REPUBLIK Rakyat Cina (RRC) baru saja merayakan hari ulang tahunnya ke-38, 1 Oktober lalu. Di Lhasa, ibu Kota Tibet, yang merupakan salah satu daerah istimewa, hari besar itu dirayakan dengan tumpahan darah. Kantor berita RRC Xinhua yang dimonitor dlong Kong menyatakan, sedikitnya 6 orang Tibet tewas dan 19 polisi luka parah. Korban berjatuhan akibat kerusuhan yang meletus, ketika sekitar 2.000 demonstran di bawah pimpinan pemuka agama mengadakan aksi unjuk rasa. Mereka protes terhadap hukuman mati atas dua pembangkang yang disebut "kriminal" oleh Beijing. Sukar sekali mengecek kebenaran berita itu, lantaran hubungan antara Lhasa dan dunia luar praktis terputus. Pemerintah Cina sementara itu berusaha keras agar kejadian itu tidak bocor ke luar. Namun, kalangan diplomat asing di Cina dan para turis yang baru kembali dari negeri para lama itu malahan melaporkan kejadian yang lebih seru dari demonstrasi biasa. Kata mereka, korban berjatuhan gara-gara serentetan bentrokan antara rakyat dan polisi. Demonstran dilaporkan mempersenjatai diri dengan batu, pentungan, bahkan senjata api. Mereka menyerang pos-pos polisi sambil mengibarkan bendera bergambar gunung salju dan singa, yang merupakan simbol agama dan nasionalisme Tibet. Ada 21 pendeta dan lima orang pengikutnya yang berdemonstrasi dengan berani. Akhirnya kerumunan makin membengkak dan berkembang menjadi tindak kekerasan. Beberapa kendaraan dan markas polisi hancur dibakar massa yang marah. Merasa terdesak, polisi menembak demonstran secara membabi buta. Selama hampir tiga dasawarsa Tibet dikuasai RRC, 1959, baru kali ini terjadi bentrokan berdarah. Perlawanan orang Tibet terhadap aneksasi RRC bukan tidak ada, tapi cepat dipatahkan. Pendudukan itu sempat menegangkan hubungan Cina- India. Dalai Lama, pemimpin agama Tibet, dengan ribuan pengikutnya terpaksa mengungsi ke India. Kepergiannya tidak memadamkan nasionalisme Tibet. Para pejuang Tibet yang berada di dalam dan di luar negeri, dengan kekerasan senjata, diplomasi, dan propaganda, selalu berusaha menghalau komunis Cina -- walaupun sejauh ini belum berhasil. Pecahnya keributan baru di salah satu negeri atap dunia itu rupanya banyak bertaut dengan keadaan akhir-akhlr ini. Dalai Lama, yang juga merupakan pemimpin spiritual dan politik, belum lama ini berkunjung ke Amerika selama 10 hari. Di negeri Paman Sam, Dalai Lama sekali lagi menyerukan kepada dunia agar mendukung perjuangan rakyat Tibet dalam usaha mengenyahkan "kolonialisme Cina." Tiga hari kemudian, dua orang tahanan politik dieksekusi, Tibet gempar, lalu pendeta turun ke jalan. Tiga orang anggota Kongres Amerika menuduh bahwa hukuman mati itu tak lebih dari balas dendam atas kunjungan Dalai Lama. Anggota Kongres Tom Lantos mengatakan, "Pelaksanaan eksekusi merupakan tamparan terhadap Kongres dan pemerintah Amerika, dan kesucian Dalai Lama sebagai pemimpin agama." Ia berharap agar AS mengajukan protes keras atas pelanggaran hak-hak asasi manusia itu. Di Beijing, Menteri Kehakiman Zao Yu mengomentari pernyataan ketiga tokoh Kongres itu sebagai "tuduhan tak berdasar". Ia menilai, hal itu tak lain dari persekongkolan antara Kongres AS dan Dalai Lama. Ia pun sekali lagi menegaskan, kedua orang yang dieksekusi itu adalah "kriminal", bukan tahanan politik. Akhir-akhir ini Dalai Lama dan para pengikutnya makin giat berkampanye untuk kemerdekaan Tibet. Cina terang-terangan menuduh kampanye itu sebagai kegiatan pemberontak yang didukung subversi asing. Itu tentu saja pernyataan yang secara tak langsung menuduh India. Pada masa Revolusi Kebudayaan, ribuan Pengawal Merah yang didatangkan dari Cina menyerang semua tempat beribadat. Kecurigaan dan kebencian rakyat Tibet, yang umumnya taat beragama, makin tebal saja. Sekarang, walaupun pemerintah Cina bersikap toleran, kebencian itu tidak hilang. "Kami menginginkan agar semua tentara, polisi, dan birokrat yang dikirim dari sana angkat kaki semua," kata seorang pemuka agama. Dahana, laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini