Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Legenda yang Patah di Tangan Mahathir

Sebuah isyarat pemindahan kekuasaan?kepada Deputi Perdana Menteri Abdullah Badawi?dilontarkan Mahathir Mohamad pekan silam, tapi tanpa sebuah kepastian waktu.

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sebuah legenda yang tak le kang oleh waktu di Kerajaan Malaysia. Seorang pemimpin akan memikul amanat rakyatnya ke mana pun ia pergi. Sebuah amanat yang menyebutkan, seberapa pun besar kesalahan rakyat, janganlah mereka dipermalukan di depan umum. Pemimpin yang melupakan ini akan kehilangan kesetiaan rakyat. Mahathir Mohamad telah melalaikan amanat di atas. Itulah pendapat Dr. Chandra Muzaffar, Deputi Presiden Partai Keadilan. Menurut Chandra, dari cara memperlakukan dan mempermaklumkan perseteruannya dengan Anwar Ibrahim ke seluruh dunia, Mahathir telah mempermalukan negerinya. Tapi, Chandra melupakan ini: Mahathir tidak hidup dalam legenda. Dan rakyat Malaysia tidak meninggalkannya. Banyak orang Malaysia bahkan tidak berhenti mencintainya. "Bagaimana kita bisa membenci seseorang yang telah membuat kita bangga sebagai orang Malaysia?" ujar Ram, 27 tahun, seorang anak muda kelas menengah, pemilik sebuah kedai swalayan di kawasan Petaling Jaya. Melihat wajah Malaysia hari ini, sulit mempercayai bahwa Mahathir pernah melanggar sebuah garis kehormatan?dalam legenda sekalipun. Bank Dunia mencatat, ekonomi Malaysia tumbuh pesat dalam satu dekade terakhir. Pendapatan nasional bruto hampir mencapai sembilan persen; inflasi bertahan di bawah empat persen; pengangguran melorot hingga dua setengah persen; tingkat melek huruf wanita melejit ke 83 persen; tingkat kemiskinan digencet hingga di bawah 10 persen. Dan, pendapatan per kapita mencapai sekitar US$ 4.650 (Rp 39.525.000 pada kurs Rp 8.500 per dolar). Dokter M?sebutan populernya?juga sosok yang intelektual. Ia menulis 12 buku dalam waktu 22 tahun, fasih berbahasa asing, dan tak pernah merasa kurang dari kaum kulit putih mana pun. Dia bukan hanya bangga sebagai orang Melayu, tapi berusaha berbuat sebanyak mungkin bagi kaum bumiputra, son of the soil. Kebijakan ekonominya, kendati diskriminatif, telah mengantar puak Melayu menjadi tuan di tanahnya sendiri. Sayang, ayah tujuh anak ini seperti menutup akhir kekuasaannya?yang entah kapan?dengan cara kontroversial. Tak mengherankan, legitimasi moralnya kian keras dipertanyakan di seluruh negeri. Dalam The Malay Dilemma, bukunya yang diterbitkan pada 1982?Mahathir antara lain mengatakan, orang Melayu cenderung melindungi rekan-rekan dan musuh-musuhnya dari rasa malu. Sebuah tesis yang agaknya tengah ia langgar dan menimbulkan amarah kaum kebanyakan. "Kerajaan telah tercemar di rantau. Yang awak lihat di Malaysia bukan lagi cermin keadaan," ujar Nasir Rahim, 57 tahun, seorang penjual cendera mata di Central Market, Kuala Lumpur. Pada tingkat intelektual, Chandra Muzaffar, Deputi Presiden Partai Keadilan, mengatakan, "Jika orang nomor dua di negeri ini diperlakukan begitu buruk oleh penguasa, tak ada yang bisa Anda lakukan kecuali terjun ke lapangan," ujarnya kepada TEMPO. Kehadiran Chandra di Partai Keadilan Nasional menjadi fenomena politik yang menarik karena ahli politik keturunan India memimpin sebuah partai yang didominasi kaum Melayu (Malay-based party)?sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ironisnya, sikap progresif kaum Melayu ini secara tak langsung merupakan hasil "didikan" Mahathir. Ia selalu mengimbau puak Melayu untuk lebih mengenal dirinya sendiri. "Chandra hanya satu representasi kaum intelektual, kelas menengah, dan sebagian kaum elite yang sudah berpikir secara Melayu baru," ujar Ainur Thahir, 52 tahun, Sekjen Partai Keadilan Nasional. Bagi Mahathir, musim "pancaroba" tampaknya belum lagi berakhir. Gejolak politik, krisis ekonomi, dan vakumnya posisi kader pemimpin membuat ia menetapkan regenerasi?sebuah tahap yang tak bisa ditolak waktu dan kekuasaan. Pekan lalu, ia meluncurkan nama Datuk Seri Abdullah bin Haji Ahmad Badawi?kini Deputi Perdana Menteri?sebagai kandidat pemimpin masa depan. Dengan beredarnya nama Badawi sebagai perdana menteri Malaysia masa depan, bukan berarti konstelasi kekuasaan serta-merta bergeser. Mahathir mengatakan, "Saya tak berniat jadi perdana menteri seumur hidup," tanpa merinci waktu yang pasti, seperti dikutip kantor berita Bernama. Maka, pertanyaan tentang siapa "putra mahkota" Mahathir masih akan terus menggantung di atas langit Malaysia. Kepada waktu? Atau kepada kesadaran rakyat Malaysia bahwa masih ada yang lebih tinggi daripada sekadar kemakmuran ekonomi: keadilan dan demokrasi? Hermien Y. Kleden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus