Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Langkah Barak Mengikis Perdamaian

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesepakatan itu hanyalah segumpal kapas yang gampang melayang. Tak lama setelah pertemuan di Sharm el-Sheikh berakhir, tentara Israel dan penduduk Palestina kembali bentrok. Di luar dugaan, tiba-tiba PM Israel Ehud Barak mengancam akan melakukan tindakan senjata apabila kerusuhan tak kunjung reda. "Pemerintah akan melakukan apa saja untuk melindungi kepentingan vital masyarakat Israel," pekiknya. Kesepakatan di tepi Laut Merah itu, yang menekankan gencatan senjata oleh semua pihak, hilang ditelan udara.

Barak tidak hanya menggertak. Jumat silam, sembilan orang tewas dan puluhan luka-luka akibat bentrokan susulan. Dan Barak pun menyatakan keinginannya untuk sejenak beristirahat dari pembicaraan perdamaian yang tak kunjung menemui jalan keluar. Pernyataan Barak ini semakin menegaskan perubahan sikapnya dari citra sebelumnya. Saat pemilu, dia lebih dikenal sebagai pemimpin Israel yang moderat, bahkan cenderung kompromistis. Belakangan ia menggergaji berbagai kemajuan yang sudah dirintis oleh Palestina-Israel dengan susah payah.

Perubahan kemudi politik Barak ini sebenarnya sudah tercium seiring meletuskan konflik yang menewaskan lebih dari 100 orang, tiga pekan silam. Dalam menanggapi konflik yang dipicu oleh kunjungan pemimpin Partai Likud, Ariel Sharon, ke Masjid Al Aqsa pada 28 September silam itu, sikap Barak terkesan mengulur tercapainya perdamaian.

Itu bisa dilihat ketika dalam pertemuan di Paris dengan pemimpin Palestina Yasser Arafat, Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright, dan Presiden Prancis Jacques Chirac, dia tetap ngotot menolak dibentuknya komite penyelidik seperti yang diinginkan Arafat. Bahkan, dalam pertemuan berikut di Mesir, Barak menolak datang. Bersamaan dengan kerasnya sikap Barak, pertempuran terus bermunculan.

Kenapa tiba-tiba ia berubah? Berbaliknya arah bandul politik Barak itu, menurut Riza Sihbudi, pengamat masalah Timur Tengah dari LIPI, tak lepas dari posisinya yang sulit dalam pemerintahan koalisi. Kemenangan Partai Buruh dalam pemilu lalu memang berselisih tipis dengan Partai Likud. Sementara itu, perbandingan persentase kubu garis keras dan kubu moderat di Knesset ataupun di masyarakatnya sangat berimbang. Jika Barak salah langkah, boleh jadi kursi PM bisa terbang. "Ini sulit. Orang semoderat Barak atau Shimon Peres pun sulit untuk bisa tampil dengan ide-ide baru yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian," katanya.

Melemahnya posisi Barak itu bisa dilihat saat Sharon berkunjung ke Masjid Al Aqsa, yang kemudian memicu konflik Ramallah. "Semula dia hampir mencapai suatu prestasi berupa perdamaian (tinggal selangkah), kini dijegal dan harus mulai dari nol lagi," kata Riza. Langkah Sharon ini tak lain merupakan lampu kuning untuk Barak agar tidak meneruskan ide-idenya tentang pembagian Yerusalem.

Serangan terhadap Barak memang bukan sekali ini saja. Juli lalu, setelah perundingan Camp David gagal, Barak disembur kritik. Tidak hanya itu, Partai Likud, partai oposisi yang paling kuat, lantas saja mengajukan mosi tidak percaya atas kepemimpinnya, sebagai protes atas konsesi yang diajukannya dalam KTT Camp David. Barak cukup beruntung. Jumlah suara untuk menjatuhkan Barak itu tak mencapai persyaratan minimal.

Di mata golongan ekstrem Israel, sejak terpilih menjadi perdana menteri 7 Juli tahun silam, Barak dianggap sudah terlalu banyak menguntungkan Palestina. Misalnya ketika ia mengakui keberadaan negara Palestina dan berjanji untuk mengakhiri konflik Israel dengan negara-negara Arab lainnya. Tak mengherankan, semula tampilnya Barak ke panggung politik Timur Tengah menerbitkan harapan bagi bangsa Arab. Apalagi dalam berbagai perundingan, Barak cenderung menguntungkan Palestina. Puncaknya, dalam pertemuan Camp David di Amerika Serikat, Juli silam, kalangan ekstrem Israel menganggap Barak sudah merugikan Israel. Ia dianggap melupakan satu hal penting: pemerintahannya dibangun oleh sebuah koalisi dengan partai lain, termasuk Partai Likud, yang selalu menentang proses damai dengan Palestina. Karena Partai Buruh pimpinan Barak memang hanya menang tipis dengan Partai Likud, ia membutuhkan dukungan partai lain. Selain itu, jam terbangnya sebagai politisi cuma seujung kuku. Pengalamannya di birokrasi hanya berkisar saat dia menjabat menteri pada 1995-1996.

Berubahnya langkah Barak ini kini membawa Timur Tengah ke ambang perang. Kalau saja langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi pemilu yang dipercepat, yang direncanakan akan dilaksanakan akhir bulan ini, agaknya tidak beralasan. Toh, omposisi pemilih Partai Buruh dan Partai Likud cukup berimbang. Selain itu, di antara masyarakat Israel, banyak yang tidak setuju dengan gerakan Ariel Sharon. Menurut Riza Sihbudi, bila saja komite penyidik berhasil menemukan bukti bahwa pemicu insiden itu dilakukan oleh orang-orang Sharon, justru itu akan memperkuat posisi Barak dan niscaya lebih melicinkan perundingan damai dengan Palestina.

Namun, Barak melakukan langkah blunder. Ia mulai berkaca pada Ariel Sharon.

Irfan Budiman dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus