PABRIK roti semiotomatis di Dar es Salam, Tanzania, kerap kali ketiadaan terigu sehingga harus berhenti berproduksi. Ini hanyalah satu di antara banyak soal yang dapat jadi lambang kehancuran ekonomi negeri-negeri Afrika, benua Negro yang mengukir riwayat politik dan demokrasinya dengan warna serba hitam. Kudeta militer "pembuka tahun 1984" yang dilancarkan Mayor Jenderal Mohammed Buhari, 41, di Nigeria, menurunkan Shehu Shagari, 58, tokoh yang lebih bersikap demokratis, dari kursi kepresidenan. Dengan alasan menyelamatkan Nigeria dari kehancuran total, Buhari menambah jumlah negeri Afrika yang kini berada dalam gengaman rezim militer menjadi 17. Di sampingnya masih ada 17 negara lagi yang pemerintahannya dikendalikan partai tunggal. Cuma tujuh dari 41 negara Afrika sekarang yang memberikan hak hidup bagi partai oposisi. Mungkin karena itu orang mengatakan, cita-cita demokrasi Afrika terpenjara dalam berbagai peristiwa rebut-merebut kekuasaan di beberapa negara yang terjadi susul-menyusul. Dalam seperempat abad belakangan ini, lebih dari 70 kepala pemerintahan di 29 negeri Afrika terjungkir dari kursinya, karena terbunuh ataupun terusir dalam kudeta. Negeri-negeri Afrika memperoleh kemerdekaannya setelah dijajah bangsa-bangsa Eropa Barat, sepanjang 1950-an dan 1960-an. Tapi beberapa dasawarsa sesudah ramainya teriakan Uhuru - pekik kemerdekaan dalam bahasa Swahili - para pemimpin di benua hitam itu melihat kenyataan bahwa retorika antikolonialisme sama sekali tak memecahkan kesulitan hidup rakyat mereka. "Pada mulanya, kami optimistis," kata bekas presiden Senegal, Leopold Senghor, 77, kepada wartawan Time belum lama ini. "Sekarang," katanya lagi, "kami sering jadi pesimistis." Senghor yang memimpin Senegal sejak 1960 sampai 1980 pernah masuk nominasi untuk memenangkan Hadiah Nobel. Dia adalah satu di antara tiga - dua lainnya ialah bekas presiden Kamerun Ahmaduo Ahidjo, dan tokoh militer Nigeria, Jenderal Olusegun Obasanjo - pemimpin yang melepaskan kedudukannya secara sukarela. Kini, penduduk di sebelah selatan gurun Sahara ini membiak cepat dengan angka pertumbuhan 2,9% per tahun - tertinggi di dunia - membarengi kesulitan ekonomi yang melilit mereka. Dalam tahun 1960, secara keseluruhan penduduknya hanya 210 juta jiwa, sekarang tercatat 393 juta jiwa. Untuk keluar dari kesulitan ekonomi, tampaknya belum ada pilihan lain buat orang-orang ini kecuali bantuan luar negeri. Tetapi bantuan ini toh merisaukan. Tiap tahun diperkirakan, jumlah bantuan mencapai US$ 100 milyar. Mereka terpaksa meminta penjadwalan utang-utang itu, dengan alasan negara nyaris bangkrut. Namun, penyakit yang diidap Afrika bukan hanya soal ekonomi, masalah pengungsi, dan kelayakan hidup ratusan juta rakyat. Para pengamat menyebut, birokrasi yang tak efisien dan korup memperbesar beban yang menyulitkan. Tahun lalu, presiden Zaire, Mobutu Sese Seko, dituduh bekas menteri luar negerinya menggelapkan uang negara satu milyar dolar AS. Malah, menurut perkiraan, Mobutu memiliki kekayaan hampir empat milyar dolar, yang sebagian besar ditanamnya di bank di Swiss. Dalam soal penggunaan dana secara tak wajar oleh penguasa, Mobutu bukan sendirian. Jean-Bedel Bokassa, 1976, menobatkan dirinya menjadi kaisar di Afrika Tengah dengan upacara besar yang menelan 20 juta dolar AS. Dua juta dolar habis untuk mahkota emasnya yang ditaburi intan berlian. Hampir dua tahun sesudah itu, Bokassa terpelanting pula dari singgasananya. Shagari pun membangun ibu kota, Abuja, dengan biaya yang direncanakan mencapai 16 milyar dolar, ketika ribuan orang Nigeria hidup di daerah slum, di bawah batas kelayakan. Pada awal kemerdekaan dulu, banyak pemimpin Afrika terpukau oleh sistem sosialis. Tapi sistem sosialis Marxis oleh para pengamat Barat dilihat sebagai model yang tidak banyak membawa sukses. Ghana, negeri yang kaya akan sumber alam, di bawah Jerry Rawlings, 36, kini menghadapi kenyataan ekonomi yang kian sulit. Dan Julius Nyerere, dari Tanzania, salah satu pemimpin Afrika yang memulai pembangunan dari sektor ekonomi, pada akhirnya juga menghadapi situasi buruk dengan merosotnya ekspor perkebunan 40% dibandingkan tahun 1970. Leopold Senghor, yang dianggap sebagai negarawan Afrika terpandang, kini melihat kerja sama Afrika, Asia, dan negeri Pasifik sebagai jalan buat memecahkan kesulitan ekonomi. Tentang politik dan demokrasi yang rawan, dia berkata, tak bisa mengabaikan kudeta yang silih berganti. "Kami terlalu penurut, membiarkan diri kami di bawah pengaruh Amerika Serikat, Soviet, bahkan Inggris serta Prancis."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini