Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekebalan Hukum Dicabut, PINOCHET Mungkin Diadili
Hilang sudah segala kesaktian sang diktator. Pekan silam, Pengadilan Tinggi Cile mencabut kekebalan hukum Jenderal Augusto Pinochet, mantan presiden yang selama 17 tahun memerintah negara di Amerika Selatan itu dengan tangan besi.
Pinochet, 84 tahun, kembali ke Santiago, Maret lalu, setelah pemerintah Inggristempat ia menjadi tahanan rumah selama 17 bulanmemutuskan bahwa kondisi kesehatan fisik dan mentalnya tak memungkinkan dia diadili. Sementara itu, hukum Cile tidak membebaskan seseorang dari hukuman kecuali orang tersebut gila atau pikun, dan Pinochet yang menderita diabetes dan telah beberapa kali terserang stroke dianggap cukup mampu membela dirinya di depan hukum.
Menurut laporan resmi pemerintah, sebanyak 3.170 orang tewas pada masa pemerintahan Pinochet (1973-1990). Namun, karena Pinochet sempat memberikan amnesti bagi kasus-kasus kriminal yang terjadi selama rezim militernya berkuasa, ia tak bisa dituntut. Apa yang bakal menyeretnya ke depan hakim kali ini adalah kasus hilangnya ribuan orang yang sampai kini tak jelas nasibnya. Sampai mereka ditemukan hidup atau mati, pengadilan Cile menganggap kasus-kasus tersebut sebagai tindakan kriminal yang masih berlangsung (ongoing crimes). Saat ini, tim pembela Pinochet sudah mengajukan banding.
Pemimpin Garis Keras Mundur dari Parlemen
Mantan presiden Iran, Hashemi Rafsanjani, Kamis lalu mundur dari posisinya sebagai anggota parlemen. Menurut Rafsanjani, yang memerintah Iran untuk periode 1989-1997, keputusannya untuk mundur itu dipengaruhi oleh besarnya volume propaganda negatif terhadap dirinya. "Saya maju dalam pemilihan parlemen untuk membela kesatuan bangsa," demikian ia menulis dalam surat yang disiarkan radio tersebut, "Saya juga mundur untuk alasan yang sama. Memang, sehari sebelum pernyataan mundur Rafsanjani disiarkan radio pemerintah, pendukung kubu reformis yang dipimpin Presiden Mohammad Khatami meneriakkan slogan-slogan anti-dirinya dalam sebuah demonstrasi di Universitas Teheran.
Rafsanjani sebetulnya merupakan tokoh garis keras yang paling menonjol dalam parlemen yang baru mulai bekerja akhir pekan lalu itu. Kubu konservatif mengharapkan kehadirannya bisa mewakili suaranya karena untuk pertama kalinya sejak revolusi Iran tahun 1978, kubu reformis berhasil merebut mayoritas kursi dari 290 yang diperebutkan dalam pemilihan umum Februari lalu.
Penghitungan suara awal di wilayah pemilihan Teheran menempatkan Rafsanjani di urutan ke-30 atau terakhir, suatu hasil yang dilihatnya sebagai sebuah penghinaan. Sebanyak 29 kursi lainnya jatuh ke tangan kubu reformis. Meski demikian, Dewan Pengawas Pemilihan Umum, yang didominasi oleh kubu garis keras, menuding adanya kecurangan dan meminta penghitungan ulang. Awal Mei ini, hasil akhir untuk wilayah Teheran diumumkan dan hanya 26 kursi ditetapkan untuk kelompok reformis. Dua kursi diberikan kepada kelompok konservatif, termasuk Rafsanjani, dan dua kursi lain dianggap batal. Dari penghitungan akhir itu, Rafsanjani, yang masih menjadi penasihat aktif pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, naik ke urutan 20.
Pemimpin Pemberontak Bakal Diadili
Foday Sankoh akan diadili segera? Paling tidak, itulah janji Presiden Ahmed Tejan Kabbah. Sang Presiden mengumumkan rencana pemerintah untuk menuntut pemimpin kelompok pemberontak Front Persatuan Revolusioner (FPR) Sankohyang ditangkap awal bulan inike pengadilan. Pada 1998, Sankoh pernah tertangkap dan divonis mati, tetapi toh Juli lalu dibebaskan setelah pemerintah dan kelompok pemberontak menandatangani perjanjian damai untuk mengakhiri perang saudara Sierra Leone.
Menurut Kabbah, yang mengumumkan rencananya dalam siaran radio dan televisi setempat, Sankoh bakal diadili atas kejahatan yang dilakukan sejak perjanjian damai itu dibuat. Saat ini, pemerintah sedang menginvestigasi 21 kasus pembunuhan oleh kelompok FPR dalam sebuah demonstrasi di Ibu Kota Freetown, awal bulan ini. Kasus lain yang bisa memberatkan Sankoh adalah penyelundupan berlian.
Sementara itu, tentara gerilya FPR pekan lalu membebaskan lebih dari 180 pasukan penjaga perdamaian PBB yang mereka sandera sejak awal tahun ini. Artinya, dari total 500 sandera yang ditangkap, masih sekitar 100 orang yang belum dibebaskan.
Meski demikian, mereka masih menuntut pembebasan Sankoh dan rencana Kabbah dikhawatirkan memicu konflik yang lebih besar. Menurut PBB dan lembaga Human Rights Watch, FPR masih terus melakukan pembunuhan, penculikan, dan pemerkosaan di daerah yang mereka kuasai. Lebih dari 35 ribu warga sipil kini telah mengungsi ke Ibu Kota Freetown. Menurut juru bicara PBB di New York, Fred Eckhard, hampir 10 ribu orang lagi telah mengamankan diri di sebuah pulau di sebelah utara Freetown.
WdR (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo