Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARGA Irianjaya harap-harap cemas menanti 1 Desember tiba. Presidium Dewan Papua telah menetapkan tanggal ini sebagai Hari Kemerdekaan Papua. Tapi, bentrokan demi bentrokan seolah enggan berhenti menyongsong saat bersejarah itu. Insiden dipicu oleh konflik kepentingan yang berbeda. Pemerintah pusat melarang Bintang Kejora dikibarkan, sementara penduduk setempat justru menganggap bendera itu sebagai lambang kedaulatan.
Bentrok paling parah terjadi pada 6 Oktober. Pasukan Brigade Mobil berperang melawan penduduk asli di depan bioskop Wamena. Versi polisi menyebutkan 40 orang tewassumber lain menyebut 58dan puluhan lainnya luka-luka. Kebanyakan korban adalah transmigran, yang menjadi sasaran kemarahan warga setempat kepada aparat. Ini bentrokan ke-enam sejak Desember tahun lalu.
Responden jajak pendapat TEMPO merasa sedih dan kecewa atas terjadinya kerusuhan di Wamena, yang mengakibatkan sejumlah pendatang tewas dan teraniaya. Perasaan simpati ini boleh dibilang wajar, mengingat imigran dari luar Papua mestinya tidak dalam posisi untuk diperangi, karena bukan mereka yang melarang pengibaran Bintang Kejora.
Adakah rasa kecewa itu berhubungan dengan sikap responden? Entahlah. Yang jelas, mayoritas responden sepakat dengan kebijakan pemerintah melarang Bintang Kejora dikibarkan di seluruh Tanah Cenderawasih.
Sebagian besar responden juga tak setuju seandainya Papua merdeka. Alasan mereka, secara historis dan geografis Papua memang bagian dari Indonesia. Papua (dahulu disebut Irian Barat) direbut dari tangan pemerintah kolonial Belanda lewat perjuangan yang heroik. Selain itu, bila provinsi ini lepas, disintegrasi bukan lagi sekadar potensi, melainkan sudah menjadi proses. Ujung dari sikap responden adalah usulan ekstrem buat pemerintah. Responden berpendapat, Jakarta harus mempertahankan Papua dengan risiko apa pun.
Pendapat ini nyaris tak berbeda seperti ketika TEMPO melakukan jajak pendapat mengenai referendum untuk Timor Timor. Waktu itu, responden Jakarta pun menilai Timor Timur sebaiknya tetap menjadi bagian dari wilayah Indonesia, menjelang referendum di Bumi Loro Sa'e 30 Agustus 1999 lalu.
Besar kemungkinan sikap tersebut dipicu oleh jauhnya "jarak pemahaman" warga Jakarta terhadap problem Papua. Responden tak tahu benar apa yang sesungguhnya terjadi di Tanah Cenderawasih, termasuk kondisi sosial kemasyarakatannya. Atau, boleh jadi sikap itu mencerminkan keberhasilan doktrin negara kesatuan yang ditanamkan Orde Baru selama lebih dari 30 tahundan sekarang didukung oleh Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri.
Buktinya, hanya sedikit responden yang setuju Papua lebih baik merdeka saja. Menurut mereka, dengan menjadi negara merdeka kesejahteraan warga Papua bisa meningkat. Responden yang berpendapat seperti ini kemungkinan mengetahui bahwa kesejahteraan warga Papua ada di tingkat bawah.
Entah mana yang terbaik di antara sikap di atas buat Papua. Pemerintah sendiri saat ini belum menentukan solusi terbaik. Kalaupun ada alternatif jangka pendek, barangkali itu seperti yang diusulkan oleh Muridan S. Widjojo. Peneliti LIPI yang pernah melakukan penelitian di Irianjaya ini menyarankan agar isu politik digeser ke arah dialog. Alasannya, sebagian besar orang Papua memiliki kemampuan negosiasi tinggi. Mereka dapat menyelesaikan persoalan hanya dengan duduk bersama, merokok bersama dari api yang sama, yang bisa berlangsung berminggu-minggu bahkankalau perlubertahun-tahun untuk sampai pada resolusi yang disepakati bersama.
Walhasil, kemerdekaan tampaknya masih seperti lorong tak berujung buat Papua. Apa yang akan terjadi 1 Desember nanti tetap teka-teki.
Wicaksono
Bagaimana perasaan Anda mendengar terjadinya serangan terhadap para pendatang oleh penduduk asli Papua? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kecewa | 46%Sedih | 43% | Senang | 1% | Marah | 5% | Antipati | 5% | | Apakah keputusan pemerintah melarang bendera Bintang Kejora dikibarkan sudah tepat? | Ya | 81% | Tidak | 19% | | Apakah Anda setuju Papua memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI (merdeka)? | Ya | 7% | Tidak | 93% | | Bila tidak, mengapa Anda menjawab demikian? | Secara historis, Papua bagian dari Indonesia | 37% | Secara geografis, Papua bagian dari Indonesia | 22% | Bisa menjadi pemicu disintegrasi | 18% | Asal Papua diperlakukan secara adil | 14% | Pelaksanaan otonomi daerah sudah cukup menampung aspirasi | 6% | Sudah banyak pengorbanan untuk mempertahankannya | 2% | * Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Bila ya, mengapa Anda menjawab demikian? | Dengan menjadi negara merdeka, kesejahteraan warga Papua meningkat | 26% | Sejarah bergabungnya Papua ke Indonesia berbeda dengan Timor Timur | 23% | Pemerintah tak punya alasan untuk mencegah Papua memisahkan diri | 23% | Pelaksanaan otonomi daerah belum cukup menampung aspirasi | 11% | Secara historis, Papua bukan bagian dari Indonesia | 9% | Meringankan permasalahan dalam negeri | 9% | * Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Menurut Anda, apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah untuk Papua? | Mempertahankan Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan RI dengan risiko apa pun | 40% | Mempertegas sikap lebih adil terhadap Papua | 29% | Memberikan hak otonomi khusus kepada Papua | 22% | Menyerahkan nasib Papua kepada warganya sendiri | 5% | Mengadakan pendekatan persuasif | 2% | Tidak melakukan apa-apa | 2% | * Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | |
---|
Metodologi jajak pendapat :
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.30 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo