DI udara dingin, di langit Inggris, Gibreel Faristha menyanyi: "Untuk dilahirkan kembali, orang harus lebih dulu mati. Ho ji! Ho ji!" Ia sedang jatuh, tanpa parasut dan tanpa sayap, dari pesawat jumbo Bostan, yang diledakkan teroris beberapa detik yang lalu. Dari ketinggian 29.000 kaki lebih. Bersama dia jatuh, tapi dengan kepala lebih dulu, Saladin Chamcha. Tiba-tiba Gibreel melihat, di antara awan, seorang wanita molek mengenakan sari hijau dan keemasan, duduk di atas sebuah permadani terbang. "Rekha Merchant," kata Gibreel mngenali bekas kekasihnya itu Rekha sebenarnya adalah istri seorang pengusaha. Ia mati bunuh diri bersama dua anaknya, begitu ia mendengar pesawat Gibreel meledak. Dalam kekecewaan bahwa Gibreel tak menghargai kesetiaannya. Rekha mengutuk. Tapi kedua orang itu meluncur terus, dengan pelan, hingga turun di pantai Inggris yang mengadang salju. "Lahir kembali kita, Spoono," kata Gibreel gembira kepada Saladin. "Selamat hari lahir. Kelahiran kembali selalu merupakan satu peristiwa besar bagi Gibreel Farishta. Ia lahir dengan nama Ismail Najmuddin, anak dari daerah Poona. Tapi di masa kecilnya ia sudah pindah: migrasi pertamanya, ke Bombay. Ayahnya seorang pengantar makanan, dabbawalla yang membawa makan siang seraya berlari, dan Ismail mengikuti jejak si bapak ketika usianya 13 tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk di runway lapangan terbang Santacruz. Sang ibu, Naima, sangat menyayangi anak tunggalnya itu. Bila Ismail mendekat, dengan latar belakang cahaya hijau-kuning-merah pesawat jet yang berangkat, sang ibu berbisik bahwa dengan melihat Ismail saja semua impiannya telah terkabul. Tapi Naima kemudian mati ketabrak bis. Tinggal ayah dan anak, yang tak bicara apa pun tentang kesedihan mereka. Mereka tenggelamkan dukacita mereka ke dalam kerja yang lebih keras. Najmuddin tua kemudian naik pangkat: jadi mandor muqaddam. Ketika Ismail berumur 19, ayahnya jadi anggota gilda yang mempersatukan para pengantar makanan. Ketika Ismail berumur 20, ayahnya mati, kena strok. Ismail tahu, ayahnya telah berlari dan mati untuk menemui ibunya. Anak muda itu kemudian dipungut oleh sekretaris jenderal pesatuan dabbawala itu, Babasaheb Mhatre. Ia laki-laki baik hati yang kebaikannya ia sembunyikan dalam sumpah serapah yang berisik. Ia menghibur anak muda yatim piatu itu dengan kisah tentang reinkarnasi, juga dengan cerita tentang gelas yang bisa digerakkan oleh roh halus. Ismail sangat terpengaruh oleh kisah macam itu. Sejak sebelum ibunya mati, ia telah percaya akan dunia supernatural. Ia percaya akan Tuhan, malaikat, hantu, jin ifrit. Ia juga kagum akan Nabi, yang riwayatnya ia dengar dari cerita ibunya meskipun ia tak tertarik untuk mengetahui sejauh mana kisah tentang Nabi itu sesuai dengan riwayat yang sebenarnya. "Bukan main, orang ini!" begitu pikirnya. "Malaikat yang mana yang tak akan ingin berbicara kepadanya?" Ketika Islam umur 21, ayah angkatnya, memanggilnya datang. Ia diberi tahu bahwa ia "dipecat": Mhatre telah menghubungkannya dengan D.W. Rama, seorang produser film terkenal. Begitulah Ismail Najmuddin menjadi bintang film, dengan nama baru: Gibreel Farishta. Nama itu, kata Gibreel kemudian, adalah untuk menghormati ibunya, orang yang memperkenalkannya kepada cerita malaikat dan yang memanggilnya, dengan sayang, "farishta". Setelah 4 tahun memegang peran kecil atau konyol, ia dapat peran dalam kisah-kisah keagamaan yang disebut "theologicals", hingga ia jadi superstar. Para wanita merubungnya. Dengan kehidupan seks yang berduyun-duyun itu, Gibreel mulai kehilangan bakatnya yang paling besar: bakat untuk mencintai secara tulus. Ia terlibat affair dengan Rekha, tapi ia juga tak mencintai wanita ini, tak setia kepadanya. Tiba-tiba, suatu hari, ia sakit. Tak jelas sebabnya. Isi perutnya berdarah. Selama tujuh hari ia terbaring, diberi transfusi, diberi obat, tapi dokter sebenarnya sudah menyerah. Seluruh India prihatin. Perdana Menteri mengunjunginya di rumah sakit. Di masjid-masjid dan candi-candi, umat berdoa. Kemudian dia sembuh. Seperti sebab sakitnya, kesembuhan ini pun misterius. Yang jelas: Gibreel sembuh dan ia kehilangan imannya kepada Tuhan. Selama sakit ia berdoa, tapi merasa Tuhan tak menjawab. Ia marah, merasa dirinya dihukum. "Apakah engkau pembalasan dendam ataukah engkau cinta?" tanyanya. Kemudian ia merasa hampa. Ia pun memohon agar ia bisa merasakan kehadiran Tuhan, tapi juga tak ada yang terjadi. Sejak itu ia tak merasa apa-apa -- dan sejak itu ia mulai sembuh. Dan inilah yang dilakukannya selepas dari rumah sakit: ia naik mobil ke Taj Hotel, dan terus makan daging babi. Ia menelan sosis dan ham cepat-cepat, dan dalam kesibukan itu ia melihat seorang wanita yang menertawakannya. Wanita itu adalah Alleluia Cone, wanita penakluk Puncak Everest, gadis Yahudi yang berambut perak. Dengan Allie itulah ia jatuh cinta. Tiga hari mereka berpacaran di kamar hotel, kemudian Allie pergi. Ternyata, kali ini Gibreel tak bisa melupakan wanita itu. Meskipun ia kembali bekerja, membuat kontrak untuk film baru, suatu hari ia menghilang. Di pesawat dengan nomor penerbangan AI-420 yang terbang ke London, pesawat yang bernama Bostan -- berarti salah satu Taman Firdaus -- hari itu naik seorang penumpang berjenggot dengan nama Ismail Najmuddin. Kenapa ia pergi? Mungkin karena Allie Cone. Dan mungkin juga karena setelah ia makan babi itu, pembalasan mulai, sebuah, pembalasan mimpi-mimpi. Pesawat itu dibajak. Para penumpang disandera selama 111 hari oleh 4 orang teroris yang pemimpinnya adalah seorang wanita Air India nomor 420 itu pun mendarat di sebuah lapangan terbang yang dibangun oleh seorang syekh kaya di sebuah padang pasir. Perundingan dengan para pembajak dimulai. Dalam penantian itulah Gibreel Farishta bertemu dengan seorang penumpang lain: Saladin Chamcha. Ia dilahirkan sebagai Salahuddin, anak pemilik pabrik pupuk dan kimia besar Changez Chamchawala, di Scandal Point di ombay. Ia anak tunggal, tapi juga anak yang merasa tertekan -- dan selalu diawasi -- oleh ayahnya yang bernama besar dan bertubuh besar itu. Suatu hari si anak menemukan sebuah dompet berisi uang poundsterling di jalan. Ia berharap banyak dengan benda itu. Tapi tiba-tiba ayahnya tahu, dan mengambil dompet yang ditemukan Salahuddin itu. Rasa tertekan itu disertai juga dengan rasa benci kepada Bombay menyebabkan Salahuddin bermimpi untuk melihat ellowen deeowen, London. Pada umur 13, apa yang diharapkannya ternyata kemudian terjadi. Tiba-tiba ayahnya menawarinya belajar di Inggris. Dan mereka pun terbang ke London. Tetapi hubungan antara ayah yang dominan dan anak yang ketakutan itu ternyata tak jadi lebih baik. Di hotel di London, si ayah tanpa disangka-sangka memberikan dompet yang dulu ditemukan anaknya. Dengan pesan: si anaklah yang harus membayar segala pengeluaran mereka di kota asing itu kini. Itulah, menurut si ayah, satu ritus untuk membuat anak itu jadi "orang". Tapi gugup dan takut kalau uang itu kurang, Salahuddin kecil habis perhatiannya untuk menghitung berapa benggol berapa sen. London luput dari kesempatan pertamanya. Bahkan suatu sat ia merasa malu dan tersiksa ketika harus membawa ayam panggang ke hotel, yang ia sembunyikan di balik jasnya yang baru. Dalam saat-saat itulah ia kembali kepada rasa marah dan pemberontakannya -- perasaan yang kemudian berkecamuk lebih dari seperempat abad. Ia tak hendak lagi memuja ayah, tak memuja apa pun yang di atasnya, dewa atau tuhan jenis mana juga, dan bertekad untuk jadi sesuatu yang ayahnya tak pernah dan tak mungkin adi: jadi orang Inggris. Ia memang tak segera diterima oleh anak-anak Inggris sebayanya yang berada di asrama sekolahnya itu. Tapi lima tahun kemudian, seraya menunggu mulainya saat kuliah di sebuah universitas, Salahuddin (kini memakai nama Saladin, sesuai dengan adat sekolah Inggris) pulang. Si ayah mulai merasa bahwa si anak sebenarnya tidak pulang. Proses itu bertambah ketika sang ibu, Nasreen, yang selama ini mencoba menengahi pertikaian ayah-anak itu, meninggal. Changez Chamchawala kawin lagi, dengan seoran wanita yang juga bernama Nasreen, dan Saladin menulis surat pedas. Tapi mungkin klimaksnya terjadi ketika Saladin lulus, memperoleh paspor Inggris dan memutuskan untuk jadi aktor. Sang ayah tak lama sesudah itu seperti telah memutuskan kontaknya yang terakhir. Saladin sendiri kemudian menikah dengan Pamela Lovelace. Pamela adalah anak kelas atas Inggris yang orangtuanya bunuh diri bersama karena utang di meja judi. Seperti Saladin, ia juga lari dari masa lalunya, menjadi seorang yang aktif atau selalu tertarik ke dalam gerakan radikal. Dengan demikian, ia juga berbeda dengan suaminya itu: Saladin tak tertarik untuk berkiri-kirian, ia begitu meyakini Inggris dan Perdana Menteri Thatcher dan Perang Falkland. Tapi bagi Saladin, Pamela adalah bagian dari metamorfosanya untuk jadi Inggris. Saladin mencintai Pamela benar-benar, tapi perkawinan mereka tak bahagia. Tak ada anak yang lahir, karena kesalahan genetik pada diri Saladin. Betapapun, Saladin memimpikan masa depan bersama istrinya selama-lamanya. Juga setelah ia ketemu lagi dengan temannya dulu, Zeeny Vakil. Ia berkunjung ke Bombay: dari London, rombongan Prospero Players akan membawakan sebuah lakon G.B. Shaw dikota India itu, dan Saladin Chamcha (begitulah namanya sebagai aktor) ikut dalam rombongan itu. Nafkahnya yang terbesar sebenarnya datang dari pekerjaannya mengisi suara untuk advertensi radio -- ia bisa memainkan bermacam-macam jenis suara, dan ia cukup berada karena itu -- tapi pentas nampaknya tak hendak dilepaskannya. Dengan itu pula ia berkunjung ke kota kelahirannya kembali, bertahun-tahun setelah ia menetap di London. Zeeny Vakil, dalam usia 30-an, telah jadi dokter yang bekerja untuk orang-orang tunawisma Bombay, wanita yang berangkat ke Bhopal ketika gas beracun dari pabrik Amerika itu menjalar, seorang penulis kritik seni yang menulis buku bahwa keaslian hanyalah mitos. Ia cantik, dengan rambut panjang tergerai. Dan lima jam setelah pertemuan kembali itu, Saladin membawanya bercinta di kamar. Bagi Zeeny, Saladin adalah satu proyeknya: proyek reklamasi, untuk mengembalikan Saladin jadi orang India kembali. Ia mencemooh aksen London lelaki itu, yang tak sempurna, yang nampak seperti kumis palsu. Ia mengajak Saladin bertemu dengan teman-temannya, cendekiawan India, yang dalam sikap kritis mereka kepada negeri mereka toh tetap menjadi orang India. Dan Zeeny juga yang menemaninya ketika ia menemui ayahnya, Changez, di rumah tua yang megah di Scandal Point. Pertemuan, yang sekali lagi juga perpisahan. Saladin menemukan bahwa ayahnya, yang makin menjauh dari orang banyak, ternyata tak hanya hidup dengan istri barunya, Nasreen, tapi juga mempergundik Kasturba, pelayan wanita yang sebenarnya istri Vallabh, bujang dalam keluarga itu. Saladin naik pitam. Tapi jelaslah: ia sebenarnya tak berhak menghakimi mereka karena ia, Saladin, telah jauh meninggalkan rumah dan tak pernah tahu apa yang terjadi. Saladin kalah. Tapi yang membuatnya merasa lebih kalah, dan sebab itu berang, ialah bahwa dalam konfrontasi dengan ayahnya itu, Zeeny memihak Changez Chamchawala. Mereka pun bertengkar. Dengan perpisahan macam itu, Saladin pun, bersama rombongan teaternya, balik ke London. Naik AI-420 Bostan. Dan jadi sandera, dan ketemu Gibreel Farishta. Dalam masa menunggu di lapangan terbang Syeikh itu, Saladin mendengarkan Gibreel bicara, seperti tak henti-hentinya. Ia membenci bintang film ini, yang memanggilnya "Spoono". Tapi pada saat yang sama ia tahu bahwa Gibreel adalah orang yang takut tidur, dan ingin kisahnya didengarkan. Farishta bercerita, semenjak ia makan daging babi di hari itu, ia mulai didatangi mimpi. Dalam mimpi itu ia selalu hadir bukan sebagai dirinya, melainkan sebagai sang malaikat Gibreel sendiri. Dan Gibreel ketakutan. "Saya kedengarannya gila. Betul tidak?" tanya Gibreel. "Ya," sahut Saladin. "Kau kedengarannya gila." Mimpi Gibreel yang pertama ialah ketika ia juga -- yang oleh ibunya sering disebut "setan", bila ia nakal -- merasa juga dirinya menjadi Setan. Dan anehnya, ia pun melihat Setan, bersama tiga anaknya, Lat, Manat, Uzza, tertawa di belakang Gibreel, dirinya sendiri, mengisyaratkan bahwa ada satu tipuan yang mereka siapkan untuk dia dan juga untuk saudagar yang gemar menyendiri di bukit itu. Saudagar itu, yang bercara hidup seperti pertapa itu, disebut "Mahound", nama yang dipakai untuk menghinanya tapi kini dipakai untuknya sebagai kekuatan. Ia tinggal di Kota Jahilia, yang dikuasai oleh seorang pembesar, Abu Simbel namanya, dengan istrinya, Hind. Mahound menyatakan bahwa Tuhan hanya satu, sedang Abu Simbel punya kepentingan untuk menyembah 360 berhala di Batu Hitam. Bagi Abu Simbel, Mahound suatu kekuatan yang mencemaskan. Ia pun menyewa Penyair Baal untuk mencemooh Mahound dan sejumlah pengikutnya. Dalam ketegangan itu, Abu Simbel menawarkan satu kompromi pada Mahound: jika Mahound mau menerima Lat, Manat, Uzza sebagai sejenis perantara antara Allah dan manusia, cukuplah. Kalau Allah bisa menyetujui ini, Mahound dan kawan-kawan akan diakui, dan Mahound akan diangkat dalam dewan kota Jahilia. Dalam diskusi dengan para pengikut, banyak yang tak setuju dengan tawaran itu. Mahound sendiri berkata, "Kadang-kadang saya pikir saya harus meringankan orang untuk beriman." Hamzah, paman Mahound, akhirnya menyarankan agar Nabi itu naik ke bukit dan bertanya kepada Gibreel. Gibreel, sang pemimpi, melihat semua itu sebagai kalau ia sedang menonton film. Tapi ketika mimpi bergerak, ia juga jadi bintangnya yang penting. Dan ia takut, karena ia tak tahu ia harus menjawab apa. Mahound sendiri dalam gundah. Ia menyesali dinnya sendiri: tidakkah ia mengkhianati apa yang dikatakannya sendiri, hanya untuk satu kursi di dewan kota? Tapi tegar tanpa kompromikah Allah, hingga tak hendak memperkenankan tiga unsur lagi untuk menyelamatkan nasib manusia? Dalam mimpi Gibreel pula, akhirnya Mahound datang ke kemah orang-orang Jahilia yang sedang berkumpul. Orang-orang mencemoohkannya, tapi kemudian terdiam. Mahound membacakan sebuah surah, Bintang. Kemudian ditambahkannya dua ayat: bahwa Lat, Uzza, dan Manat adalah "burung-burung yang dimuliakan" dan perantaraan mereka sangat diharapkan. Hadirin bersorak, dan Abu Simbel bahkan berseru "Allahu Akbar", dan semua orang sujud. Hanya Mahound yang tetap berdiri menutup mata, tak bergerak. Khaled, seorang pengikutnya yang ikut datang ke kemah Jahilia itu, menangis. Jahilia berpesta mabuk-mabukan. Tapi para pengikut Mahound diteror orang-orang Jahilia. Hamzah membela diri dan membunuh dua penyerang. Ternyata saudara Hind. Di rumah istrinya, Mahound berjalan hilir mudik. Kemudian, ketika terbangun, ia sudah berada di kemah Hind, musuhnya. Di sini Hind mengatakan bahwa antara Abu Simbel dan Mahound bisa ada kompromi, tapi antara Mahound dan dia tidak. Mahound hendak dijamu, tapi menolak dan pergi. Ia hendak menemui Gibreel. Gibreel, sang pemimpi, mulai capek dan ingin berhenti dari semua ini. Tapi gagal. Ia diseret dan dikalahkan oleh Mahound setelah suatu pergulatan yang mencapekkan, dan akhirnya Gibreel membuka mulutnya. Sang Suara itu keluar. Dalam adegan berikutnya, Mahound berangkat ke Rumah Batu Hitam, meskipun para pengikutnya menasihatinya agar jangan begitu. Di sini ia menyatakan bahwa ia menghapuskan ayat-ayat yang dibisikkan Setan kepadanya. Tuhan tak berputri, dan nama-nama ketiga dewi itu hanya buah mimpi orang Jahilia. Orang pada kaget, dan belum sempat melemparkan batu ketika Mahound pergi. Di rumah, didapatkannya istrinya meninggal. Dalam cengkeraman duka, Mahound hampir tak bicara selama sepekan. Sementara itu, para pengikutnya mulai diperlakukan sewenang-wenang. Tapi jumlahnya bertambah saja. Lalu diterima kabar bahwa ada tawaran dari Yathrib untuk menerima para pengikut yang dikejar-kejar itu. Mahound juga akhirnya berangkat. Tapi Gibreel, karena ia yang bermimpi, tak bisa apa-apa. Mimpi Gibreel yang kemudian terjadi tentang hal lain lagi. Pesawat AI-420 itu akhirnya diledakkan si teroris wanita yang tak mau kompromi, dan begitulah Gibreel dan Saladin jatuh dari angkasa. Mereka tiba di pantai Inggris, dan ditolong oleh seorang wanita tua, Rosa Diamond, yang pernah hidup di padang pampa Argentina bersama suaminya. Dalam proses jatuh itu, terjadi sesuatu pada diri mereka. Pada Gibreel nampak ada cahaya di belakang kepalanya, sedang pada Saladin nampak ada dua benjolan -- yang kemudian jadi tanduk -- di dahinya. Nasib buruk Saladin tak cuma itu. Mendapat laporan bahwa ada orang datang dari laut masuk pantai, polisi menggeledah rumah Rosa Diamond. Saladin ditangkap, dituduh sebagai imigran gelap. Gibreel, sementara itu, disangka teman Rosa Diamond, dan tak diapa-apakan. Tetapi Gibreel tak berusaha menolong Saladin -- satu hal yang menambah kebencian Saladin kepada bintang film itu. Dalam perjalanan ke tahanan, Saladin, yang mulai berubah seperti kambing atau Setan sebagaimana dibayangkan orang -- mengalami siksaan polisi. Ia mulai melihat bahwa ada satu bagian, atau mungkin perubahan, dari Inggris yang selama ini tak dilihatnya: bukan Inggris yang beradab, tapi Inggris yang memperlakukan orang asing sewenang-wenang. Nasib Gibreel jauh lebih baik. Nenek Rosa melihat bahwa ia adalah titisan kekasihnya di Argentina, Martin de la Cruz. Dan Gibreel pun bermimpi, dalam keadaan yang tak jelas antara khayal dan kenyataan, bahwa ia berada di Argentina yang jauh itu, dan ia memang Martin de la Cruz. Kisah mereka berakhir tragis: suaminya menemukan mereka berpacaran, dan Martin terbunuh oleh tangan seorang wanita lain. Di akhir lalu lintas antara mimpi Gibreel dan cerita Rosa itu, nenek tua itu pun mati. Gibreel meninggalkannya, setelah mengambil peta Kota London. Sementara itu, akhirnya Saladin berhasil bebas dari kungkungan polisi. Ia bisa membuktikan ia bukan imigran gelap, meskipun wujud tubuhnya sudah berubah sama sekali -- yang bagi polisi Inggris nampaknya tak jadi soal: orang asing pasti bentuknya lain. Untuk menghindar dari tuntutan, polisi membawa Saladin yang sudah dipukuli itu ke rumah sakit. Dari rumah sakit, Saladin lari. Pulang. Tapi di rumah didapatkannya istrinya, Pamela, sedang bercintaan dengan Jumpy Joshi (nama sebenarnya Jamsheed), guru karate dan penyair yang belum jadi. Joshi adalah sahabat Saladin. Ketika melihat apa yang datang, Pamela kaget. Dengan tergesa-gesa Joshi membawa Saladin yang sudah bertanduk dan bermulut bau itu ke daerah Brickhall, daerah orang keturunan India. Di sana ada restoran dan rumah sewaan milik sahabat Joshi, yakni Haji Sufyan, bekas guru dari Bengala Desh yang jujur dan baik hati. Meskipun istri Pak Haji, Ibu Hind, sebenarnya tak rela rumahnya ditempati Setan, akhirnya Saladin diterima. Terutama karena putri Haji Sufyan, Mishal, asyik melihat tamu aneh itu. Saladin mula-mula menolak untuk diterima di sini. Ia tak mau digabungkan lagi dengan orang India. Tapi tak ada tempat lain. Dan dari Mishal, seraya memandang ke jalan-jalan Brckhall dari jendela, Saladin tahu betapa dalamnya luka Inggris oleh rasialisme orang kulit putih terhadap kaum imigran kulit berwarna. Di tempat persembunyiannya ini ia juga mendengar berita apa yang terjadi dengan Gibreel Farishta. Akhirnya, orang tahu bahwa bintang film itu masih hidup. Ia dapat kontrak baru. Antara lain, kata koran, ia ingin membuat film tentang Nabi: kisah Nabi yang menolak kompromi dan berjalan teguh di kemurnian. Ia disambut di mana-mana. Saladin merasa kebenciannya timbul lagi kepada orang ini. Tapi sebenarnya kisah Gibreel tak semulus itu. Ia akhirnya bertemu dengan wanita yang dicarinya, Allie Cone. Ia hidup bersamanya, tetapi ia memang bukan orang yang mudah. Ia biasa manja. Ia pencemburu. Dan ia masih tetap didatangi mimpi yang berseliweran. Salah satu mimpinya adalah seorang Imam yang menyiapkan revolusi menumbangkan Ayesha, seorang maharani yang meminum anggur dan minuman keras lain, sementara Sang Imam minum air putih. Akhirnya, Sang Imam menang, setelah rakyat bangkit, dan Maharani Ayesha ternyata berubah jadi Al Lat, setan wanita itu. Dalam kemenangannya, Sang Imam menginginkan orang melawan sejarah, dan jam di seluruh negeri harus dihancurkan. Dalam keadaan Gibreel yang seperti itu, Allie Cone toh tetap ingin bersamanya -- sampai suatu ketika: Gibreel tiba-tiba merasa didatangi Tuhan, dalam bentuk seorang berkaca mata (dalam bagian selanjutnya tersirat bahwa "Sang Pencipta" itu tak lain adalah pengarang novel ini, yang agak susah payah mengatur peran-peran ceritanya). "Tuhan" ini menyuruhnya berangkat menyelamatkan dunia. Gibreel pun berangkat. Meninggalkan Allie. Ia bahkan berhasil menolak bujukan kompromi Rekha Merchant yang muncul kembali dengan karpetnya. Bahkan ketika pesta dan pertunjukan besar diadakan untuk menyambut kembalinya Gibreel Sang Mahabintang, suatu peristiwa terjadi. Di tengah hiruk pikuk, Farishta menghilang. Ia merasa dirinya terbang di atas London. Dari sana ia merasa bahwa musuhnya, Setan, akan datang. Baginya, Setan dan Malaikat bukanlah satu jenis: setan bukanlah malaikat yang jatuh, seperti dinyatakan Injil. Ia juga melihat cuaca Inggris yang tak sepenuhnya terang itu menyebabkan kekaburan moral. Maka, ia ingin mengkhatulistiwakan London. Udara yang panas kemudian memang bertiup, tapi ketika kemudian membuka mata, Gibreel ada di depan pintu rumah Alleluia Cone kembali. Ibu Allie menganjurkan anaknya membawa pacarnya itu ke rumah sakit jiwa. Adegan muncul lagi: Jahilia. Nabi Mahound dan pengikutnya menang, tetapi sebagian penduduk Jahilia yang baru diperintah agama ini mulai mengkritik. Kritik ini biasanya didengarkan di sebuah rumah pelacuran, di mana Penyair Baal bekerja sebagai penjaga. Ada kritik terhadap pemisahan kaum wanita, ada cemooh kepada perkawinan Nabi, ada kritik tentang terlampau banyaknya Mahound mengeluarkan aturan dalam hidup. Pengecam paling keras di sini, dalam kisah yang disusun sebagai mimpi Gibreel ini, justru Salman, orang Parsi yang semula menuliskan wahyu yang diterima Nabi Mahound. Salman ini banyak keluhannya. Ia lari dari kalangan Nabi dari kalangan Nabi Mahound, setelah ia merasa ketahuan telah mengubah-ubah isi wahyu dalam catatannya. Ia merasa kecewa bahwa Mahound tak tahu perubahan yang dibikinnya. Ia pun lari dan bergabung dengan Baal, dan seraya mabuk, terus mengata-ngatai Nabi. Tapi ketika ia tertangkap, Nabi tak menghukumnya mati. Hanya Baal, yang telah menghina Nabi dan keluarganya karena menamakan para pelacurnya dengan nama istri Nabi dihukum mati oleh Khalid. Seperti ketika Nabi mengalahkan Kota Jahilia, pada umumnya ada pengampunan, bahkan terhadap Hind. Dan itulah jawaban Mahound kepada pertanyaan: apa yang akan kau lakukan jika kau menang? Gibreel kemudian mimpi wafatnya Mahound. Istrinya yang termuda, Ayesha, berada di dekatnya ketika ajal tiba. Ada setan Al Lat muncul mencerca Nabi sebentar, tapi Nabi hanya mengucapkan terima kasih. Lalu selesai. Ayesha pun berkata, "Siapa yang memuja Sang Utusan, berdukacitalah, sebab ia telah tiada. Siapa yang memuja Tuhan, bersukacitalah, sebab Ia hidup." Sementara Gibreel dirawat di rumah Allie Cone, Saladin mengalami peristiwa lain. Mishal, anak Haji Sufyan, ketahuan oleh ibunya telah berhubungan gelap dengan Hanif Johnson, pengacara muda yang membela orang kulit berwarna di Brickhall itu. Mereka diusir, dan Saladin mereka bawa. Dalam persembunyian tempat orang hitam membuat patung lilin musuh-musuh mereka, tiba-tiba Saladin berubah. Ia manusia normal kembali. Ia kembali ke rumahnya, tinggal bersama Pamela, istrinya. Tapi ia membiarkan Joshi berpacaran, sementara ia tinggal di kamar studinya di tingkat atas. Pamela hamil oleh Joshi. Saladin merasa ia memang harus putus dengan istrinya itu. Tapi ia sendiri, entah karena dorongan apa, mungkin kebenciannya kepada Gibreel, atau kecemburuannya kepada kebahagiaan dia, mengganggu hubungan bintang itu dengan Allie. Ia, dengan keahlian mempermainkan suaranya, menelepon ke rumah pasangan itu dan mempermainkan kecemburuan Gibreel. Gibreel, dalam keadaan payah, berpisah dengan Allie. Kisah selanjutnya tragedi. Kerusuhan rasial meledak di Brickhall. Pamela, yang selalu berada di pihak gerakan protes, dibunuh orang-orang yang tak pernah diketahui. Sementara itu, rumah dan restoran Haji Sufyan terbakar, dan Haji yang baik itu tewas bersama istrinya. Saladin, yang kebetulan datang dan mencoba menolong, kena serangan jantung. Hanya Gibreel, yang juga ke sana, yang menolongnya. Dalam keadaan capek itu, Gibreel tertidur dan bermimpi lagi. Tentang gadis bernama Ayesha yang punya keajaiban. Ia diikuti ribuan kupu-kupu, dan ia berhasil membawa seluruh penghuni sebuah dusun India pergi jalan kaki untuk ke Mekah. Ia juga gadis yang keras, yang tanpa kompromi, bahkan terhadap bayi anak haram sekalipun. Orang yang tak percaya melihat bahwa rombongan hajinya tenggelam di laut. Tapi tak sedikit yang melihat bahwa ketika rombongan itu lewat, laut memang tersingkap di dasarnya, dan jemaah itu menyeberang. Novel ini kemudian berakhir di Bombay kembali. Saladin terbang ke Bombay ketika ayahnya di dekat ajal. Pertemuan permaafan antara anak dan ayah di sini terjadi: ketika sang ayah mati karena kanker, tanpa menyebut nama Tuhan. Saladin ikut memandikannya dan ikut meletakkan jenazahnya di liang lahad. Dan ia kembali ke Zeenat, wanita yang ingin menariknya kembali ke tanah asalnya itu. Dan ia kembali ke India.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini