Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Perkawinan bekas karnah perkwainan bekas karnah

Perkawinan karnah (bekas atlet) yang kini mengaku menjadi laki-laki, dengan pujiastuti akan diadukan ke pengadilan agama, karena statusnya masih sebagai wanita. (ag)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKAWINAN Karnah, bekas olahragawati nasional yang kini nLma Iwan Setiawan, dan mengaku menjadi laki-laki, akan diadukan ke Pengadilan agama. R.U. Sutisna, Kepala Seksi Urusan Agama Kantor Departemen Agama Kabupaten Ciamis, menuturkan kepada TEMPO dalam seminggu ini akan menyusun pengaduan tersebut ke Pengadilan Agama Ciamis. Ini emang masalah "misteri" jenis kelarn ekas atlet pemegang medali perunggu untuk lempar lembing wanita pada Asian Games III (1958) di Tokyo itu. Masalahnya bisa dimulai dari 23 November tahun lalu. Waktu itu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Banjar, menerima surat dari KUA Kecamatan Rancah, dua-duanya di Ciamis, Jawa larat. Isinya: orang bernama Iwan etiawan Setiadihardja Wirjasaputra, yang telah dikawinkan oleh KUA Banjar -- dengan perempuan bernama Tuty Pudjiastuty--seminggu sebelumnya, 16 November, sebenarnya seorang perempuan. Namanya Karnah, penduduk Kecamatan Rancah. Anunya Laki-laki Karnah sebelumnya memang sudah mencoba kawin di Rancah. Tapi ditolak, karena di sana ia dikenal resmi sebagai perempuan. Karena itulah ia pergi ke Desa Alekarsari, Banjar. Di situ ia berhasil mendapat surat-surat untuk maju ke KUA setempat. Yang aneh ialah, mereka ternyata tak kenal Karnah. Kepala KUA Banjar, seterima surat dari KUA Rancah, lantas mengutus dua orang ke rumah Iwan atau Karnah itu. Di sana Iwan malah menantang: mengajak mereka ke kamar, lalu membuka celana. "Mereka lihat sendiri Karnah memang laki-laki," kata Iwa, Amil Desa Mekarsari . Tapi yang diminta Sanusi, Pak Kepala, tak lain pembuktian resmi berupa surat keterangan dokter dan akta pengadilan negeri. Dan Iwan pun berjanji, secara tertulis, akan menyelesaikan semua itu dalam sebulan--sampai 20 Februari kemarin . Pak Kepala agaknya memang pusing. Masalah seperti itu tak ada di Quran maupun hadis. Memang dalam kitab-kitab fiqh ada yang disebut huntsa (banci). Tapi pengertiannya ialah mereka yang punya dua kelamin. Imam Hanafi misalnya menetapkan, untuk menggolongkan seorang buntsa ke dalam barisan laki-laki atau wanita, baiklah dilihat "mana di antara dua kelamin itu yang lebih berfungsi." Caranya? Melihat dia kencing: dari mana keluar air, atau mana yang lebih deras. Tapi kalau ukurannya memang hanya kelamin, sudah jelas: Si Iwan itu laki-laki. Menurut sang ibu, Muridji, juga sang ayah, Sukarta, Iwan itu dilahirkan (1940, di Kampung Sidamulya, Cisontrol, Rancah) sebagai anak laki-laki. "Anunya itu laki-laki," kata Ibu, 55 tahun. Hanya, sehari kemudian, anunya-katanya--" berubah jadi perempuan." "Tapi di sebelah kanan kemaluan wanita itu tumbuh kecil kemaluan laki-laki," kata ayahnya. Dan yang laki-laki itu kian membesar, lalu yang perempuan hilang. Anak itu semula diberi mana Sutihat, dan tetap saja berpakaian wanita. Perkembangan berlanjut. Karnah tak lulus tes kelamin sebagai atlet putri untuk Olimpiade Roma 1960 -- meski ia sendiri menganggap ketidakberangkatannya "bukan karena tes kelamin". Tahun 1964 dia mencalonkan diri sebagai kepala desa Cisontrol. Tapi kalah. Ia sudah tiga kali kawin. Yang pertama pada usia 12 tahun, tapi tak pernah bergaul. Yang kedua dengan Karya Sutedja, 1963-1965. "Hubungan suami-istri kami normal saja," kata Karya yang sekarang guru SD di Babakan Ciparay, Bandung. Memang banyak yang meragukan keterangan ini, karena mereka sebenarnya berpisah: Karnah tinggal di asrama IKIP, sebagai mahasiswa. Yang ketiga dengan kawannya ketika sama-sama ditahan Laksusda di Bandung, dianggap terlibat Gerwani dan PKI. Tapi sebenarnya tak jelas mereka kawin di mana. Mungkin tidak kawin sama sekali. Dan ia tak punya anak. Hanya sekarang, sambil menepuk perut istrinya, di rumahnya yang terpencil di desa 15 km dari Rancah, ia menyatakan kepada TEMPO mungkin akan dapat anak. "Pokoknya saya sudah kawin secara sah, 'kata Iwan. "Sebenarnya menurut Islam, yang penting itu 'kan orangtua Tuty". Atmaja Matawacana sendiri, ayah Tuty, 62 tahun, bilang: "Menurut agama, kalau ayah mengawinkan anak gadisnya disertai saksi, 'kan sudah sah?" Ahmad Sanusi, Kepala KUA Banjar, memang mengakui perkawinan itu sah --sampai di-fasid-kan (dianggap rusak) oleh pengadilan agama, kalau memang harus dilakukan. "Sebenarnya kalau tanggal 20 Februari itu ia datang dengan surat dari dokter saja, yang mengakui kelaki-lakiannya, persoalannya beres," kata Sanusi pula. Tapi yang dilakukan Iwan adalah datang dengan hanya seamplop surat. Itu surat dari Mayjen dr. Aziz Saleh dulu ketua Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), ditujukan kepada Kepala KUA. Isinya: Karnah sudah diperiksa di RSPAD dan RSCM Jakarta, 17 dan 18 Februari, dan "dapat dinyatakan (sebagai) seorang laki-laki." Tapi untuk mencapai hasil maksimal perlu diadakan pemeriksaan lanjutan di FKUI --sesudah pemilu . Tak jelas apakah sidang pengadilan agama, kalaupun jadi, juga dilakukan sesudah pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus