Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Luka Baru di Atas Konflik Lama

"Kejayaan kesultanan" dan teralienasinya umat Islam di Thailand selatan menorehkan luka baru di atas luka lama. Sulit terdamaikan.

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELEPAS 20 menit berdoa bersama, Letnan Jenderal Pisan Wattana wongkeeree merangkul para ulama yang berkumpul di markas komando Provinsi Pattani, Thailand selatan. Di ruang sebelahnya, sekelompok rahib khusyuk berdoa. "Kami berkumpul untuk merangkul siapa saja, baik orang Islam maupun Buddha," kata Pisan, Komandan Militer Wilayah Selatan dan penganut Buddha yang taat. Jenderal Pisan sengaja mengumpulkan mereka untuk membenahi dampak kerusuhan dan pembantaian massal seminggu sebelumnya. "Mimpi buruk telah berlalu. Saya ingin tiga provinsi bisa segera hidup harmonis," ujarnya dalam pertemuan yang berlangsung khusyuk itu. Dalam kerusuhan dan pembantaian massal dua pekan silam, sekitar 113 muslim dari tiga provinsi di kawasan selatan Thailand—Yala, Songkhla, dan Pattani—tewas dilumat senjata otomatis pasukan kiriman Bangkok. Taktik "merangkul setelah memukul" tadi tak serta-merta akan menyembuhkan luka baru di atas luka lama itu. Apalagi, sejak awal, Perdana Menteri Thaksin Shinawatra telah menuding mereka sebagai gangster penyelundup dan pedagang narkotik yang memberontak. Tambahan lagi, sejumlah spekulasi mengisyaratkan bahwa pembantaian massal itu dilakukan karena menguatnya gerakan kelompok separatis di tiga provinsi selatan. Belakangan, Thaksin terang-terangan menisbatkan julukan provokator pada kelompok muslim radikal tersebut. Thaksin punya alasan. Pengerahan serdadu tempur, kata dia, sangat terkait dengan sejarah panjang perseteruan di kawasan selatan. "Tentara hanya merespons muslim pengacau yang menyerang pos polisi," ujarnya. Ia juga mengutip data korban dari pihak pemerintah akibat ulah mereka: 97 polisi, anggota militer, dan rahib tewas. Ini belum termasuk 90 orang yang cedera dalam pembakaran gedung-gedung pemerintah. Tapi Brian Dougherty, analis biro konsultan Hill and Associates, mencibir alasan buatan Bangkok. "Kalau toh mereka pedagang narkotik, gangster, atau apa pun kelompoknya, kenapa diserang dengan kekuatan tempur penuh?" ujarnya. Pertempuran berat sebelah itu telah menimbulkan korban tak sedikit, 100 orang lebih. "Ini memberikan andil besar atas meningkatnya perlawanan komunitas muslim di selatan," kata Brian. Akar masalahnya adalah masih adanya perasaan teralienasi di kalangan muslim di Thailand selatan. Perasaan ini pula yang memicu peristiwa serupa—pembantaian massal dengan kekuatan tak seimbang—pada 1980-an. Kejadian kedua dalam dasawarsa terakhir, dua pekan lalu, tampaknya berdampak lebih parah. "Jumlah korban kerusuhan lalu hampir sama dengan jumlah anggota kelompok separatis yang mati tiap tahunnya," kata Sajjan Gohel, analis militer dari Asia Pacific Foundation. Sajjan melihat, sejumlah kelompok militan Islam terlibat dalam kerusuhan itu. Di antaranya The Pattani United Liberation Organisation, Barisan Revolusi Nasional, dan Gerakan Mujahidin Islam Pattani. Selama ini, mereka getol menyuarakan kejayaan negeri Islam, mengacu pada zaman Kesultanan Pattani di masa silam. Ratusan tahun lalu, bekas wilayah "kesultanan Islam" itu melebur diri ke dalam Negara Thailand. Setelah kejadian itu, Thaksin bergegas menyiapkan manuver demi mendinginkan suasana. Tim investigasi independen, yang diketuai mantan hakim Suchinda Yongsoonthorn, segera menyelidiki penembakan 30 muslim yang dikatakan sedang beristirahat di sebuah masjid tertua di Pattani. Investigator juga diminta mengecek DNA para korban, untuk memastikan apakah mereka orang asing. Namun, senyampang tim ini bekerja, Bangkok juga memerintahkan penangkapan guru-guru agama dan para kiai Islam yang dilabeli "provokator". Alih-alih tim investigasi akan menjadi "si tawar si dingin" bagi derita traumatis kaum muslim Thai, penangkapan para intelektual Islam itu mungkin saja akan lebih mengacaukan masalah. Apalagi pemakaian kekuatan tempur penuh ketika Bangkok meredam kerusuhan di Thailand selatan itu masih dipertanyakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tokoh ulama setempat. Sebelum hal ini dijernihkan, upaya "rujuk nasional" oleh Thaksin dan Pisan tampaknya akan mubazir. Panitan Wattanayagorn, profesor ilmu politik Universitas Chulalongkorn, Bangkok, malah tak yakin penangkapan itu bakal menyurutkan semangat juang kaum muslim di tiga provinsi selatan. Selama ini, katanya, "Mereka memang radikal." Rommy Fibri (Al-Jazeera, BBC, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus