berlangsung 70 tahun dan tantangan yang paling berat adalah membangun kepercayaan diri dan rasa saling percaya dari semua pemangku kepentingan di sana,” ujar Ngurah. Masalah kepercayaan diri dan rasa saling percaya itu, ucap dia, juga dialami junta militer.

Mantan menteri luar negeri Marty Natalegawa menyatakan bahwa diplomasi sunyi atau diplomasi informal lazim digunakan. “Soal diplomasi sunyi, saya salah satu yang paling percaya mengenai potensinya, terutama di tahap-tahap awal yang sangat sensitif, di mana saling percaya harus ditumbuhkembangkan di antara pihak-pihak yang bertikai,” katanya pada Jumat, 12 Mei lalu.

Diplomasi sunyi juga bukan pertama kali dilakukan Indonesia. Marty menyebut pendekatan serupa telah digunakan Indonesia dalam beberapa kasus, seperti konflik Kamboja pada 1980-an, sengketa Kamboja-Thailand, dan konflik di Filipina Selatan.

Di tengah Perang Vietnam, pada 1979, misalnya, tentara Vietnam menduduki Kamboja dan mendapat perlawanan dari Kamboja Demokratik, pemerintahan Kamboja yang sah dan diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia, sebagai bagian dari ASEAN, berusaha mendorong penyelesaian damai kedua pihak. Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas menggelar Jakarta Informal Meeting di Jakarta pada Juli 1987 dan Februari 1989, yang didahului “pesta koktail” yang digelar bekas menteri luar negeri Mochtar Kusumaatmadja di Kota Ho Chi Minh, Vietnam, saat bertemu para pemimpin Vietnam.

Jakarta Informal Meeting mempertemukan kedua pihak yang bertikai. Pada pertemuan pertama, tercapai gencatan senjata antara Vietnam dan Kamboja. Vietnam juga bersedia menarik 120 ribu tentaranya dari Kamboja dan pasukan perdamaian PBB ditempatkan di perbatasan kedua negara. Pada pertemuan kedua, kedua kubu bersepakat membentuk pemerintah persatuan. “Itu betul-betul proses yang dikedepankan yang sifatnya informal dan sunyi. Hal itulah yang dibutuhkan,” kata Marty.

Pendekatan serupa juga dilakukan dalam menangani sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand pada 2008. Sengketa terjadi karena kedua pihak memperebutkan pagoda yang berada di wilayah perbatasan yang dianggap belum final. Dalam pertemuan ASEAN di Jakarta pada 2011, kedua pihak menunjuk Indonesia sebagai pemantau di perbatasan tersebut. Langkah ini meredakan konflik dan kedua negara menyerahkan penyelesaiannya ke Mahkamah Internasional (ICJ).

Demonstran menolak kudeta militer di Mandalay, Myanmar Agustus 2021. Reuters

Marty mengingatkan bahwa diplomasi sunyi itu jangan sampai bermasalah. “Harus ada kehati-hatian untuk memastikan jangan sampai diplomasi sunyi itu sedemikian sunyinya sehingga kesunyian itu menjadi bising atau deafening silence,” ucapnya.

Jangan sampai, ujar Marty, pendekatan itu menimbulkan persepsi atau pertanyaan tentang apa yang sebenarnya sedang dilakukan. “Karena diplomasi sunyi memang demikian (bersifat sunyi), tapi harus terus-menerus ada proyeksi dan informasi mengenai langkah-langkah apa yang sedang dilakukan dan membuahkan apa.”

Menurut Marty, hal itu akan menciptakan kesan ketidakpastian tentang apa yang dilakukan. “Kesan adanya kevakuman penanganan permasalahan itu. Ini yang perlu diantisipasi,” tuturnya.

Marty juga menyatakan bahwa diplomasi sunyi sebenarnya hanya satu sisi dari “koin” diplomasi yang sama. Ia harus dikombinasikan dengan bentuk lain yang lebih terbuka dan formal. “Harus ada upaya yang sifatnya lebih demonstratif tentang langkah yang dilakukan. Kalau tidak, bisa timbul suatu persepsi atau kesan ada kevakuman penanganan. Ada semacam pembiaran,” katanya.

Marty menerangkan, negara anggota ASEAN sebenarnya dapat bertindak lebih nyata dalam menghadapi junta militer untuk mewujudkan lima poin konsensus. Bila hanya mengecam dan semacamnya, dia menambahkan, itu hanya tindakan emosional, bukan kebijakan. “Setelah dua tahun, apa akan didengarkan oleh junta?” ujarnya.

Karena itu, Marty menyarankan ASEAN punya kebijakan nyata terhadap junta militer Myanmar. “Misalnya negara ASEAN tidak akan membantu persenjataan,” ucapnya. “Mungkin negara ASEAN tidak ada yang memasok senjata, tapi itu akan memberi efek yang nyata.”

I Gede Ngurah Swajaya menekankan saat ini Indonesia berfokus pada implementasi lima poin konsensus dulu. “Intinya, kami berbicara mengenai bantuan kemanusiaan, meredakan kekerasan, bila perlu menghentikan kekerasan, konflik, dan dialog yang inklusif. Jadi, katakanlah, semua lingkungan yang kondusif hingga bisa terjadi dialog yang bersifat inklusif sehingga bisa kita harapkan nanti menghasilkan satu solusi yang bersifat komprehensif," tuturnya.

Menurut Ngurah Swajaya, stabilitas keamanan di Myanmar juga perlu dijamin dan dipertahankan secara berkelanjutan. Dengan begitu, “Rekonsiliasi bisa didorong secara genuine di antara mereka. Nantinya, dalam jangka panjang, mereka bisa bersepakat apakah negara yang dibentuk nanti negara federal, banyak partai, atau bersistem demokrasi. Itu keinginan mereka.”

Yuyun mengakui bahwa diplomasi sunyi sukar diukur efektivitasnya dan baru kelihatan bila nanti ada hasilnya dan diumumkan. Namun dia menilai masuknya bantuan Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan dalam Manajemen Bencana (AHA Center) hingga ke Hsihseng, Negara Bagian Shan, Myanmar, adalah salah satu hasil diplomasi ini.

Memang konvoi bantuan AHA Center itu ditembaki pada Ahad, 7 Mei lalu, dan para pemimpin ASEAN mengecam serangan tersebut, tapi masuknya bantuan tersebut hingga ke daerah itu adalah sebuah capaian. “Sebelumnya (daerah itu) tidak bisa diakses,” katanya. Hsihseng terletak sekitar 262 kilometer atau lima setengah jam perjalanan bermobil dari Ibu Kota Naypyidaw—setara dengan perjalanan dari Jakarta ke Brebes, Jawa Tengah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Diplomasi Sunyi untuk Myanmar"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus