OMAR Vignole, penyair ganjil dari Argentina itu berbadan besar
sekali dan ke mana-mana membawa tongkat. Tongkat itupun besar
pula. Dia pernah bertani di pedalaman Algentina, dan ketika
pindah ke ibukota, dibawanya seekor sapi yang tak pernah
bercerai dari sisinya.
Sayangnya pada sapi itu, tak kepalang.
Ke manapun dia pergi di Buenos Aires sapinya senantiasa berjalan
di sisinya dengan seutas tali keluan dan tongkat berayun di
tangannya.
Waktu itu buku Omar terbit dengan judul-judul eksentrik seperti
misalnya: Apa Yang Dipikirkan Sapi, Sapiku dan Daku, dan yang
semacam itu.
Yakin betul pada kekuatan badan king-kongnya itu, pada suatu
kali dia menantang seorang pegulat. Pegulat bayaran itu menerima
tantangannya. Mereka bertanding di Luna Park. Arena penuh sesak
karena penonton ingin melihat Calcutta Strangler mencekik
penyair pembual itu. Tapi siapa tahu raksasa -- tanpa teknik itu
dapat membuat kejutan, misalnya membanting pegulat pro itu,
'kan?
Omar Vignole masuk gelanggang dengan penuh rasa kebesaran, dan
bagaikan sebuah upacara tersendiri sapinya ditambatkannya di
sudut pentas. Bergaya aktor opera dia buka mantel. Lantas pasang
kuda-kuda.
Benar. Beranggun-anggun tak ada guna. Tekniklah yang bicara:
tap, Calcutta Strangler menggocoh perutnya, tap-tap, Calcutta
Strangler menghajar selangkangnya, tap-tap-tap, Calcutta
Strangler menyilang kakinya seraya mencuat. Bruk, raksasa itu
jatuh. Bruk-bruk, si pegulat profesional menjatuhkan badan
menghimpitnya. Bruk-bruk-pletak, kedua lengan penyair terkunci
nyaris patah.
Penonton gemuruh dan arena seperti akan pecah dinding. Suit-suit
dan sorak-sorai menuntut pertandingan diteruskan. Bukan main
terhinanya Omar waktu itu, sudahlah kalah dan dijepit sakit,
tumit Calcutta Strangler menekan lehernya pula di tengah
teriakan lautan penonton yang mengejeknya.
Terhina benar dia.
Beberapa bulan kemudian sajaknya terbit berjudul Percakapan
Dengan Sapi. Di halaman pertama buku itu ditulisnya pengantar
kira-kira begini bunyinya: "Karya filsafat ini kutujukan pada
40.000 penonton haram-jadah yang kepingin melihat aku mampus di
Luna Park, malam hari, 24 Pebruari."
Panggung
Jengkerik berbunyi, ribuan banyaknya, pada suatu malam
Guatemala, ketika Pablo Neruda memasuki negeri itu malam hari.
"Nyaris pekak telingaku," tulis penyair Chili itu dalam
Confieso que he vivido: Memorias, 1973, buku terakhirnya
mengenai kenang-kenangan hidupnya. "Kami hentikan mobil larut
hari, menyimak suara menyeru-nyeru dari dalam bumi, bagaikan
pesan telegram dari hutan kelam." Neruda bercerita tentang
perjalanan itu, tentang rimba raya, sungai lebar, danau tinggi
di pegunungan dan hewan liar di padang belantara.
Di Guatemala orang tidak bicara politik dekat dinding. Orang
menghentikan mobil di dataran tinggi yang tandus dan sunyi, baru
berani berbisik tentang situasi.
Telinga-telinga, di mana-mana memasang mata. Mata-mata. di
mana-mana memasang telinga.
Sang diktator bernama Ubico, bertahun-tahun berkuasa,
kata-katanya rantai, kalimat-kalimatnya belenggu. Sekretaris
Ubico pernah sekali menyangkalnya hanya tentang soal seujung
kuku, maka Ubico pun konon mengikatnya di tiang istana
kediamannya dan dengan tangan kepresidenannya sendiri mencambuk
sekretarisnya itu.
Para penyair muda Guatemala mengundang Neruda, penyair Chili
yang kelak kemudian memenangkan hadiah Nobel itu, membaca sajak
di depan khalayak ramai. Acara baca sajak di Guatemala harus
dapat izin dari penguasa. Tidak tanggung-tanggung,
penyair-penyair muda itu mengirim telegram langsung pada
penguasa tertinggi, pada presiden Ubico minta izin.
Izin khusus diberikan untuk penyair negara tetangga itu. Ruangan
penuh sesak, terutama oleh mahasiswa dan anakanak muda. "Saya
gembira membaca sajak-sajak saya," tulis Neruda, "karena
sajak-sajakku seolah menggerek lubang kecil di dinding penjara
yang luas."
Komandan polisi duduk di depan sekali, berjelas-jelas. Di
belakang hari barulah Neruda tahu bahwa empat pucuk senapan
mesin tersembunyi waktu itu, dibidikkan kepadanya di panggung
dan kepada hadirin, siap untuk batuk-batuk peluru bila komandan
polisi memberi tanda dengan tiba-tiba meninggalkan tempat
duduknya.
Tapi itu tidak terjadi.
Neruda malah diundang ke istana karena presiden Ubico ingin
berkenalan. Tapi Neruda cepat-cepat lari ke Meksiko.
Sup Kacang Polong
Tomas Salamun belum lagi genap 30 tahun umurnya ketika saya
ketemu dia di kota kecil Iowa City, 1971. Nina, gadis ciliknya
berumur tiga tahun yang lucu dan manis, berambut pirang
bergulung-gulung, gemar mengulum gula-gula lolipop, adalah
cindur-mata para pengarang 25 negara peserta program Iowa di
Amerika Barat-Tengah waktu itu.
Sajak-sajak penyair Yugoslavia ini amatlah sederhananya.
Puisi-puisinya mengenai daun. Dia ceritakan daun-daunan yang
ditimpa matahari musim semi. Puisi-puisinya mengenai kacang
polong. Dia ceritakan bagaimana rasa sup kacang polong suam-suam
kuku, diminum sendirian. Puisi-puisinya mengenai pamannya yang
tua. Dia ceritakan pamannya sedang bermalas-malas di kebun,
duduk setengah berbaring seraya mengenang soal remeh yang hampir
tercampak dari ingatan.
Tomas Salamun, penyair dari blok Timur, negara sosialis itu,
tindak-tanduknya halus, bicaranya pelahan, namanya pun seperti
nama orang Jawa.
Pada suatu malam tahun berikutnya saya baca sajak di North
Dubuque Street. Seperti biasanya sehabis itu terjadi diskusi
antara pengarang peserta program. Gaya, tema, estetika, kritik
sastra, itu-itu jugalah yang diperdebatkan. Kemudian pembicaraan
malam itu tiba pada beberapa puisi Tirani dan Benteng,
syair-syair 1966 yang gemuruh itu.
Tomas Salamun yang halus, pujangga Yugoslavia yang selalu bicara
pelahan dan punya nama seperti nama orang Jawa itu bilang:
-- Sajak-sajakmu itu, sajak-sajak taik.
Tidak begitu percaya pada kerja selaput gendang telinga saya,
saya pun bertanya:
-- Tomas Salamun, apa gerangan katamu?
Sehalus tadi juga, sedatar itu juga dia ulangi lagi:
-- Taufiq Ismail, sajak-sajakmu itu, sajak-sajak taik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini