Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Thailand, Mahkamah Konstitusi Bubarkan Partai yang Hina Kerajaan

Partai progresif Thailand terancam dibubarkan. Mahkamah Konstitusi menjeratnya dengan pasal penghinaan kerajaan.

7 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pemilihan Umum Thailand (EC) mengajukan petisi kepada Mahkamah Konstitusi pada Senin, 18 Maret 2024. Mereka meminta Mahkamah membubarkan Partai Gerakan Maju (MFP) karena percaya partai itu berusaha menggulingkan monarki konstitusional negeri. Langkah EC ini menyusul keputusan bulat Mahkamah pada 31 Januari 2024 bahwa MFP dan pemimpinnya saat itu, Pita Limjaroenrat, bersalah hendak menggulingkan monarki konstitusional melalui usulan amendemen Pasal 112 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai lèse-majesté atau pasal penghinaan terhadap kerajaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasal lèse-majesté sebenarnya bertujuan menjaga kehormatan Kerajaan Thailand, tapi kemudian lebih sering digunakan untuk membungkam oposisi dan pengkritik pemerintah. Misalnya, Tantawan “Tawan” Tuatulanon, mahasiswa yang terkenal karena memprotes penyetopan kendaraan ketika iring-iringan mobil kerajaan lewat, berkali-kali ditahan dengan pasal karet ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahkamah masih mengkaji petisi EC. “Sayangnya, pembubaran partai itu sangat mungkin terjadi,” kata juru bicara Fortify Rights, organisasi independen pemantau hak asasi manusia di Asia Tenggara, yang hanya bersedia disebut sebagai Basil lantaran sensitifnya isu ini. Dia membandingkannya dengan pembubaran partai reformis Partai Masa Depan Maju (FFP) pada 2020. “Dalam istilah akademis, ini disebut judicialization atau lawfare.” Lawfare adalah yudisialisasi politik, yakni penggunaan pengadilan dan hukum untuk menyelesaikan masalah politik secara luas.

“Pengadilan, yang seharusnya tidak memihak, ternyata sangat berpengaruh dalam permainan politik sehingga mengabaikan imparsialitas hukum dan pengadilan,” kata Basil kepada Tempo pada Sabtu, 30 Maret 2024. Menurut dia, sistem peradilan seharusnya tidak memihak agar keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif terjaga. “Ketika sistem peradilan ini terlibat terlalu banyak dalam politik, ia menjadi alat untuk membungkam pendapat yang berbeda, menolak partai oposisi.”

Partai Gerakan Maju adalah partai progresif muda yang baru pertama kali mengikuti pemilihan umum legislatif pada Mei 2023 dan menjadi partai pemenang setelah meraih 151 dari total 500 kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Koalisi dengan sejumlah partai politik lain membuatnya menguasai parlemen dan dapat membentuk pemerintahan. Namun upaya partai itu untuk mengajukan Pita Limjaroenrat sebagai perdana menteri diblokir Senat, yang semua 250 anggotanya ditunjuk militer.

Pita, yang juga terpilih sebagai anggota parlemen, pernah diskors dari DPR oleh Mahkamah Konstitusi setelah EC menyatakan Pita melanggar aturan pemilu karena tidak melaporkan sahamnya di iTV dalam laporan harta kekayaannya. Pita tidak melaporkannya karena kanal televisi itu sudah berhenti bersiaran sejak 2007. Pada Januari 2024, hakim konstitusi akhirnya menyatakan iTV tidak memiliki konsesi penyiaran sehingga tak dapat dianggap sebagai media massa. Hakim juga mencabut skors terhadap Pita.

Upaya menyingkirkan Pita dan partainya terus berjalan. Kini kelompok konservatif dan militer diduga memakai pasal lèse  -sebagai senjata. Namun, menurut Thai PBS, media milik kerajaan, Ketua EC Itthiporn Boonpracong membantah tuduhan bahwa EC menerima instruksi dari “seseorang” untuk pembubaran ini.

Pita Limjaroenrat. Reuters/Athit Perawongmetha

Upaya pembubaran MFP memang mirip dengan yang dialami FFP, yang didirikan pengusaha Thanathorn Juangroongruangkit pada 2018. Dalam pemilihan umum 2019, FFP meraih 80 kursi DPR. Mahkamah Konstitusi kemudian membubarkan partai ini dengan alasan melanggar aturan dana kampanye karena mendapat pinjaman dana sebesar 191,2 baht atau sekitar Rp 83,4 miliar dari Thanathorn yang seharusnya dihitung sebagai donasi. Banyak anggota parlemen dari FFP kemudian bergabung ke MFP.

Menurut Basil, lèse-majesté masih menjadi isu yang sangat sensitif di negerinya. Partai politik pun akan memperlakukannya secara hati-hati bila berupaya mengamendemennya. “MFP bahkan mengatakan bahwa mereka tidak mencoba menghapus pasal ini sepenuhnya, tapi berupaya mengubahnya sehingga penerapannya dikurangi dan hidup monarki akan lebih berkelanjutan di zaman modern yang demokratis ini,” ucapnya.

Meskipun sensitif, Basil menambahkan, banyak orang makin sadar bahwa pasal ini tidak adil. Orang yang membuat komentar melalui pesan teks saja bisa dipenjara hingga 15 tahun dengan pasal ini. Pengacara Thai untuk Hak Asasi Manusia (TLHR) mencatat 268 orang telah didakwa dengan pasal ini sejak 2020. Dulu orang takut membicarakannya, tapi sekarang makin banyak generasi muda yang lebih terbuka mengomentarinya. “MFP adalah partai pertama yang merespons apa yang masyarakat inginkan. Jumlah suara yang diperoleh MFP menunjukkan apa yang masyarakat inginkan,” tuturnya.

Jika MFP dibubarkan, anggota parlemen dari partai ini harus mencari partai baru sebagai rumahnya. Para pemimpinnya, seperti Pita Limjaroenrat dan Chaithawat Tulathon, bisa dilarang berpolitik selama 10 tahun. Di parlemen sudah muncul pembicaraan tentang rumah baru itu, seperti Partai Langkah Baru (Kao Mai Party). Pakornwut Udompipatskul, anggota parlemen MFP, membantah spekulasi itu. “Rumah tersebut akan tetap sama, tapi dengan nama baru,” ujarnya seperti dikutip Bangkok Post, Selasa, 26 Maret 2024.

Basil mengingatkan pemerintah Thailand bahwa pembubaran MFP akan berdampak pada upaya negeri itu menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. “Ketika Anda ingin duduk di Dewan Hak Asasi Manusia, Anda pasti segera melihat negaranya dulu, apakah negara tersebut benar-benar demokratis, apakah benar-benar menjunjung hak asasi manusia berdasarkan hukum internasional, apakah Thailand telah meratifikasinya,” katanya. “Upaya membungkam kelompok yang berbeda pendapat atau oposisi sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Jika Thailand ingin melangkah ke kancah internasional, ia harus benar-benar memperhatikan masalah ini. Mereka tidak bisa menutup mata terhadap ketidakadilan.”

Pembubaran MFP, Basil melanjutkan, juga mencerminkan ketakutan kelompok konservatif terhadap kemenangan mutlak MFP dalam pemilihan umum, yang merupakan pesan bahwa kelompok konservatif sedang sekarat dan mereka seharusnya berubah bila ingin tetap diakui rakyat. Basil mengutip peribahasa Thailand, bila kamu berlari dan membentur tembok, kamu akan melakukan usaha terakhir untuk melompatinya. “Salah satu usaha terakhir yang dapat mereka lakukan adalah membubarkan partai itu agar partai tersebut tidak menjadi makin populer,” ujarnya.

Jajak pendapat National Institute of Development Administration, lembaga survei lintas kampus yang disokong pemerintah Thailand, untuk triwulan pertama 2024 menunjukkan Pita Limjaroenrat menjadi kandidat perdana menteri paling populer dengan dukungan 42,75 persen responden, naik dari 39,4 persen pada kuartal sebelumnya. Posisinya berada di atas Perdana Menteri Srettha Thavisin yang hanya mendapat dukungan 17,75 persen dan Paetongtarn Shinawatra, pemimpin Partai Pheu Thai dan putri bungsu mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, dengan 6 persen.

Parit Wacharasindhu, juru bicara MFP, mengatakan partainya dan kuasa hukumnya akan menghadapi sidang Mahkamah Konstitusi nanti. “Sepertinya kita menciptakan nilai atau budaya politik yang menganggap pembubaran partai adalah hal yang wajar. Sebaliknya, kita harus menciptakan lingkungan tempat semua partai dapat berkembang menjadi institusi politik yang tidak mementingkan individu,” ucapnya seperti dikutip Thai PBS.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Partai Pita di Ujung Tanduk"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus