Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kunjungan Wakil Pertama Menteri Luar Negeri Korea Selatan Lim Sung-nam ke sebuah rumah perawatan bagi warga lanjut usia di Seoul pada Selasa pekan lalu berakhir rusuh. Diplomat senior itu harus menghadapi kemarahan dari para perempuan berusia sepuh yang ia temui. Mereka murka karena Lim sama sekali tak mengabarkan ihwal kesepakatan tentang perempuan budak seks saat Perang Dunia II antara Seoul dan Tokyo.
"(Perdana Menteri Jepang) Shinzo Abe seharusnya mengakui bahwa negaranya telah melakukan kesalahan berat dan memohon maaf di hadapan para wartawan," kata Kim Bok-dong kepada Associated Press. Perempuan yang telah berusia 88 tahun itu adalah satu dari segelintir perempuan korban budak seks Jepang saat perang, yang juga sering disebut jugun ianfu. Para korban yang masih hidup dan sejumlah rakyat Negeri Ginseng itu sangat terkejut dan kecewa oleh kesepakatan yang berlangsung sehari sebelumnya.
Bukan hanya mereka yang murka. Ribuan kilometer dari Seoul, sekitar 180 anggota kelompok sayap kanan Jepang, Ganbare Nippon, berunjuk rasa menentang kesepakatan ini. "Kalian menjual negara ini," ucap salah satu demonstran yang berunjuk rasa di Tokyo itu. "Perekrutan perempuan sebagai budak seks oleh militer Jepang hanyalah khayalan Korea."
Kesepakatan yang diumumkan pada Senin pekan lalu memang mengejutkan banyak pihak. Jepang dan Korea Selatan akhirnya mencapai kesepakatan bersejarah untuk menyelesaikan masalah jugun ianfu yang dipaksa bekerja di rumah bordil atau kamp pemerkosaan Jepang selama Perang Dunia II.
Selama ini isu budak seks telah menjadi penghambat proses perbaikan hubungan kedua negara. Namun kedua negara mulai membahas secara serius isu ini sejak pertemuan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye di Seoul pada 1 November lalu. Ini pertama kali kedua pemimpin negara bertemu setelah hubungan mereka memburuk selama tiga tahun terakhir.
Dalam skema yang disepakati ini, pemerintah Jepang menawarkan permintaan maaf dan siap membayar 1 miliar yen atau sekitar Rp 114,6 miliar. Duit ini berasal dari anggaran negara, sebagai bentuk pengakuan Jepang atas kejahatan kemanusiaan terhadap korban perbudakan seks tentara Jepang di Korea Selatan.
Dari ribuan jugun ianfu Korea Selatan, diperkirakan ada 46 perempuan yang masih hidup sampai sekarang. Namun Jepang menegaskan bahwa kompensasi tersebut bukanlah pembayaran resmi karena mereka berkukuh seluruh tanggung jawab telah diselesaikan Tokyo dalam kesepakatan pada 1965.
"Pemerintah Jepang mengakui tanggung jawab karena telah merekrut wanita penghibur bagi militer dan ini sangat melukai kehormatan martabat banyak wanita," ujar Fumio Kishida, Menteri Luar Negeri Jepang, dalam konferensi pers bersama dengan koleganya dari Korea Selatan, Yun Byung-se, di Seoul.
Sebagai gantinya, Seoul akan menganggap masalah jugun ianfu telah selesai, jika Tokyo tetap bertahan pada kesepakatan ini. "Kedua pemerintah juga akan menahan diri untuk saling menyalahkan dalam pertemuan internasional, termasuk di Perserikatan Bangsa-Bangsa," kata Yun dalam jumpa pers itu.
Kesepakatan ini memang mengejutkan, terutama karena terjadi di bawah pemerintahan Abe, yang dikenal sangat nasionalis. Apalagi, dalam pernyataannya, Kishida memasukkan permintaan maaf Abe sebagai Perdana Menteri Jepang. Ini merupakan pernyataan resmi pertama kepala negara Jepang karena dalam permintaan maaf pada 1993 dan 1995 para perdana menteri, seperti Kiichi Miyazawa, meminta maaf sebagai pribadi, dan bukan perwakilan pemerintah.
Hingga beberapa waktu lalu, Abe sangat keras mengkritik pemerintah Jepang sebelumnya yang mengakui peran militer Negara Sakura dalam perbudakan seks perempuan sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Bahkan, pada 2007, Abe berkata, "Tak ada bukti bahwa para perempuan itu dipaksa."
Pernyataan ini menegaskan keyakinan kelompok nasionalis Jepang yang menyebutkan lebih dari 200 ribu jugun ianfu di wilayah pendudukan, seperti Korea Selatan, Cina, Taiwan, dan Indonesia, adalah perempuan yang dijual oleh keluarganya atau mereka yang memilih menjadi pekerja seks.
Peneliti senior dari Yayasan Tokyo, Tsuneo Watanabe, menduga Abe memilih pendekatan pragmatis ini dengan mempertimbangkan hubungan ekonomi dan keamanan. "Hubungan stabil Jepang-Korea Selatan penting untuk kebijakan luar negeri yang menjadi prioritas Abe. Dia ingin memelihara aliansi untuk melawan pertumbuhan kekuatan Cina," tutur Watanabe kepada The New York Times.
Kesepakatan ini juga mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat, sebagai sekutu kedua negara di Asia Timur. Washington memang sangat berharap kedua sekutunya itu rukun agar dapat menghadapi ancaman Cina yang semakin agresif dan Korea Utara yang semakin tak terkendali. "Ini merupakan tanda penyembuhan dan rekonsiliasi yang sangat penting," ujar Susan Rice, penasihat keamanan nasional Amerika Serikat, seperti dikutip VOA.
Awalnya seluruh perjuangan korban budak seks di Korea ini terjadi pada Desember 1991. Ketika itu seorang korban, Kim Hak-soon, secara terbuka mengungkapkan peristiwa pahit yang dialaminya. Suatu beban yang disimpannya begitu lama karena dianggap tabu untuk dibuka kepada umum. Keberanian Kim Hak-soon kemudian menggerakkan para korban lain berbicara.
"Kami harus merekam semua ini, apa yang terpaksa menimpa diri kita," begitu pesan Kim Hak-soon, yang menginspirasi berdirinya museum untuk menghormati jugun ianfu di Korea Selatan. Los Angeles Times melaporkan kelompok ini kemudian mengajukan gugatan hukum ke pengadilan Tokyo, agar pemerintah Jepang meminta maaf secara formal dan memberi kompensasi kepada para korban.
Sejumlah dokumen historis yang ditemukan dan diungkap pada 1990-an menunjukkan bahwa otoritas militer Jepang saat itu memang bekerja sama dengan orang-orang yang memaksa perempuan bekerja di rumah bordil atau kamp pemerkosaan. Nobutaka Shikanai, salah satu pegawai akuntan di militer Jepang selama masa perang, mengakui peran pemerintah dalam jaringan perdagangan budak seks.
"Saat merekrut para perempuan, kami harus memastikan daya tahan mereka, seberapa lama mereka bisa digunakan, dan apakah mereka bekerja dengan baik," ucap Shinkanai dalam buku memoarnya yang bertajuk The Secret History of the War.
Shinkanai, yang kemudian memimpin harian paling konservatif di Jepang, Sankei Shimbun, juga menyebutkan mereka menghitung dengan detail alokasi waktu bagi tiap jajaran militer saat menggunakan para budak seks. "Kami juga memiliki harga tetap (untuk menyewa budak seks) berdasarkan pangkat militer."
Pada 1994, Jepang memberikan sejumlah bantuan kompensasi kepada beberapa negara melalui lembaga Asian Women's Fund sebagai sinyal permohonan maaf terhadap para budak seks. Sebanyak 61 bekas budak seks asal Korea menerima dana ini, meski sebagian besar menolak karena dana yang digunakan bukan dari pemerintah, melainkan dari donor swasta.
Pemerintah Indonesia juga menerima bantuan ini pada 1997 melalui Departemen Sosial. Berbeda dengan Korea Selatan yang sangat mendukung perjuangan para jugun ianfu, di Indonesia para budak seks ini justru menanggung stigma buruk sebagai pelacur bagi Jepang. Mariana Amiruddin, Komisioner Komisi Nasional Perempuan periode 2015-2019, menyebutkan stigma ini belum dipulihkan pemerintah hingga sekarang.
"Bisa saja Indonesia menuntut hal yang sama seperti Korea Selatan sekarang. Tapi yang paling penting adalah bagaimana pemerintah Indonesia memastikan rakyat teredukasi dan paham bahwa para jugun ianfu adalah budak seks dan bukan pelacur," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Hiroka Shoji, peneliti Asia Timur untuk kelompok Amnesty International, menegaskan bahwa kesepakatan ini seharusnya bukan menjadi akhir pencarian keadilan bagi para bekas budak seks Jepang. "Para korban tidak berada di meja perundingan. Seharusnya mereka tidak dijual untuk kepentingan politik belaka," ucap pengajar Sejong University ini kepada VOA.
Kesepakatan tersebut, menurut S.Y. Friedman, penulis buku Silenced No More: Voices of Comfort Women, sangat merugikan Korea Selatan. "Kata-kata dalam kesepakatan tidak secara detail menyebutkan bahwa pemerintah Jepang secara sistematis mengorganisasi perbudakan seksual bagi militer," ujarnya kepada CNN.
Salah satu yang akan menjadi tentangan keras dari kelompok advokasi dan para korban adalah permintaan Jepang agar Korea Selatan menyingkirkan patung gadis perempuan sebagai representasi jugun ianfu di depan Kedutaan Jepang di Seoul. Hanya beberapa jam setelah kesepakatan itu diumumkan, sekelompok warga berunjuk rasa di dekat patung tersebut.
"Kami ingin melihat Abe berlutut di hadapan patung gadis ini dan meminta maaf. Seperti yang dilakukan Kanselir Jerman Barat Willy Brandt saat mengunjungi korban-korban Nazi di Polandia," tutur Kim Won-wung, bekas anggota parlemen Korea Selatan, kepada AP.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo