PERKAWINAN Karnah, bekas olahragawati nasional yang kini nLma
Iwan Setiawan, dan mengaku menjadi laki-laki, akan diadukan ke
Pengadilan agama. R.U. Sutisna, Kepala Seksi Urusan Agama
Kantor Departemen Agama Kabupaten Ciamis, menuturkan kepada
TEMPO dalam seminggu ini akan menyusun pengaduan tersebut ke
Pengadilan Agama Ciamis.
Ini emang masalah "misteri" jenis kelarn ekas atlet pemegang
medali perunggu untuk lempar lembing wanita pada Asian Games III
(1958) di Tokyo itu. Masalahnya bisa dimulai dari 23 November
tahun lalu. Waktu itu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Banjar, menerima surat dari KUA Kecamatan Rancah, dua-duanya di
Ciamis, Jawa larat. Isinya: orang bernama Iwan etiawan
Setiadihardja Wirjasaputra, yang telah dikawinkan oleh KUA
Banjar -- dengan perempuan bernama Tuty Pudjiastuty--seminggu
sebelumnya, 16 November, sebenarnya seorang perempuan. Namanya
Karnah, penduduk Kecamatan Rancah.
Anunya Laki-laki
Karnah sebelumnya memang sudah mencoba kawin di Rancah. Tapi
ditolak, karena di sana ia dikenal resmi sebagai perempuan.
Karena itulah ia pergi ke Desa Alekarsari, Banjar. Di situ ia
berhasil mendapat surat-surat untuk maju ke KUA setempat. Yang
aneh ialah, mereka ternyata tak kenal Karnah.
Kepala KUA Banjar, seterima surat dari KUA Rancah, lantas
mengutus dua orang ke rumah Iwan atau Karnah itu. Di sana Iwan
malah menantang: mengajak mereka ke kamar, lalu membuka celana.
"Mereka lihat sendiri Karnah memang laki-laki," kata Iwa, Amil
Desa Mekarsari .
Tapi yang diminta Sanusi, Pak Kepala, tak lain pembuktian resmi
berupa surat keterangan dokter dan akta pengadilan negeri. Dan
Iwan pun berjanji, secara tertulis, akan menyelesaikan semua itu
dalam sebulan--sampai 20 Februari kemarin .
Pak Kepala agaknya memang pusing. Masalah seperti itu tak ada di
Quran maupun hadis. Memang dalam kitab-kitab fiqh ada yang
disebut huntsa (banci). Tapi pengertiannya ialah mereka yang
punya dua kelamin. Imam Hanafi misalnya menetapkan, untuk
menggolongkan seorang buntsa ke dalam barisan laki-laki atau
wanita, baiklah dilihat "mana di antara dua kelamin itu yang
lebih berfungsi." Caranya? Melihat dia kencing: dari mana keluar
air, atau mana yang lebih deras.
Tapi kalau ukurannya memang hanya kelamin, sudah jelas: Si Iwan
itu laki-laki. Menurut sang ibu, Muridji, juga sang ayah,
Sukarta, Iwan itu dilahirkan (1940, di Kampung Sidamulya,
Cisontrol, Rancah) sebagai anak laki-laki. "Anunya itu
laki-laki," kata Ibu, 55 tahun. Hanya, sehari kemudian,
anunya-katanya--" berubah jadi perempuan."
"Tapi di sebelah kanan kemaluan wanita itu tumbuh kecil kemaluan
laki-laki," kata ayahnya. Dan yang laki-laki itu kian membesar,
lalu yang perempuan hilang. Anak itu semula diberi mana Sutihat,
dan tetap saja berpakaian wanita.
Perkembangan berlanjut. Karnah tak lulus tes kelamin sebagai
atlet putri untuk Olimpiade Roma 1960 -- meski ia sendiri
menganggap ketidakberangkatannya "bukan karena tes kelamin".
Tahun 1964 dia mencalonkan diri sebagai kepala desa Cisontrol.
Tapi kalah.
Ia sudah tiga kali kawin. Yang pertama pada usia 12 tahun, tapi
tak pernah bergaul. Yang kedua dengan Karya Sutedja, 1963-1965.
"Hubungan suami-istri kami normal saja," kata Karya yang
sekarang guru SD di Babakan Ciparay, Bandung. Memang banyak yang
meragukan keterangan ini, karena mereka sebenarnya berpisah:
Karnah tinggal di asrama IKIP, sebagai mahasiswa. Yang ketiga
dengan kawannya ketika sama-sama ditahan Laksusda di Bandung,
dianggap terlibat Gerwani dan PKI. Tapi sebenarnya tak jelas
mereka kawin di mana. Mungkin tidak kawin sama sekali. Dan ia
tak punya anak. Hanya sekarang, sambil menepuk perut istrinya,
di rumahnya yang terpencil di desa 15 km dari Rancah, ia
menyatakan kepada TEMPO mungkin akan dapat anak.
"Pokoknya saya sudah kawin secara sah, 'kata Iwan. "Sebenarnya
menurut Islam, yang penting itu 'kan orangtua Tuty". Atmaja
Matawacana sendiri, ayah Tuty, 62 tahun, bilang: "Menurut agama,
kalau ayah mengawinkan anak gadisnya disertai saksi, 'kan sudah
sah?" Ahmad Sanusi, Kepala KUA Banjar, memang mengakui
perkawinan itu sah --sampai di-fasid-kan (dianggap rusak) oleh
pengadilan agama, kalau memang harus dilakukan.
"Sebenarnya kalau tanggal 20 Februari itu ia datang dengan surat
dari dokter saja, yang mengakui kelaki-lakiannya, persoalannya
beres," kata Sanusi pula. Tapi yang dilakukan Iwan adalah datang
dengan hanya seamplop surat. Itu surat dari Mayjen dr. Aziz
Saleh dulu ketua Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI),
ditujukan kepada Kepala KUA. Isinya: Karnah sudah diperiksa di
RSPAD dan RSCM Jakarta, 17 dan 18 Februari, dan "dapat
dinyatakan (sebagai) seorang laki-laki." Tapi untuk mencapai
hasil maksimal perlu diadakan pemeriksaan lanjutan di FKUI
--sesudah pemilu .
Tak jelas apakah sidang pengadilan agama, kalaupun jadi, juga
dilakukan sesudah pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini