Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Momentum yang Hilang bagi Palestina

Yasser Arafat menunda pengumuman kemerdekaan Palestina, yang semula akan diproklamasikan pada 4 Mei. Ia berharap Ehud Barak menang pemilu Israel. Ada harapankah?

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selasa, 4 Mei 1999, seyogianya merupakan hari yang bersejarah bagi rakyat atau bangsa Palestina. Itulah tanggal yang semula ditentukan sebagai hari kemerdekaan Palestina. Tapi yang terjadi sebaliknya. Apa boleh buat, Sidang Majelis Pusat Palestina yang berlangsung sejak akhir April lalu memutuskan menunda pengumuman kemerdekaan. Keputusan itu tentu saja membuat rakyat Palestina kecewa. Surat kabar Palestina al-Quds menggambarkan kekecewaan ini lewat karikatur berupa sebuah kalender dengan kata-kata "Lupakan" yang tertulis di antara 3 Mei dan 5 Mei. Opini publik cenderung semakin tidak percaya kepada kesepakatan Oslo, yang semula diharapkan dapat mengubah nasib 2,6 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat. "Israel yang diuntungkan kesepakatan Oslo. Orang tak diizinkan bekerja atau terpaksa pergi ke negara Arab lainnya. Tanah kami hilang dan sekarang anak kami bekerja dengan upah sangat murah," ujar Taysir Saeed, penduduk Desa Kufr Deek, Tepi Barat. Kekecewaan itu pula yang mendorong ratusan penduduk Palestina?termasuk kelompok laki-laki dengan kafiyeh melilit muka?menembakkan senjata otomatis dan pistol ke udara. Mereka berpawai sepanjang Tepi Barat sembari meneriakkan, "Bernegara adalah hak kami." Sekelompok pengunjuk rasa di Hebron memenuhi jalan sembari membakar ban dan melempari pasukan Israel dengan batu. Tentara Israel membalasnya dengan tembakan peluru karet yang mencederai 17 penduduk Palestina. Aksi yang sama berlangsung di kampus Universitas Hebron. Di Yerusalem Timur, warga Palestina mengundang ratusan orang berkumpul di markas PLO. Tapi, tak jauh dari kelompok ini, kerumunan pendukung kelompok garis keras Israel berkumpul merayakan yang mereka sebut "Kematian Perjanjian Oslo", sebuah perjanjian yang mendasari pembentukan pemerintah otoritas Palestina. "Oslo sudah mati," ujar Avraham Chaimson, pemuda garis keras Israel. Ucapan pemuda ini merupakan gambaran ketakutan kelompok garis keras Israel?termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu?sejak perjanjian Oslo mulai berlaku pada Mei 1994. Bagi mereka, perjanjian Oslo merupakan mimpi buruk yang harus dilenyapkan dengan segala cara. Netanyahu tak peduli atas kecaman Amerika dan bahkan terus mengganggu kesabaran Yasser Arafat dengan terus meluaskan permukiman Yahudi. Ketika Yasser Arafat frustrasi dan mengancam akan mengumumkan kemerdekaan, sebaliknya Netanyahu balas mengancam akan menganeksasi wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Amerika dan Barat pun buru-buru membujuk Arafat agar menunda pengumuman setelah pemilu di Israel, yang akan berlangsung pada 17 Mei. Alasannya: agar tidak mempengaruhi hasil pemilu Israel. Tapi, ketika Arafat patuh, Netanyahu dengan pongah menyatakan inilah kemenangan negara dan pemerintah Israel. "Dia (Arafat) tahu, selama saya memerintah, tak akan pernah ada negara Palestina," ujar Netanyahu. Pemerintah otoritas Palestina memang menyatakan akan tetap mengumumkan kemerdekaan meski Netanyahu kembali memenangi pemilu. Tapi penundaan ini jelas merupakan langkah Arafat terjun ke gelanggang perjudian politik Israel, yang selalu berubah menangkap isu Palestina. Sikap pemerintah Israel terhadap Palestina sangat bergantung pada partai yang berkuasa. Kini Arafat berharap Ehud Barak, yang memimpin Partai Buruh, memenangi pemilu. Dengan demikian, ia berharap rumusan "tanah untuk perdamaian" dan terwujudnya negara Palestina merdeka bisa lebih mulus. Harapan Arafat tampaknya tak berlebihan. Sebuah survei terbaru menunjukkan Barak memperoleh 47 persen dan Netanyahu 38 persen, sementara 15 persen pemilih tak memutuskan apa-apa. Tapi untuk itu Barak memainkan isu kunci Palestina untuk meraih suara. Ia menuduh Netanyahu telah salah menangani negosiasi dengan Palestina, sehingga mendorong munculnya negara Palestina secara de facto, dan juga menipiskan hubungan erat Israel dengan Amerika. "Kita terisolasi dari dunia, sedangkan Arafat menjadi kekasih Gedung Putih dan pemimpin dunia bebas," ujar Barak ketika berkampanye di sebuah mal di Haifa, Kamis pekan lalu. Selain itu, ia akan tetap mempertahankan Yerusalem sepenuhnya di bawah kontrol Israel dan bersikeras agar seluruh permukiman Yahudi tetap utuh. Ini berarti tak ada perbedaan signifikan antara Barak dan Netanyahu dalam isu Palestina. Kemerdekaan Palestina pun kehilangan momentum. R. Fadjri (Associated Press, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus