Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sebuah Dalih Bernama Teror

Cina belum pernah terlibat langsung dalam pertempuran melawan ISIS. Di Xinjiang, penindasan terhadap etnis minoritas Uighur berlanjut.

4 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ursula Gauthier tak menyangka tulisannya tentang Uighur membikin panas kuping Beijing. Wartawan asal Prancis ini baru mengetahuinya lebih dari sebulan setelah artikelnya dimuat di majalah L'Obs pada 18 November lalu. Sehari selepas Natal, Gauthier menerima kabar bahwa dia diusir dari Cina. Ia harus angkat kaki sebelum tahun berganti.

Gauthier masih mengingat isi artikelnya. Ia menulis bahwa suku Uighur tak sepantasnya diperlakukan sebagai teroris. Bagi Gauthier, serangkaian kekerasan oleh anggota kelompok minoritas muslim di Provinsi Xinjiang tersebut dipicu oleh kebijakan tangan besi pemerintah Cina. Bagi Beijing, kritik semacam ini tidak dapat ditoleransi.

"Saya dianggap bersimpati kepada terorisme. Sebagai wartawan, saya dianggap oleh pemerintah Cina telah melakukan sesuatu yang ilegal," kata Gauthier, seperti dikutip Voice of America. Wartawan senior yang menetap di Beijing sebagai koresponden L'Obs sejak 2009 ini dipaksa hengkang setelah visanya berakhir pada 31 Desember.

Gauthier tentu bukan wartawan pertama yang pernah menyoroti Uighur. Namun agaknya ia menulis pada saat yang kurang pas. Artikel Gauthier menggambarkan sikap abu-abu Beijing dalam isu terorisme. Ia mempertanyakan motif tersembunyi Cina yang mendukung Prancis seusai serangan teror Paris yang menewaskan sedikitnya 132 orang pada 13 November lalu. "Tapi mereka tanpa ampun menindas suku Uighur," tuturnya.

Akhir pekan lalu seakan-akan menjadi momen yang menandakan babak baru pertempuran Cina melawan terorisme. Sehari setelah Gauthier dideportasi, parlemen Cina mengesahkan undang-undang antiteror yang pertama bagi negara itu. Bagi pemerintah Cina, aturan ini menjadi pijakan kuat untuk menjalankan setiap aksi kontraterorisme.

Undang-undang antiteror Cina tersebut memang "sangat perkasa". Peraturan itu dapat memaksa setiap perusahaan teknologi asing menyerahkan informasi lalu lintas data mereka. Ketentuan yang berlaku mulai Januari 2016 itu juga membuka jalan bagi tentara dan polisi Cina untuk menggelar operasi kontraterorisme di mana saja.

Beijing menganggap undang-undang ini sangat penting untuk mencegah serangan teroris di dalam dan luar negeri. Namun pengesahan aturan itu menuai kritik dari kelompok pebisnis dan pegiat hak asasi manusia. Mereka khawatir pemerintah Cina justru akan semakin otoriter dan bertindak sewenang-wenang.

"Definisi terorisme dan ekstremisme dalam undang-undang ini sangat longgar. Setiap kritik terhadap kebijakan, hukum, dan peraturan dapat dianggap sebagai perilaku 'ekstremis'," kata Patrick Poon, peneliti dari Amnesty International yang berbasis di Hong Kong, seperti dikutip Washington Post.

Pemerintah Amerika Serikat menilai undang-undang antiteror Cina bisa mengancam kebebasan berpendapat, beragama, dan hak kekayaan intelektual. Namun para pejabat Cina menjamin aturan ini tidak akan mengganggu perlindungan hak-hak sipil dan kepentingan bisnis. "Kami tidak berencana melemahkan kebebasan berbicara di Internet dan memberangus keyakinan masyarakat," kata Li Shouwei, anggota parlemen.

Pengesahan aturan ini seakan-akan membuktikan kekhawatiran Gauthier. Sebab, Beijing selalu memperlakukan etnis Uighur sebagai kelompok milisi yang ingin merdeka dari Cina. Sikap tersebut, misalnya, tampak dalam sebuah operasi penyergapan pada 12 November lalu. Saat itu pasukan paramiliter Cina menewaskan 28 orang Uighur yang dituduh melakukan serangan "September berdarah" di kawasan tambang batu bara di Kota Aksu.

Operasi penyergapan itu berlangsung di sebuah daerah di Xinjiang, wilayah otonomi khusus di Cina barat. Provinsi terluas yang kaya batu bara, gas alam, dan mineral berharga ini adalah rumah bagi suku Uighur, kelompok etnis terbesar di kawasan itu. "Cina menyalahkan separatis Uighur atas serangan September. Mereka dianggap tak berbeda dibanding kelompok teroris ISIS (Negara Islam Iran dan Suriah) atau Al-Qaidah," demikian dituliskan CNN.

* * * *

Tidak ada makan siang gratis. Begitu pula kebijakan Cina dalam isu terorisme. Presiden Cina Xi Jinping mendukung penuh upaya Prancis untuk membasmi ISIS—kelompok yang dianggap dalang serangan teror Paris. Namun, pada saat bersamaan, Cina juga menyeru dunia untuk mendukung upaya mereka melawan teror di Xinjiang. "Cina juga menjadi korban terorisme," kata Menteri Luar Negeri Wang Yi, seperti dikutip Reuters.

Cina telah mengalami serangkaian serangan teror, antara lain insiden penikaman massal di stasiun kereta api Kunming dan Guangzhou, pengeboman dan penusukan di pasar dan stasiun kereta api Urumqi, serta serangan dengan menabrakkan mobil di Lapangan Tiananmen di Beijing. "Semua dituduhkan kepada Uighur," demikian diberitakan Time.

Konflik etnis-sektarian di Xinjiang sebenarnya telah berlangsung lama. Sejarahnya merentang bahkan sejak Cina masih berbentuk kekaisaran. Provinsi ini berbatasan dengan Mongolia, Rusia, Kazakstan, Kirgistan, Tajikistan, Afganistan, Pakistan, dan India. Etnis Uighur, yang sering berbicara dalam bahasa Turki, menganggap diri mereka lebih dekat dengan budaya Asia Tengah.

Etnis Uighur semakin tersudut setelah pemerintah komunis Cina menguasai Xinjiang. Ketegangan muncul antara suku Uighur dan Han—kelompok etnis dominan di Cina—yang berpindah ke provinsi itu dalam jumlah besar selama 60 tahun terakhir. Xinjiang sekarang dihuni oleh lebih dari 8 juta orang Han dan 10 juta orang Uighur. Padahal, pada 1949, "Jumlah orang Han di sana hanya 220 ribu jiwa," demikian dilaporkan CNN.

Maka tak terbayangkan bagaimana Beijing, berbekal undang-undang antiteror, bakal memperlakukan etnis Uighur di Xinjiang. Apalagi pemerintah Cina, yang diisi mayoritas etnis Han, pernah mengaitkan Uighur dengan ISIS. "Kami menangkap beberapa orang Uighur yang radikal setelah kembali dari Suriah. Mereka merencanakan serangan di Xinjiang," kata Sekretaris Partai Komunis Xinjiang, Zhang Chunxian.

Pernyataan Zhang mengacu pada data pemerintah yang menyebutkan sedikitnya 300 warga Cina pergi ke Suriah dan Irak untuk berjihad bersama ISIS. "Pemerintah khawatir para milisi itu pulang dan menimbulkan ancaman bagi keamanan nasional," demikian dituliskan Global Times, tabloid yang dikelola negara.

Kali ini strategi Beijing mengaitkan etnis Uighur dengan ISIS sinkron dengan kebiasaan kelompok teror paling brutal sejagat itu dalam merekrut milisi. Di Asia, ISIS banyak meraup simpatisan dari negara berpenduduk mayoritas muslim, seperti Indonesia dan Malaysia. Nah, ISIS rupanya juga melirik Xinjiang karena sebagian besar penduduknya beragama Islam.

Pada Juli 2014, pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, bahkan sempat menyinggung soal penindasan Cina terhadap etnis Uighur di Xinjiang. "Saudara-saudara Anda di seluruh dunia akan menyelamatkan Anda, dan menanti bergabungnya pasukan Anda," kata Baghdadi dalam pidato kemunculan pertamanya di publik yang direkam lewat video.

Namun tetap saja banyak yang menganggap dukungan Xi Jinping untuk memerangi terorisme hanyalah dalih. Cina tak pernah mengirimkan pasukannya untuk menggempur kantong-kantong milisi ISIS. Berbeda dengan, misalnya, Inggris dan Rusia, yang melancarkan serangan udara di Suriah.

Cina juga belum bergabung dengan koalisi anti-ISIS, entah itu di bawah Amerika Serikat, Rusia, entah aliansi negara-negara muslim bentukan Arab Saudi. Bahkan Beijing tak bereaksi apa-apa setelah milisi ISIS mengeksekusi dua tawanan—salah satunya diketahui warga negara Cina bernama Fan Jinghui—pada akhir November lalu.

"Dengan kata lain, Cina memang hanya mendukung negara-negara yang terancam oleh ISIS dengan imbalan berupa dukungan internasional untuk menekan kelompok minoritas muslim yang tak berdaya (Uighur)," ujar Ursula Gauthier.

Tulisan Gauthier telanjur menyulut amarah Cina. Apalagi ini bukan pertama kali ia mengkritik sikap Beijing terhadap Uighur. "Kenapa kebijakan kontraterorisme Cina selalu disebut sebagai penindasan etnis? Ini prasangka politik dan standar ganda," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Hua Chunying, awal Desember lalu.

Mahardika Satria Hadi (CNN, Time, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus