SEMBILAN sultan Malaysia secara bergiliran masuk ke salah satu sudut bertirai di ruang sidang Istana Negara, Kuala Lumpur, Kamis pekan lalu. Dengan pena perak yang sama, ada yang menoreh kertas suara yang disiapkan dengan tanda setuju, dan ada pula yang mencoretkan tanda tidak setuju, sebelum masing-masing memasukkannya ke Mohor Besar -- kotak pemilihan raja-raja. Semua berdebar menanti hasil pemilihan yang akan dibacakan penyimpan Mohor Besar itu. Tapi kemudian semua menarik napas lega setelah juru hitung suara raja-raja itu mengatakan, "Sultan yang dicalonkan telah menerima tidak kurang dari lima suara." Dan resmilah Sultan Azlan Shah dari Perak sebagai Yang Dipertuan Agung Malaysia untuk masa jabatan lima tahun mendatang. Ia memang calon yang diunggulkan, karena satu-satunya raja yang belum pernah mendapat giliran untuk menduduki jabatan tertinggi di Malaysia itu. Meski sudah resmi terpilih, kursi Yang Dipertuan Agung, yang saat ini masih diduduki Mahmood Iskandar, baru akan diserahkan kepada Azlan Shah, April depan. Siapakah sesungguhnya Yang Dipertuan Agung baru yang akan menerima gaji sekitar Rp 41 juta per bulan itu? Nama lengkapnya adalah Sultan Azlan Shah. Lahir di Batu Gajah, Perak, 19 April 1928. Mengikuti pendidikan di Sekolah elite Sultan Yussuf, yang dikenal sebagai sekolah kaum elite pada masa penjajahan Inggris, dan kemudian melanjutkannya ke Fakultas Hukum University of Nottingham, London. Dengan gelar sarjana hukum ia sempat menjadi pengacara di Inggris (1954). Tak heran bila Azlan Shah yang menikah dengan wanita biasa, Tuanku Bainun Mohamed Ali, sekembali dari London dipercaya memegang beberapa jabatan penting di bidang hukum di Kuala Lumpur, Perak, Seremban, dan Taiping. "Aku memilih bidang hukum karena aku tak pintar dalam matematika dan science," ujarnya. Tahun 1982, Azlan Shah, yang gemar bermain hockey ini, terpilih sebagai Ketua Mahkamah Malaysia. Hanya dua tahun jabatan Ketua Mahkamah Malaysia dipangkunya. Karena ia kemudian dinobatkan sebagai Sultan Perak, menggantikan sepupunya, Sultan Idris Shah, yang wafat dalam usia lanjut. Meski jabatan Ketua Mahkamah Malaysia dipangkunya singkat, toh Azlan Shah tercatat pernah menentang sebuah amandemen konstitusi yang disahkan mayoritas UMNO. Inti amandemen yang disahkan Agustus 1983 itu menyebutkan, "semua RUU akan menjadi UU dalam waktu 15 hari sesudah disetujui Parlemen, baik dengan atau tanpa tanda tangan Yang Dipertuan Agung." Amandemen itu sempat meresahkan hampir semua sultan di Malaysia. Tapi akhirnya kelompok kerajaan dan pemerintah Malaysia sepakat untuk memperpanjang masa persetujuan menjadi 30 hari. Yang Dipertuan Agung berhak pula menolak RUU atau mengembalikannya ke Parlemen. Adalah masalah hukum pula yang membuat Sultan Azlan Shah, tidak akur dengan Perdana Menteri Mahathir Mohammad, gara-gara pemecatan Ketua Mahkamah Malaysia Tun Salleh Abbas oleh Yang Dipertuan Agung Mahmood Iskandar, tahun lalu. Keputusan pemecatan Tun Salleh itu dinilai banyak pengamat sebagai "balas dendam" Mahathir, yang sakit hati lantaran UMNO dinyatakan sebagai partai tak sah oleh Tun Salleh. Maka, ketika meresmikan Konperensi Kehakiman Internasional ke-4, di Kuala Lumpur (1987), Sultan Azlan Shah mempersoalkan kebebasan kehakiman. Ia mengatakan, adalah tanggung jawab para hakim mempertahankan keadilan dalam sebuah negara. "Apa pun pemerintah yang berkuasa di sebuah negara, tugas para hakim tetap mempertahankan keadilan dengan kukuh," tambahnya. Tapi sumber-sumber UMNO yang dekat dengan istana menganggap suara-suara yang menyangsikan kerja sama antara Sultan Azlan Shah dan Mahathir terlalu berlebihan. "Kalaupun mungkin ada benturan pandangan dalam penjabaran UUD atau bidang kehakiman, misalnya, itu kan dulu," kata sumber tersebut. Kecemasan terhadap garis keras Sultan Azlan Shah telah dijawabnya dalam amanat yang disuarakan di depan rakyatnya di Ipoh, Perak, Ahad lalu. Ia mengharapkan terjalinnya kerja sama yang lebih baik antara lembaga-lembaga di bawah UUD Federal. "Usaha untuk membangun negara ini akan lebih berjaya melalui kerja sama yang lebih erat dan kuat antara kerajaan, rarlemen eksekutif dan lembaga umum lainnya," tuturnya tegas. Sebaliknya, pendapat komentator politik, Tan Chee Khoon, yang menyarankan Mahathir mengundurkan diri untuk kebaikannya sendiri. Tan Chee Khoon, yang juga dokter medis itu, menulis dalam majalah bulanan Aliran, bahwa Januari lalu Mahathir terserang penyakit jantung. Karena itu, Tan Chee Khoon menyarankan agar Mahathir mengundurkan diri dari kursi perdana menteri. Jika benar demikian, tak mustahil kursi PM akan menjadi rebutan. Untuk menghindari hal itu, tulis Aliran, akan lebih baik bila Ghafar Baba memegang pos perdana menteri dalam waktu dua tahun. Setelah itu, baru tongkat estafet kepemimpinan diserahkan kepada para kandidat muda, seperti bekas Deputi UMNO Datuk Musa Hitam, atau Wakil Presiden UMNO Abdullah Ahmad Badawi.Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur) & DIdi P. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini