Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kisruh Jabatan Fungsional Dosen

Aturan jabatan fungsional membuat karier dosen menjadi tak menarik. Perlu revisi semua aturan.

14 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERATURAN Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang jabatan fungsional membuat para dosen resah. Peraturan itu mengharuskan mereka segera mengklaim angka kredit kinerja tridarma agar masuk penilaian menggunakan Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit versi lama. Dengan begitu, para dosen cemas proses kenaikan pangkat atau jabatan yang berjenjang secara serempak mendorong semua usulan diselesaikan secara cepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 itu punya beberapa pengaturan yang berbeda. Dalam Lampiran A Peraturan itu, misalnya, tertera karier jabatan fungsional tidak mengenal lompat jenjang. Peraturan tersebut juga menggunakan mekanisme predikat kinerja (dengan skor baik sekali sampai sangat kurang) untuk dikonversi menjadi angka kredit. Jika akumulasi angka kredit mencapai nilai tertentu, pegawai negeri sipil bisa menggunakannya untuk kenaikan pangkat atau jabatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jabatan fungsional dalam lampiran peraturan itu adalah ahli pertama, ahli muda, ahli madya, dan ahli utama. Pengelompokan jenjang jabatan ini berbeda dengan kategori jabatan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Di aturan ini, jenjang jabatan dibedakan menjadi asisten ahli sampai guru besar. Peraturan Menteri Aparatur Negara ini tampaknya tidak memuat konsiderans undang-undang lain yang mengatur dosen, antara lain Undang-Undang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.

Kesimpangsiuran peraturan Menteri Aparatur Negara itu sebetulnya bisa menjadi momentum bagi pemerintah merevisi berbagai peraturan tentang dosen agar lebih sesuai dengan hakikat profesi dosen dan perkembangan pendidikan tinggi ke depan. Sebagai masukan untuk merevisi peraturan terkait dengan jabatan fungsional dosen, berikut ini berbagai hal yang bisa menjadi pertimbangan:

Pertama, kurang ada kesesuaian antara misi perguruan tinggi dan indikator kinerja serta beban kerja dosen. Saat ini, penilaian kenaikan pangkat dan jabatan dosen di semua jenis perguruan tinggi riset, pendidikan, dan vokasional memakai kriteria yang sama. Semestinya di perguruan tinggi dengan misi yang berbeda, kinerja mereka dinilai secara berbeda pula.

Selama ini, Pedoman Penilaian Angka Kredit juga belum mengakomodasi penilaian kinerja dengan kesukaan (passion) dosen. Misalnya penilaian kinerja dosen jalur pengajaran berbeda dengan penilaian dosen jalur penelitian atau jalur kepemimpinan. Dosen jalur pengajaran akan tentu dinilai bobot utamanya dengan kinerja pengajarannya. Sementara itu, dosen dengan jalur kepemimpinan akan diukur kinerjanya dengan bobot utama di kepemimpinan, pengelolaan sumber daya, dan pencapaian target kerja mereka.

Kedua, profesi dosen berkurang daya tariknya. Untuk sarjana yang cerdas dan punya talenta, badan usaha milik negara, kementerian/lembaga negara, dan sektor swasta lebih memungkinkan mereka untuk bekerja. Sebabnya, syarat pendidikan minimal menjadi dosen adalah pascasarjana S-2. Dari sisi penghargaan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2013, dosen pegawai negeri sipil di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga tidak mendapat tunjangan kinerja. Padahal, menurut Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, pegawai negeri sipil berhak mendapat tunjangan kinerja.

Ketiga, durasi kerja tunjangan profesi membuat pegawai negeri sipil di kementerian/lembaga akan langsung mendapat tunjangan begitu mereka diangkat menjadi pegawai negeri. Sementara itu, dosen, meski sudah diangkat, hanya menerima gaji tanpa tunjangan profesi jika tidak memiliki sertifikat pendidik. Walau wajib, masih banyak dosen yang bertahun-tahun belum mendapatkan sertifikat, meski syaratnya dua tahun kerja dan menduduki jabatan fungsional asisten ahli. Untuk menduduki jabatan fungsional asisten ahli syaratnya antara lain masa kerja satu tahun. Ketika sertifikat profesi sudah terbit pun mereka baru mendapat tunjangan profesi pada awal tahun berikutnya tanpa ada rapel.

Keempat, pengenaan sanksi yang hitam-putih membuat penilaian kinerja semester melalui Laporan Kinerja Dosen (LKD) menjadi dasar pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan (khusus guru besar). Di LKD, mereka wajib mencantumkan laporan kinerja tridarma dan kewajiban khusus. Jika satu saja kewajiban khusus tidak terpenuhi, dosen tidak berhak lagi menerima tunjangan tersebut. Sebagai contoh, seorang guru besar yang mengerjakan tridarma tapi tidak memenuhi kewajiban khusus bisa “dihukum” penghentian tunjangan yang setara dengan tiga kali gaji. Pendapatannya pun akan terjun bebas tinggal satu kali gaji. Sementara itu, sanksi pegawai di kementerian/lembaga sebatas pengurangan tunjangan kinerja.

Kelima, karakteristik alur kegiatan perguruan tinggi membuat periode penilaian jabatan fungsional dosen menjadi kritis. Penilaian kinerja dosen perlu memisahkan antara kepentingan pelaporan dan evaluasi kinerja. Untuk kepentingan pemantauan, sebaiknya pelaporan kinerja dilakukan tiap tahun. Sedangkan evaluasi kinerja bisa lebih dari satu tahun agar realisasi kinerja tridarma bisa diukur secara lengkap.

Penilaian kinerja semester melalui LKD saat ini tidak selalu mencerminkan kinerja riil para dosen. Tugas tambahan, kegiatan seremonial, akreditasi, dan beban administrasi sering menyita waktu dan tenaga mereka walau angka kreditnya tidak bisa dinilai secara proporsional. Kesibukan dosen akan meningkat tatkala harus melakukan input data yang sama secara berulang dalam aplikasi di berbagai jenjang.

Tiap darma dari tridarma memiliki proses bisnis dan keluaran yang berbeda. Keluaran darma pertama tentang pendidikan memang relatif mudah diukur tiap tahun. Siklus tahunan bisa mengakomodasi tugas mengajar dosen yang berbeda di semester ganjil dan genap. Sementara itu, darma kedua mengenai penelitian relatif sulit didapatkan para dosen jika dinilai per semester atau tahun. Siklus pendanaan, penelitian, laporan, seminar, sampai publikasi membutuhkan waktu tak sebentar. Waktu yang diperlukan akan lebih lama jika sampai mengukur manfaat hasil riset untuk masyarakat. Selain itu, keluaran penelitian berupa publikasi di jurnal internasional yang bereputasi sulit dikendalikan para dosen. Target kinerja yang tidak bisa dikendalikan dosen ini dapat memicu pragmatisme dan pelanggaran integritas akademik.

Kinerja dosen di darma ketiga adalah Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM). Darma ini bisa dinilai tiap semester atau tiap tahun. Kegiatan membantu dan mendampingi masyarakat di daerah tertinggal atau usaha mikro, kecil, dan menengah, misalnya, bisa dilakukan dalam jangka satu semester atau lebih.

Keenam, problem penilaian kinerja juga muncul ketika dosen mendapat tugas menjadi pemimpin di perguruan tinggi dengan sebutan “dosen dengan tugas tambahan”. Selama ini, syarat kenaikan pangkat atau jabatan dosen tugas tambahan sama dengan dosen biasa. Beban administrasi dan manajerial dosen tugas tambahan diakui sebagai darma pendidikan dan bisa mengurangi beban mengajar sesuai dengan tingkat jabatannya. Padahal, jika dosen dengan tugas menjalani “dwifungsi” secara serius, jam kerja normal delapan jam sehari akan tidak cukup. Menganggap wajar beban dosen dengan tugas tambahan berpotensi membuat unit kerja yang dipimpinnya dikelola secara tidak serius. Sebaliknya, dosen dengan tugas tambahan yang serius menjalankan amanahnya bisa mengorbankan kesehatan, waktu sosial, dan karier pribadi. 

Melihat kompleksitas profesi dosen, revisi aturan jabatan fungsional khusus dosen sebaiknya dilakukan secara cermat dan komprehensif. Perlu uji publik untuk mendapat masukan dan saran yang komprehensif. Pemerintah masih punya waktu mengubah kisruh aturan jabatan fungsional ini agar sistem penilaian kinerja dosen mendorong mereka berkinerja, sejahtera, dan berfokus mendidik mahasiswa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Didi Achjari

Didi Achjari

Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus