Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Syair sapi, syair panggung, syair ...

Setelah taufiq ismail membacakan sajak di north du buque street dan berdiskusi tentang gaya, tema, estetika dan kritik sastra. toman salamun, pujangga yugoslavia, mengecam sajak tirani dan benteng.

20 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OMAR Vignole, penyair ganjil dari Argentina itu berbadan besar sekali dan ke mana-mana membawa tongkat. Tongkat itupun besar pula. Dia pernah bertani di pedalaman Algentina, dan ketika pindah ke ibukota, dibawanya seekor sapi yang tak pernah bercerai dari sisinya. Sayangnya pada sapi itu, tak kepalang. Ke manapun dia pergi di Buenos Aires sapinya senantiasa berjalan di sisinya dengan seutas tali keluan dan tongkat berayun di tangannya. Waktu itu buku Omar terbit dengan judul-judul eksentrik seperti misalnya: Apa Yang Dipikirkan Sapi, Sapiku dan Daku, dan yang semacam itu. Yakin betul pada kekuatan badan king-kongnya itu, pada suatu kali dia menantang seorang pegulat. Pegulat bayaran itu menerima tantangannya. Mereka bertanding di Luna Park. Arena penuh sesak karena penonton ingin melihat Calcutta Strangler mencekik penyair pembual itu. Tapi siapa tahu raksasa -- tanpa teknik itu dapat membuat kejutan, misalnya membanting pegulat pro itu, 'kan? Omar Vignole masuk gelanggang dengan penuh rasa kebesaran, dan bagaikan sebuah upacara tersendiri sapinya ditambatkannya di sudut pentas. Bergaya aktor opera dia buka mantel. Lantas pasang kuda-kuda. Benar. Beranggun-anggun tak ada guna. Tekniklah yang bicara: tap, Calcutta Strangler menggocoh perutnya, tap-tap, Calcutta Strangler menghajar selangkangnya, tap-tap-tap, Calcutta Strangler menyilang kakinya seraya mencuat. Bruk, raksasa itu jatuh. Bruk-bruk, si pegulat profesional menjatuhkan badan menghimpitnya. Bruk-bruk-pletak, kedua lengan penyair terkunci nyaris patah. Penonton gemuruh dan arena seperti akan pecah dinding. Suit-suit dan sorak-sorai menuntut pertandingan diteruskan. Bukan main terhinanya Omar waktu itu, sudahlah kalah dan dijepit sakit, tumit Calcutta Strangler menekan lehernya pula di tengah teriakan lautan penonton yang mengejeknya. Terhina benar dia. Beberapa bulan kemudian sajaknya terbit berjudul Percakapan Dengan Sapi. Di halaman pertama buku itu ditulisnya pengantar kira-kira begini bunyinya: "Karya filsafat ini kutujukan pada 40.000 penonton haram-jadah yang kepingin melihat aku mampus di Luna Park, malam hari, 24 Pebruari." Panggung Jengkerik berbunyi, ribuan banyaknya, pada suatu malam Guatemala, ketika Pablo Neruda memasuki negeri itu malam hari. "Nyaris pekak telingaku," tulis penyair Chili itu dalam Confieso que he vivido: Memorias, 1973, buku terakhirnya mengenai kenang-kenangan hidupnya. "Kami hentikan mobil larut hari, menyimak suara menyeru-nyeru dari dalam bumi, bagaikan pesan telegram dari hutan kelam." Neruda bercerita tentang perjalanan itu, tentang rimba raya, sungai lebar, danau tinggi di pegunungan dan hewan liar di padang belantara. Di Guatemala orang tidak bicara politik dekat dinding. Orang menghentikan mobil di dataran tinggi yang tandus dan sunyi, baru berani berbisik tentang situasi. Telinga-telinga, di mana-mana memasang mata. Mata-mata. di mana-mana memasang telinga. Sang diktator bernama Ubico, bertahun-tahun berkuasa, kata-katanya rantai, kalimat-kalimatnya belenggu. Sekretaris Ubico pernah sekali menyangkalnya hanya tentang soal seujung kuku, maka Ubico pun konon mengikatnya di tiang istana kediamannya dan dengan tangan kepresidenannya sendiri mencambuk sekretarisnya itu. Para penyair muda Guatemala mengundang Neruda, penyair Chili yang kelak kemudian memenangkan hadiah Nobel itu, membaca sajak di depan khalayak ramai. Acara baca sajak di Guatemala harus dapat izin dari penguasa. Tidak tanggung-tanggung, penyair-penyair muda itu mengirim telegram langsung pada penguasa tertinggi, pada presiden Ubico minta izin. Izin khusus diberikan untuk penyair negara tetangga itu. Ruangan penuh sesak, terutama oleh mahasiswa dan anakanak muda. "Saya gembira membaca sajak-sajak saya," tulis Neruda, "karena sajak-sajakku seolah menggerek lubang kecil di dinding penjara yang luas." Komandan polisi duduk di depan sekali, berjelas-jelas. Di belakang hari barulah Neruda tahu bahwa empat pucuk senapan mesin tersembunyi waktu itu, dibidikkan kepadanya di panggung dan kepada hadirin, siap untuk batuk-batuk peluru bila komandan polisi memberi tanda dengan tiba-tiba meninggalkan tempat duduknya. Tapi itu tidak terjadi. Neruda malah diundang ke istana karena presiden Ubico ingin berkenalan. Tapi Neruda cepat-cepat lari ke Meksiko. Sup Kacang Polong Tomas Salamun belum lagi genap 30 tahun umurnya ketika saya ketemu dia di kota kecil Iowa City, 1971. Nina, gadis ciliknya berumur tiga tahun yang lucu dan manis, berambut pirang bergulung-gulung, gemar mengulum gula-gula lolipop, adalah cindur-mata para pengarang 25 negara peserta program Iowa di Amerika Barat-Tengah waktu itu. Sajak-sajak penyair Yugoslavia ini amatlah sederhananya. Puisi-puisinya mengenai daun. Dia ceritakan daun-daunan yang ditimpa matahari musim semi. Puisi-puisinya mengenai kacang polong. Dia ceritakan bagaimana rasa sup kacang polong suam-suam kuku, diminum sendirian. Puisi-puisinya mengenai pamannya yang tua. Dia ceritakan pamannya sedang bermalas-malas di kebun, duduk setengah berbaring seraya mengenang soal remeh yang hampir tercampak dari ingatan. Tomas Salamun, penyair dari blok Timur, negara sosialis itu, tindak-tanduknya halus, bicaranya pelahan, namanya pun seperti nama orang Jawa. Pada suatu malam tahun berikutnya saya baca sajak di North Dubuque Street. Seperti biasanya sehabis itu terjadi diskusi antara pengarang peserta program. Gaya, tema, estetika, kritik sastra, itu-itu jugalah yang diperdebatkan. Kemudian pembicaraan malam itu tiba pada beberapa puisi Tirani dan Benteng, syair-syair 1966 yang gemuruh itu. Tomas Salamun yang halus, pujangga Yugoslavia yang selalu bicara pelahan dan punya nama seperti nama orang Jawa itu bilang: -- Sajak-sajakmu itu, sajak-sajak taik. Tidak begitu percaya pada kerja selaput gendang telinga saya, saya pun bertanya: -- Tomas Salamun, apa gerangan katamu? Sehalus tadi juga, sedatar itu juga dia ulangi lagi: -- Taufiq Ismail, sajak-sajakmu itu, sajak-sajak taik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus