MULA-mula adalah janji Yasser Arafat untuk melakukan apa yang disebut AS sebagai terorisme, Desember tahun lalu. Kemudian dunia optimistis bahwa AS bersedia berunding dengan PLO? dan diharapkan juga Israel. Sekitar tiga bulan lalu bahkan Arafat diberitakan untuk pertama kalinya mengajak para pemimpin Israel berunding. Kemudian memang ada pertemuan antara Israel dan PLO meski ini pertemuan swasta -- Israel diwakili wakil organisasi swadaya masyarakat yang berpaham moderat. Tapi mereka dikecam keras oleh Yitzhak Shamir. Bola terus menggelinding dan pekan lalu sudah dipastikan bahwa di akhir pekan ini diselenggarakan pertemuan PLO-Israel-AS di AS yang disponsori oleh dua penerbitan Israel dan PLO. Nama-nama wakil PLO bahkan sudah dipastikan dan pihak AS sudah bersedia memberikan visa untuk mereka. Yakni Husseini Nabil Shaath, penasihat Arafat dan Kepala Komite Politik di Dewan Nasional Palestina Afif Safieh, wakil PLO di Negeri Belanda dan Feisal Husseini, direktur Masyarakat Studi Arab di Yerusalem, yang mewakili warga Palestina di tanah pendudukan. Tak disebutkan wakil pihak Israel. Mungkinkah rencana itu akan terwujud pekan ini? Jawabannya masih tergantung. Sebab, Perdana Menteri Israel Yitshak Shamir masih belum menunjukkan gelagat mau berdamai dengan PLO. Dia tetap berkeras bahwa orang Palestina yang tinggal di luar Tepi Barat dan Jalur Gaza tak berhak ikut dalam perundingan dengan Israel. Termasuk PLO. Sementara itu, di Libanon tetap saja Israel dan kelompok-kelompok milisi pro Israel melakukan serangan membabi-buta terhadap pos-pos gerilyawan Palestina. Seolah tak perduli bahwa sebagian besar korban adalah penduduk sipil palestina dan Libanon. Apa boleh buat, pihak PLO pun membalas, mengadakan serangan ke pos militer Israel di Lebanon Selatan, Kamis pekan lalu. Malang, empat orang bersenjata dari Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina yang mencoba membalas itu dihabisi oleh tentara Israel, dituduh mau menyandera penduduk sipil. Sulit memang bagi pihak PLO untuk membalas kekalahan itu tanpa dikecam melakukan aksi terorisme. Sebab, dua pekan lalu Menteri Luar Negeri AS James Baker menyatakan bahwa "semua serangan PLO terhadap penduduk sipil dan target militer di luar dan di dalam Israel" akan makin menyulitkan rencana perdamaian. Pernyataan itu disertai definisi baru tentang "terorisme" PLO yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS. Yakni aksi PLO baru tak disebut terorisme bila dilakukan dalam sebuah pertempuran terbuka. Tentara yang sudah kembali ke pos semula setelah melakukan serangan termasuk yang tak boleh diserang. Lebih lagi, pihak AS pun menuntut PLO juga harus bertanggung jawab terhadap semua pelanggaran yang dilakukan oleh faksi-faksinya, tak peduli apakah faksi itu tergolong moderat, atau faksi yang menentang Arafat karena menghendaki wilayah Israel seluruhnya sebagai Negara Palestina. Maka, Ketua PLO Yasser Arafat, yang belakangan ini makin melunak, berang. "Kami manusia biasa yang tak mungkin menyuruh mereka menghentikan pembelaan diri untuk anak-istri dari pembunuhan yang dilakukan oleh orang Israel," katanya di depan sebuah acara jumpa pers. Bila saja pekan ini tak ada aksi militer PLO, boleh jadi pihak AS dengan senang akan memberikan visa dan menghadiri perundingan damai itu. Tapi ini berarti pihak PLO hanya boleh bertahan bila diserang, tanpa bisa membalas. Sungguh tragis. Bukankah selama ini sudah sering terbukti, Israel selalu memanfaatkan dukungan AS untuk membantai orang Palestina? Jawabannya memang belum pasti. Tapi tak kelewat meselesrt kalau memetik pelajaran dari sikap negeri Yahudi itu terhadap pantai Taba. Dua pekan lalu pantai itu diserahkan kembali kepada Mesir. Tapi Taba -- pantai yang kurang dari 1 km di Teluk Aqaba -- baru diserahkan oleh Isreal lewat perundingan berbelit-belit selama tujuh tahun. Lalu berapa tahun harus ditunggu sebelum perundingan tentang Gaza dan Tepi Barat -- yang tak cuma didiami oleh orang Palestina tapi juga 70.000 orang Israel -- bisa dituntaskan?Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini