Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERMULA dari absennya perwakilan lembaga fatwa dari Indonesia dalam sebuah konferensi fatwa di Kairo, Mesir, Iffatul Umniati Ismail menjadikannya ide penulisan disertasi di Al-Azhar University. Di Negeri Piramida, intelektual Nahdlatul Ulama ini mendalami fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iffatul menulis disertasi berjudul "Ijtihad dan Fatwa dalam Merespons Isu-isu Hukum Kontemporer: Kajian terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Perspektif Ilmu Ushul Fikih". Disertasi setebal 690 halaman ini menyoroti kebijakan MUI dalam menetapkan fatwa. "Metode dan penetapan fatwa MUI punya kekhasan yang layak dikaji secara serius," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Iffatul, MUI punya dua kecenderungan yang terkesan bertolak belakang dalam melihat persoalan. MUI disebut terlalu mempersulit terbitnya fatwa soal makanan. Sedangkan fatwa dalam bidang medis terlihat lebih mudah diproses. Penelitian itu membuat Iffatul diganjar predikat summa cum laude. "MUI harus lebih berfokus pada kepakaran, dan Komisi Fatwa bukan tempat untuk mengakomodasi berbagai organisasi di MUI," kata perempuan asal Tegal, Jawa Tengah, ini.
Iffatul menerima permintaan wawancara wartawan Tempo, Sunudyantoro dan Yosea Arga Pramudita, di kantornya di Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jumat, 22 Maret 2024. Tanya-jawab ini dilengkapi beberapa pertanyaan tambahan yang dikirim melalui WhatsApp pada Senin, 1 April 2024.
Disertasi Anda soal fatwa Majelis Ulama Indonesia. Apa temuan penting Anda?
Antara lain membahas fatwa untuk produk yang ada unsur babi. Salah satu fokusnya adalah vaksin meningitis yang menjadi perdebatan. Ketika saya mulai meneliti, belum ada perselisihan soal fatwa halal dan haram vaksin Covid-19. MUI mengharamkan vaksin meningitis bagi calon jemaah haji dan umrah, bahkan mengirim surat ke Kerajaan Arab Saudi untuk membatalkan kewajiban vaksin dengan alasan haram karena mengandung unsur babi.
Bagaimana semestinya menyikapi fatwa vaksin itu?
Jika membaca banyak literatur, ada penjelasan medis yang memaparkan bahwa dalam proses menjadi vaksin itu sudah tak ada unsur babi. Tapi saya tetap menghormati MUI yang punya metode dalam menetapkan fatwa mengenai istihalah—suatu perubahan materi ke bentuk lain.
Bagaimana sejumlah mazhab dalam Islam memandang istihalah?
Mazhab Imam Syafi'i paling ketat karena tak membolehkan transformasi materi yang dilakukan dengan sengaja. Sementara itu, mazhab Imam Hanafi mengizinkan. Ada juga mazhab Imam Maliki yang membolehkan, tapi menyebutnya makruh. Hadis menyebutkan, dalam proses perubahan arak menjadi cuka dengan sendirinya, cuka itu halal. Para fukaha—ahli hukum Islam—sepakat bahwa ketika sesuatu yang haram berubah dengan sendirinya, ia menjadi halal. Tapi ada ulama yang berpendapat perubahan materi itu terjadi karena ada unsur kesengajaan, yakni penambahan bahan tertentu.
MUI konservatif dalam membuat fatwa?
Jika saya berhusnuzan, MUI bersikap hati-hati. Saya berpendapat sebenarnya tak ada istihalah, melainkan mujawarah atau berdampingan. Unsur enzim babi dibutuhkan sebelum pembuatan vaksin, bukan pada inti proses pembuatannya. Jadi tak ada unsur babi ketika vaksin siap disuntikkan. Kalaupun MUI mengikuti pandangan Imam Syafi'i bahwa istihalah tak boleh, yang terjadi dalam produksi vaksin sebenarnya bukan istihalah.
Jadi vaksin itu semestinya halal bila mencermati prosesnya? Apalagi dalam situasi darurat.
Kalau tak ada istihalah atau perubahan materi ke bentuk lain, vaksin itu seharusnya halal. Namun MUI menyatakannya haram karena ada unsur kehati-hatian. Menurut saya, unsur hati-hati tak diperlukan dalam kondisi darurat. Bila vaksin meningitis ditiadakan, itu bisa mengancam jiwa. Itu berbahaya sekali.
Persoalan halal-haram vaksin juga menjadi polemik pada masa pandemi Covid-19....
Itu sama dengan vaksin meningitis. Yang saya ketahui, cuma MUI yang mengharamkan. Lembaga ijtihad lain tak mengharamkan. Lembaga fatwa di negara lain pun sudah menyatakan vaksin Covid-19 halal.
Benarkah perkara halal-haram produk vaksin berkaitan dengan persaingan bisnis farmasi?
Wallahualam. Kajian disertasi saya tak mengarah ke sana, he-he-he....
MUI terkesan mencampuri semua urusan lewat fatwanya, dari pakaian sampai sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Apa pendapat Anda?
Saya pernah mendengar MUI dikritik karena terlalu banyak mengeluarkan fatwa halal-haram. Bahkan sertifikat halal-haram itu tidak hanya untuk makanan dan minuman. Saya pernah membeli mangkuk, lalu menemukan stiker label halal. Logikanya semestinya begini: kita hidup di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga apa yang ada di sekitar kita tak perlu diragukan kehalalannya. Demikian juga dalam urusan fikih, khususnya perkara muamalah atau hubungan sosial. Semua yang ada di dunia ini halal, kecuali ada dalil yang menyatakannya haram.
Di Indonesia justru terjadi sebaliknya karena semua produk harus ada stempel halal....
Label halal itu membalik kaidah bahwa semua yang ada di dunia ini haram sehingga perlu ada dalil untuk menyatakan itu halal. Ini berbahaya. Sesuatu yang haram itu jumlahnya hanya sedikit, seperti bangkai, babi, dan anjing. Saya punya teman yang berbisnis minuman jahe. Di mana-mana jahe itu halal, tapi ada pembeli yang menanyakan sertifikat halalnya. Ini bisnis kecil sehingga enggak perlu sejauh itu.
Di sisi lain, MUI dianggap kurang responsif terhadap isu aktual, misalnya soal ekologi, kekerasan seksual, dan perdagangan orang. Disertasi Anda menemukan hal serupa?
Saya menyampaikan dalam disertasi bahwa ada fatwa yang tak memberikan solusi memadai. Saya merasa ada hal mendesak yang semestinya menjadi perhatian, seperti isu perempuan dan pekerja migran. Saya pernah meneliti, bukan bagian dari disertasi, fatwa pengiriman tenaga kerja wanita. Ada keanehan kalau membaca sumber hukum dan dalilnya.
Iffatul Umniati Ismail saat ditemui di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, 22 Maret 2024/TEMPO/M Taufan Rengganis
Apa keanehannya?
Judulnya pengiriman, tapi yang menjadi obyek justru perempuan. Disebutkan bahwa perempuan yang pergi ke luar negeri tanpa mahram tak sejalan dengan ajaran Islam. Padahal dia pergi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Saya melihat bahwa perempuan yang pergi ke luar negeri untuk memperjuangkan keluarganya bukan hanya boleh, bahkan itu jihad. Mengapa hal yang ditekankan justru isu mahramnya?
Kenapa fatwa cenderung diskriminatif terhadap perempuan?
Ada persoalan perspektif. Pertama, faktor budaya. Di Madura, perempuan banyak berperan dalam keluarga. Hanya kalangan tertentu, seperti istri kiai dan nyai, yang tak boleh ke luar rumah. Budaya itu membentuk. Kedua, kurangnya wawasan soal besarnya dukungan terhadap perempuan dalam Al-Quran dan hadis. Islam mengakui eksistensi perempuan sebagai manusia seutuhnya. Bacaan seperti itu tak sampai atau tidak dinikmati.
Isu lingkungan juga kurang mendapat sokongan lewat fatwa....
Ada fatwa soal lingkungan, tapi kurang populer. MUI menerima riset dari berbagai pihak saat menggelar konferensi tentang kerusakan lingkungan. MUI terbuka. Saya kira bagus jika suara dan aksi aktivis lingkungan didukung fatwa MUI.
Ada fatwa MUI yang politis, seperti mengenai ucapan Basuki Tjahaja Purnama yang menista agama. Bagaimana pendapat Anda?
MUI telah mendatangkan ahli. Jika saya memakai kacamata husnuzan, fatwa itu murni ijtihad MUI. Ijtihad yang salah mendapat satu pahala, sementara kalau benar dua pahala. Saya mengikuti proses itu dari jauh ketika menyusun disertasi soal fatwa dan melihat lingkup internal MUI tak satu kata. Sebagai fatwa, saya tetap menghormatinya sepanjang perumusannya sesuai dengan prosedur.
Apa otokritik Anda terhadap fatwa tentang penistaan agama itu?
Saya kira lebih bagus kalau redaksinya bisa merangkul atau bisa meminimalkan gap.
Masih soal fatwa yang kontroversial: larangan mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain. Anda setuju dengan itu?
Akar masalah itu terletak pada pandangan bahwa mengucapkan salam dianggap sebagai bentuk ritual atau ibadah, bukan muamalah. Para ulama sangat saklek kalau menyangkut ritual. Jika dilihat sebagai muamalah, tentu boleh mengucapkan salam itu. Pembimbing disertasi saya di Kairo, Profesor Ali Jum’ah, menyatakan kita boleh mengucapkan selamat Natal. Mengucapkan salam itu bahkan disebut mendapat pahala.
Ada saja ulama yang tetap melarang ucapan itu setiap tahun....
Itu kekhawatiran yang tak perlu. Alasan mereka adalah mengucapkan selamat itu bisa mengubah keyakinan. Orang yang mengucapkan selamat itu pada dasarnya bukan mengakui Nabi Isa sebagai Tuhan, melainkan memberikan ucapan bagi mereka yang merayakan.
Apa dalil mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain?
Menjaga hubungan baik dengan tetangga. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, muliakanlah tetanggamu. Ada juga dalil dari hadis yang menyebutkan seseorang tak beriman sebelum mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri. Ini adalah idkholus surur, menyenangkan hati orang lain seperti yang dianjurkan agama.
Jadi boleh mengucapkan selamat Natal?
Saya belajar dari guru saya di Al-Azhar University bahwa mengucapkan selamat Natal adalah hal yang bisa diterima.
Anda tak takut disebut liberal karena pandangan Anda soal fatwa ini?
Tentu tidak selama berniat baik dengan cara yang baik pula. Lagi pula, saya tak hanya memperlihatkan temuan dalam disertasi soal fatwa yang dianggap kurang. Namun ada banyak hal positif dari MUI.
Sejauh apa kita perlu menaati fatwa?
Masyarakat kita adalah masyarakat religius. Mereka akan terus bertanya jika dibiarkan tanpa fatwa. Warga bisa menentukan apakah mau mengikuti atau tidak. Sebab, fatwa itu sifatnya anjuran dan tak mengikat. Selama ini yang memberi jawaban atas solusi keagamaan bukan hanya MUI. Saya dan suami di kampung mungkin tiada hari tanpa menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat.
Apa contohnya?
Kami menjawab pertanyaan dari urusan sebelum kelahiran anak sampai perkara kematian. Ada yang minta didoakan agar cepat hamil. Sebagai perbandingan, Darul Ifta atau lembaga fatwa di Kairo selalu dipenuhi antrean orang-orang yang ingin bertanya urusan keagamaan. Bahkan mereka pegang nomor antrean dan kebanyakan soal talak. Saya pernah datang ke kantor Darul Ifta yang memasang pengumuman larangan bertanya soal talak.
Apa kesamaan masyarakat Indonesia dengan Mesir mengenai kepatuhan terhadap fatwa?
Tingkat religiositasnya sangat tinggi. Ini memang perlu disikapi. Hal yang berkaitan dengan muamalah itu halal selama tak ada dalil yang melarangnya. Dengan demikian, masyarakat tak sedikit-sedikit meminta fatwa.
MUI dinilai terlalu otoritatif dalam urusan fatwa, sedangkan kredibilitas ulamanya kerap dipersoalkan. Anda sepakat?
Ulama yang mengurusi fatwa memang setidaknya harus punya tiga kompetensi. Pertama, fahmul dalih, memahami dalil sumber hukum Islam. Kedua, fahmul waqi', yang berarti mufti atau ulama pembuat fatwa tidak dibenarkan menetapkan suatu fatwa tanpa mengetahui realitas. Ketiga, fahmul manhaj, mengetahui prosedur dan metode pembuatan fatwa.
Apakah kompetensi itu tecermin dalam fatwa MUI?
Para ulama di MUI, khususnya Komisi Fatwa atau bidang yang terkait dengan penetapan fatwa, insyaallah bisa membuat fatwa yang dibutuhkan masyarakat jika punya kompetensi. Persoalannya, terdapat banyak organisasi di MUI sehingga perlu ada upaya akomodasi untuk merepresentasikannya.
Politik akomodasi itu membuat ulama tak kompeten bisa ikut merumuskan fatwa?
Saya menyebutkan dalam disertasi bahwa MUI berupaya memadukan keberagaman anggotanya. Namun, dalam banyak kasus, justru ada kecondongan ke organisasi yang punya kedekatan dengan MUI. Saya pernah ikut ijtimak ulama MUI untuk merumuskan fatwa dan ada peserta yang datang dengan pengetahuan kosong. Tak semua peserta datang dengan kompetensi memadai. Diskusi yang berkembang menjadi kurang efektif karena ulamanya banyak sekali.
Ulama NU, Mustofa Bisri, mengkritik status MUI tak jelas: organisasi kemasyarakatan atau lembaga pemerintah. Bagaimana semestinya kedudukan lembaga ini?
Status lembaga fatwa di luar negeri berbeda-beda. Lembaga fatwa di Mesir berada di bawah Kementerian Hukum. Ada juga lembaga fatwa di bawah Al-Azhar University. Keduanya bisa berbeda pendapat. Karena MUI mencantumkan nama "Indonesia", kesannya ini lembaga pemerintah. Kita tahu MUI tak seperti itu statusnya.
Iffatul Umniati Ismail
Tempat dan tanggal lahir:
Tegal, Jawa Tengah, 25 Maret 1977
Pendidikan:
- Sarjana hingga doktoral di Al-Azhar University, Kairo, Mesir
Aktivitas dan profesi:
- Pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, Banten
- Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Kabupaten Sampang, Jawa Timur
Perlu menegaskan status kelembagaan MUI?
MUI jangan mengatasnamakan lembaga pemerintah, meski ada nama Indonesia-nya. Sebagaimana fatwa lembaga lain, hasil fatwa MUI tak mengikat.
Bagaimana perumusan fatwa di Bahtsul Masail NU, lembaga yang juga Anda ampu?
Peserta sidang Bahtsul Masail, ya, kiai semua karena berasal dari satu warna. Diskusi yang berkembang soal dalil dan rujukan kitabnya.
Anda aktif pula di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), yang juga menetapkan fatwa. Apa bedanya dengan MUI?
Di KUPI, sebelum penetapan fatwa, ada deskripsi yang utuh berdasarkan kajian. Kami meneliti dan tak berdasarkan asumsi. Ketika ingin menyelesaikan persoalan lewat fatwa, kami turun ke lapangan, meneliti, dan mencari referensi yang otoritatif. Maka jawaban yang kami hadirkan itu sesuai dengan kebutuhan. MUI kurang dalam urusan seperti ini. Memahami persoalan secara memadai memang perlu data lapangan yang valid.
Apa saran Anda agar MUI lebih jernih dalam menetapkan fatwa?
Saya menyarankan dalam disertasi bahwa MUI berfokus pada kepakaran. Komisi Fatwa bukan tempat untuk mengakomodasi berbagai organisasi yang ada di MUI. Unsur mengakomodasi itu bisa dilakukan di komisi lain. Sedangkan Komisi Fatwa harus memperhatikan kompetensi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kita Boleh Mengucapkan Selamat Natal"