Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masa tunggu Prabowo Subianto sebagai presiden akan makin panjang.
Banyak program pemerintah yang terombang-ambing ketidakpastian politik.
Kurs rupiah juga terancam oleh rencana kenaikan suku bunga The Fed.
INDONESIA kini sedang berada dalam ketidakpastian politik. Pada 20 Maret 2024, Komisi Pemilihan Umum sudah menetapkan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih. Namun Prabowo masih harus sabar menunggu hingga tujuh bulan mendatang sebelum resmi masuk ke Istana Negara sebagai Presiden Republik Indonesia, 20 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu tunggu ini pun bakal makin mulur tanpa kejelasan jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan sengketa hasil pemilihan presiden yang menyoal kemenangan Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masa penantian yang relatif panjang ini berpotensi menimbulkan banyak kerumitan. Joko Widodo secara resmi masih menjadi presiden. Berbagai keputusannya selama masa penantian ini tentu juga akan terasa dampaknya di masa-masa mendatang. Pemerintahan Prabowo kelak yang harus menanggung konsekuensinya. Sementara itu, belum tentu Prabowo sepaham dengan Jokowi dalam pembuatan berbagai kebijakan tersebut.
Pilihan kebijakan yang berpotensi menjadi kontroversi pun satu demi satu mulai muncul ke ranah publik. Misalnya proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN. Soedradjad Djiwandono, mantan Gubernur Bank Indonesia yang juga salah satu penasihat Prabowo di bidang ekonomi, menyatakan realisasi program makan siang gratis yang merupakan janji kampanye Prabowo lebih penting ketimbang pembangunan ibu kota baru.
Pandangan ini jelas 180 derajat berlawanan dengan kebijakan Jokowi yang boleh dikata habis-habisan mendorong pembangunan ibu kota baru. Alokasi anggaran untuk proyek mercusuar ini selalu menjadi prioritas pemerintahannya yang tak boleh terganggu. Pemerintah pun tak ragu menerbitkan berbagai peraturan untuk memberi berbagai insentif kepada swasta agar ikut berinvestasi. Sekadar catatan, proyek ini memang belum berhasil menarik nama-nama besar dari luar negeri untuk menanamkan kapital.
Langkah mempertentangkan dua program ini sebetulnya mengandung ironi. Sebab, keduanya sama-sama tidak populer di mata pasar. Pembangunan istana baru yang megah di tengah hutan dan di atas lahan gambut jelas pilihan yang keliru jika pemerintah memang berniat mendorong pertumbuhan ekonomi. Ada banyak sektor lain yang lebih produktif dan memiliki daya dorong lebih besar.
Sekadar berandai-andai, jika puluhan triliun rupiah yang sudah mengucur ke ibu kota baru dipakai untuk membangun sistem angkutan umum modern di kota-kota besar, misalnya, tak terbayangkan betapa besar dampak positifnya. Mobilitas masyarakat meningkat dengan efisien sehingga mendorong pertumbuhan pesat di mana-mana.
Sedangkan ihwal program makan siang gratis, pasar lebih menimbang risiko finansial yang amat serius. Memang, rincian program itu belum jelas benar. Namun para analis kini mulai menghitung bagaimana program ini berisiko menggelembungkan defisit anggaran pemerintah. Jika benar-benar berjalan sepenuhnya, program itu akan membutuhkan dana sekitar Rp 450 triliun per tahun sebagai beban permanen. Indonesia bisa terperosok ke jebakan fiskal yang amat dalam.
Soal lain yang juga menimbulkan ketidakpastian adalah rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), yang sedianya mulai berlaku pada awal 2025. Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan pada 2021.
Meski begitu, Prabowo sudah memberi sinyal. Meski ingin melihat rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto yang lebih besar, Prabowo tak ingin mencapai peningkatan itu melalui kenaikan tarif. Walhasil, rencana kenaikan tarif PPN itu masih terombang-ambing menanti keputusan pemerintahan baru.
Celakanya, masa penantian politik yang penuh ketidakjelasan ini datang bersamaan dengan gejolak pasar global yang juga sedang terombang-ambing kemungkinan penurunan bunga The Federal Reserve, yang entah kapan bakal terjadi. Kombinasi dua sentimen negatif ini cukup efektif mendorong keluarnya dana asing dari Indonesia untuk mencari aman. Walhasil, kurs rupiah besar kemungkinan belum bisa lepas dari tekanan, sampai ketidakpastian ini berakhir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ketidakpastian Politik Mengganggu Pasar Keuangan"