MUKANYA tenang, sikapnya dingin. Ia bisa tetap berjoging walau di tengah situasi tegang. Tapi Jenderal Fidel Ramos sebenarnya orang di tengah pilihan yang sulit. Ia prajurit yang harus menggempur orang militer, di tengah ketakpuasan tentara kepada politikus sipil. Ia seorang yang menyatakan diri "kanan" yang terpaksa menghantam orang-orang "sayap kanan", di tengah permusuhan bersama menghadapi komunis. Apa yang ia cari? Orang berkata, ia kelak jadi presiden Filipina. Di kantor penerangan Kamp Aguinaldo, tempat pasukannya berpusat, seorang anak buahnya menempel sebuah guntingan dari koran militer, yang mengutip mingguan The Economist, terbitan London akhir tahun lalu: "If Ike was liked, why not Ramos. Ya, kenapa Ramos tak akan disukai orang (dan jadi presiden) seperti Jenderal "Ike" Eisenhower 30 tahun yang lalu di AS, sehabis menang perang melawan Hitler? Di pekan lalu ditunjukkan, Ramos juga bisa disebut pahlawan. Dalam tempo hanya sehari, pemberontakan Kolonel Honasan dapat digulungnya. Ramos seolah menegaskan: siapa pun yang mencoba mendongkel pemerintah, yang dipilih rakyat, akan diringkus. "Kami -- angkatan bersenjata berada di belakang Cory," katanya. Suara khas seorang petugas. Sebagai petugas, Ramos konon besar andilnya membangun kembali militer Filipina menjadi pasukan yang efisien, bebas dari korupsi, setelah Marcos terguling dan Cory Aquino naik. Hasilnya yang benar sulit dikatakan, melihat masih belum cukup kesejahteraan tentara di lapis bawah. Tapi tentang disiplin, Ramos banyak diakui. Dalam hidup pribadi, Ramos, 59 tahun, adalah seorang Protestan yang saleh, di tengah bangsa Filipina yang umumnya Katolik, hingga konon seandainya ia tak jadi tentara, ia akan jadi penginjil. Insinyur lulusan Universitas Illinois, AS, ini (sebuah gelar yang diperolehnya setelah ia lulus akademi militer tcrkenal, West Point) juga tetap berlatih dalam keahlian tempur termasuk terjun payung pada setiap ulang tahunnya, dan ber-push-up sebanyak jumlah tahun usianya. Pun disiplinnya jelas dalam menaati asas bahwa militer harus tunduk kepada konstitusi, dan tak masuk ke dalam politik praktis. Maka, ia ikut dalam sidang-sidang kabinet, tapi sengaja menghindar dari diskusi perihal kebijaksanaan. Ia selalu menegaskan bahwa perannya adalah melaksanakan kebijaksanaan. Sikapnya yang enggan politik itu pernah dianggap sebagai tanda ia lemah. Tapi tindakannya pekan lalu terhadap para pembangkang menunjukkan ia konsisten, dan tak lemah. Ini sebenarnya sudah mulai tampak sebelum pembangkangan pekan lalu, ketika Oscar Canlas, seorang perwira yang tak senang kepada pemerintahan Aquino, mencoba kudeta. Pasukan Canlas ia ringkus. Tapi toh ada teka-teki. Canlas sampai sekarang tak dipidana, meskipun Presiden Corazon Aquino memerintahkan agar mereka dibawa ke mahkamah militer. Kata Ramos, sekali ini tak tampak patuh, "Terlalu dini untuk bicara soal tuntutan dan pengadilan." Tanda bahwa Ramos sebeltanya tak kukuh benar? Sementara ini: entah. Menaik untuk dilihat, hukuman apa yang aka diterima para pemberontak pekan lalu itu. Diduga, Ramos menghindari perang saudara. Ia mengelak dari perpecahan di tubuh militer di antara pelbagai klik dan pendirian. Tapi mungkin juga Ramos mirip tokoh wayang Kumbakarna, versi Filipina: ia tak setuju kebijaksanaan atasannya, tapi ia membelanya. Namanya memang Fidel. Artinya setia. Yulia S. Madjid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini