Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Libya tanpa Sang Kolonel

Para pemuda menyambut gembira jatuhnya Qadhafi. Wartawan Tempo Faisal Assegaf melaporkan euforia kemenangan kelompok anti-Qadhafi dari Benghazi, Libya.

5 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jarum jam menunjuk angka enam saat Tempo tiba di pos perbatasan Salum, antara Mesir dan Libya. Hari masih gelap dan suasana lengang. Hanya ada dua mobil di pos wilayah Mesir. Anjing menyalak di kejauhan. Kumandang azan subuh terdengar dari pengeras suara.

Setelah mengisi formulir keberangkatan bagi warga negara non-Mesir dan menyerahkan paspor, Tempo dan Neil al-Bassi, pemuda asal Benghazi yang memakai paspor Amerika Serikat, dipanggil oleh komandan pos perbatasan. Sang komandan ingin memastikan apakah Tempo benar-benar wartawan.

Selepas itu, Tempo bersama enam warga Benghazi, termasuk sopir, harus menunggu di gedung pelayanan yang belum dibuka. Pos perbatasan itu kusam dan lantainya kotor. Sampah berserakan di mana-mana meski tempat pembuangannya tersedia di dalam dan di luar gedung.

Tiga orang pelintas tampak tertidur di bangku panjang karena datang kepagian. Setelah kami menunggu hingga pukul delapan, seorang warga Benghazi yang tidak sabar menanti meminta semua paspor kami. Ia yakin cap yang diperlukan bakal ditera bila kami menyuap petugas perbatasan.

Dia benar. Hanya sepuluh menit berselang, enam paspor kami sudah mendapat stempel keluar dari pihak imigrasi Mesir. "Fii fulus, kholas(ada uang, semua masalah selesai)," kata Neil al-Bassi seraya tersenyum. Sudah menjadi aturan tidak tertulis di Negeri Firaun, semua urusan bisa selesai dengan uang.

Di pos wilayah Libya, euforia kemenangan revolusi meruap di mana-mana. Bendera tiga warna (merah, hitam, dan hijau, dengan bulan sabit dan bintang di bagian tengah) berkibar dan dilukis di tiap dinding. "Libya hurra (Libya merdeka)," teriak seorang pemuda penjaga perbatasan sambil mengacungkan jari membentuk huruf V melambangkan kemenangan.

Seorang petugas menanyakan surat penerimaan dari tokoh Dewan Transisi Nasional sebagai tanda persetujuan bagi Tempo untuk meliput di negara itu. Maklum saja, Kedutaan Besar Libya di Jakarta tidak melayani permohonan visa karena situasi negara mereka. Setelah melalui interogasi, akhirnya cap itu diterakan.

Selanjutnya adalah perjalanan panjang dan melelahkan selama kurang-lebih enam jam menuju Benghazi. Di awal memasuki wilayah Libya, lukisan bendera tiga warna berdampingan dengan gambar tokoh pejuang Umar al-Mukhtar tampak di mana-mana. Gambar itu mendominasi dinding rumah, bangunan kosong, bedeng pos pemeriksaan, restoran, dan pompa bensin.

Setelah itu, hanya gambar bendera tiga warna yang tampak. Perjalanan menyusuri rute sepanjang 483,7 kilometer itu terasa membosankan. Di kanan-kiri hanya ada gurun pasir. Kadang ada sekumpulan unta dan sapi yang mencari makan. Hawa di luar amat panas dan angin bertiup kencang.

Kamal Ahmad, sopir kami, punya resep jitu untuk menghindari kecurigaan para pemberontak yang menjaga lebih dari 20 pos pemeriksaan: ucapkan salam atau memberi tahu mereka bahwa kami orang Libya. Di tengah perjalanan, sebuah sedan berisi tentara pemberontak mengacungkan tanda V kepada kami.

Muhammad, pemuda Benghazi, bercerita bahwa kehidupan secara umum di wilayah yang sudah dikuasai pemberontak berangsur normal. "Kami mulai berbenah sekarang," kata lelaki yang baru pulang ke kampung halamannya setelah menyelesaikan program master di Universitas Perugia, Italia, itu.

Sesampai kami di Benghazi, aura kemenangan juga terhirup di seantero kota. Bendera tiga warna berkibar di persimpangan, toko, rumah, bahkan di meja resepsionis hotel. Namun suasana kota masih sepi karena warga Benghazi masih libur Idul Fitri.

l l l 

Pria itu terlihat santai dengan setelan kaus polo hijau, celana jins biru, dan sandal. Dia asyik menikmati lagu dari iPad di ruang tunggu keberangkatan di Bandar Udara Istanbul, Turki, Rabu pekan lalu.

Temannya tidak kalah modis. Berkacamata hitam, sambil mendengarkan musik, ia duduk santai. Di sebelahnya tampak kantong belanja, antara lain dari butik Gucci, dan sebuah koper besar. Pria pertama bernama Ali Tarbah dan seorang lagi Bashir. Keduanya sama-sama berusia 27 tahun dan warga Benghazi, kota nomor dua terbesar di Libya—setelah Ibu Kota Tripoli.

Kedua pria itu berasal dari keluarga berada. Ali anak pemilik Hotel ­Daujal. Sedangkan Bashir memiliki usaha jual-beli mobil. Ali dan Bashir mengaku kerap ke Istanbul untuk urusan bisnis atau sekadar melemaskan otot dan pikiran.

"Sekarang sudah aman di Benghazi. Kami bisa berfokus lagi pada urusan pribadi kami," kata Ali kepada Tempo sambil berdiri antre masuk pesawat yang akan membawa kami ke Kairo, Mesir.

Ali ikut angkat senjata bersama warga Benghazi lainnya. Hotel yang ia kelola bahkan ditutup selama sebulan. Ia mengaku bertempur menggunakan senapan serbu AK-47 buatan Uni Soviet. "Qadhafi (pemimpin Libya, Kolonel Muammar Qadhafi) sangat gila," ujarnya memberikan alasan kenapa ia mau ikut berjuang.

Amat memalukan bagi Ali jika ia tidak ikut berjuang. Lapangan Syuhada, tempat warga Benghazi berkumpul merayakan kejatuhan Tripoli, hanya berjarak sepuluh menit jalan kaki dari hotelnya. Revolusi Libya, yang merupakan imbas dari gerakan serupa di Tunisia dan Mesir, memang bermula di kota yang pernah menjadi ibu kota kembar saat pemerintahan Raja Idris itu.

Neil al-Bassi, yang menjadi kawan seperjalanan Tempo menuju Benghazi, Kamis pekan lalu, juga mendukung perjuangan menentang rezim Qadhafi. Menurut sarjana geologi ini, Qadhafi yang sudah berkuasa selama 42 tahun itu berlaku kejam dan menindas rakyat Libya. "Ia bermimpi menyejahterakan rakyatnya, tapi semua ucapannya palsu," ujar pemuda yang kini bekerja di sebuah perusahaan minyak Aljazair ini.

Hanya Neil yang tidak ikut bertempur, karena berada di Aljazair. Ia berharap era keterbukaan bakal muncul di Libya setelah jatuhnya rezim Qadhafi. Menurut dia, di antara negara-negara Arab Magribi, Libya paling konservatif dan tertutup. "Rakyat Libya haus akan demokrasi," katanya.

Qadhafi kini diperkirakan berada di Ghadamis, perbatasan dekat Aljazair. Beberapa anggota keluarganya telah melintas ke Aljazair, tapi dia tertahan karena tak mendapat izin masuk. Dewan Transisi Nasional, yang telah mendapat pengakuan dari banyak negara di dunia, memberi tenggat tambahan seminggu lagi bagi sang Kolonel dan orang-orang dekatnya untuk menyerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus