Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ketika Anak-Anak Harus Memilih

Semakin banyak majalah anak-anak yang terbit. Majalah Orbit, Ina, dan Bianglala semakin meramaikan pertempuran media cetak anak-anak.

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tujuh puluh satu anak menganggap Presiden B.J. Habibie sebagai manusia Indonesia yang jenius. Alasannya, presiden ini menguasai teknologi, pintar, dan bisa membuat pesawat terbang. Ini hasil jajak pendapat jadi-jadian ala majalah Orbit, sebuah majalah anak-anak yang baru saja diluncurkan pekan silam. Majalah setebal 44 halaman yang dikemas dengan desain yang agak kusam itu diluncurkan dengan acara yang meriah. Tak kurang dari Presiden B.J. Habibie, Ny. Hasrie Ainun Habibie, beserta cucu-cucunya, dan sebagian menteri ikut hadir dalam peluncuran majalah tersebut.

Dilihat dari susunan redaksinya, seperti Pemimpin Redaksi Parni Hadi dan Haidar Bagir sebagai asisten pemimpin redaksi, terlihat jelas Orbit adalah "anak kandung" harian Republika. Bahkan, menurut Haidar Bagir, Orbit adalah perkembangan rubrik Korcil, yang setiap minggu diterbitkan Republika. Tapi, mentang-mentang Orbit adalah "anak kandung" harian Republika dan diasuh oleh orang-orang yang secara politis dan historis bertautan dengan perjalanan politik Habibie, apakah perlu sampai memenuhi halaman demi halaman majalah itu dengan puja-puji terhadap Habibie? Jajak pendapat jadi-jadian yang dilakukan dengan menelepon 100 anak untuk menanyakan siapa manusia jenius di Indonesia itu?kemudiandijawab 71 anak adalah Pak Habibie?apakah bisa dipertanggungjawabkan sebagai sebuah survei serius? Lihat saja judulnya: "Survei Membuktikan Presiden Kita Jenius!" Come on....

Dengan dana Rp 600 juta dan harapan untuk mencapai titik impas dalam waktu dua tahun, tampaknya Orbit akan tertatih-tatih bersaing dengan para pendahulunya yang jauh lebih menarik, kecuali dengan memaksa orang tua Indonesia membeli majalah ini. Dengan tema yang agak membosankan (mengabdikan banyak halaman untuk membicarakan persoalan jenius atau betapa jeniusnya presiden kita), Orbit tampaknya harus berbenah diri jika ingin bersaing dengan majalah Ina atau Bobo.

Tiga bulan silam, Arswendo Atmowiloto, yang sudah "bercerai" dengan kelompok Subentra, menerbitkan majalah mingguan anak-anak Ina dan tabloid anak Bianglala (sekaligus dengan tabloid televisi Pro TV). Di bawah naungan PT Atmo Bismo Sangotrah, perusahaan yang direktur utamanya Arswendo, majalah Ina dijual seharga Rp 4.000. Ini harga yang cukup mahal bahkan untuk masyarakat kota yang tengah dilanda krisis moneter. Dengan 52 halaman kertas luks dan desain yang rapi, Ina memang tampil lebih terencana dan memiliki konsep yang jelas.

Menurut Arswendo Atmowiloto, yang menciptakan konsep majalah ini, Ina ditujukan untuk anak-anak balita hingga kelas 4 SD. Dengan modal Rp 3 miliar yang disediakan tiga media yang diluncurkan sekaligus dan para pengasuh yang terdiri atas Atmowiloto bersaudara (kakak adik Arswendo), secara sekilas majalah Ina agak mirip majalah Bobo. Majalah Bobo, misalnya, mempunyai maskot Bobo, sang kelinci, yang menampilkan kisah keluarga Bobo dalam bentuk komik setrip sepanjang dua halaman lengkap dengan anggota keluarga yang memiliki kebiasaan unik (Bibi Tutup Pintu, si Kutu Buku), sedangkan Ina muncul dalam bentuk kisah kucing. Keluarga kucing yang terdiri atas sepasang orang tua dan sepasang anak itu (Ina adalah kucing tertua) muncul sebagai keluarga modern dan happy family?demikian istilah Arswendo dengan nilai-nilai yang lurus, moralistis, dan menggurui.

Seperti Bobo, majalah Ina memiliki beberapa komik setrip lainnya, misalnya Nena dan Gadis Berkepang Dua, yang ilustrasinya tidak secemerlang Ina. Karena Ina memiliki semboyan "lebih Indonesia", majalah ini seperti merasa wajib menampilkan dongeng Indonesia dengan lokasi dan gambar yang berbau kedaerahan. Tentu saja ada cerita-cerita pendek, meski mutunya masih kalah jauh dibandingkan dengan cerpen yang dulu menjadi primadona majalah Si Kuncung dan Kawanku, saat nama-nama Mohammad Sobary, Soekanto S.A .,dan Toha Mohtar menjadi kosakata sastra anak-anak. "Kami mencoba membina pengarang baru. Sebab, para penulis senior itu tampaknya tak sempat (menulis) lagi," tutur Arswendo. Apalagi cerita detektif Jili yang dimuat secara bersambung tentu saja masih sangat tidak atraktif dibandingkan dengan, katakanlah, serial Imung karya Arswendo Atmowiloto yang pernah menjadi maskot majalah Hai.

Tapi kelebihan Ina dibandingkan dengan majalah Orbit yang sibuk mendefinisikan kata "jenius" itu adalah dalam mengembangkan tradisi diskusi dan debat melalui rubrik Diskusi. Di halaman 38, Ina menampilkan sebuah ilustrasi tentang suasana permainan dingdong. Majalah itu lalu melemparkan empat pertanyaan kepada pembaca (anak-anak, tentunya) tentang baik buruknya permainan dingdong dan apakah mereka setuju jika tempat bermain dingdong itu disebut tempat rekreasi. Kelebihan lain dari majalah ini, 52 halamannya tidak dieksploitasi dengan memunculkan penyanyi cilik yang lima tahun terakhir kehadirannya di jagat ini lebih banyak menjengkelkan daripada memperkaya wawasan anak-anak.

Dengan mencetak sekitar 70 ribu eksemplar setiap edisi, Arswendo ingin mengandalkan bisnisnya dari sirkulasi dan kemudian akan menggenjot pemasukan dari iklan. Alasannya, "Iklan untuk majalah anak-anak harus lebih selektif." Tentu saja bukan karena Arswendo supermoralistis hingga ia bersedia menyeleksi iklan bagi majalah anak-anak?malah dia sendiri mengaku akan menerbitkan majalah anak-anak lain yang lebih nyeleneh daripada Ina?tapi kue iklan untuk majalah anak-anak memang terbatas. Untuk bersaing dengan media anak-anak pendahulunya seperti Bobo, Fantasi, Hopla, dan Aku Anak Saleh, majalah Ina dan Orbit memang harus bersaing ketat.

Menurut survei AC Nielsen, pada Januari sampai Oktober tahun silam, perolehan iklan majalah Bobo sekitar Rp 1,5 miliar, sementara majalah anak-anak lain belum bisa dimonitor karena iklannya sangat sedikit.

Tapi menerbitkan majalah anak-anak seyogianya memang bukan soal bisnis belaka. Di balik keinginan menjual, tentu ada tanggung jawab moral soal pendidikan. Itulah sebabnya majalah Aku Anak Saleh, yang didirikan sejak 1991 itu, tetap mempunyai pasar sendiri, bukan hanya di taman kanak-kanak Islam di Indonesia. Aku Anak Saleh bahkan melanglang buana hingga ke Malaysia dan Singapura.

Harus diakui, maraknya kemunculan media anak-anak masa kini tetap belum menandingi "masa jaya" majalah anak-anak pada 1970-an, ketika Si Kuncung, Kawanku, dan Hai berhasil menampilkan cerita-cerita sastra anak-anak. Namun, ramainya media anak-anak, baik dalam bentuk majalah, tabloid, maupun koran, memang akan memberikan pilihan yang jauh lebih banyak bagi orang tua (dan anak). Yang jelek, terlalu menggurui, atau membosankan (baik dalam penampilan maupun isi) akan tersingkir dengan sendirinya karena anak-anak memiliki kemampuan kritik yang luar biasa.

Leila S.Chudori, Darmawan Sepriyossa, Ahmad Fuadi, dan N.R. Bintari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus