SIAPA yang bakal jadi orang kuat di belakang Cory Aquino? Dalam sebuah analisa Radio Suara Amerika, orang menunjuk Juan Ponce Enrile. Bukan cuma karena ia menteri pertahanan, yang bersekutu dengan pimpinan militer Jenderal Fidel Ramos. Tapi karena watak Enrile sendiri. Seluruh riwayat hidupnya adalah kisah kekerasan hati untuk meraih hal-hal yang hampir tak terjangkau. Sampai usianya 23 tahun, namanya bukanlah Enrile. Namanya Juanito Furaganan. Ia memakai nama keluarga ibunya. Sang ibu konon seorang wanita penjual ikan. Suatu hari wanita udik ini dihamili seorang politikus terkemuka. Anaknya yang lahir di 1 Februari 1924 itu tak hendak diakui ayahnya Don Alfonso Ponce Enrile. Tak urung, si anak gelap hidup terpisah dari kementerengan: dengan kaki tanpa sepatu ia menjalani bukit-bukit Cagayan, di Filipina Utara. Perang Dunia II pecah. Juanito, sebagai pemuda usia 20-an, bergabung dengan gerakan melawan Jepang. Ia ditangkap. Ia bisa melarikan diri. Ketika perang selesai, dan ia berumur 21, pemuda tanpa bapak ini pun berangkat ke Manila yang jauh, dengan membonceng dan jalan kaki. Di ibu kota ia datang ke rumah Don Alfonso Ponce Enrile. Di depan pengacara tenar itu ia langsung menyatakan, "Saya adalah putra Tuan." Don Alfonso akhirnya mengakui kenyataan itu. Pada umur 23 tahun pemuda itu -- dengan latar belakang pendidikan udik dimasukkannya ke Universitas Ateno de Manila, sebuah pendidikan tinggi yang eksklusif. Namanya telah diganti dengan Juan Ponce Enrile. Dan ia tak sembarangan membawa nama itu: Juan lulus cemerlang ketika ia merampungkan studi hukumnya di University of the Philippines. Dari sini ia berangkat ke AS. Ke jurusan hukum di Harvard University, tentu saja. Sepulang dari sana, ia jadi partner ayahnya. Di tahun 1964, seorang politikus muda yang jadi presiden Senat memintanya jadi stafnya. Politikus itu adalah Ferdinand Marcos - orang yang kemudian tak terpisahkan dari riwayat Enrile. Ketika Marcos dipilih jadi presiden pada 1966, Enrile pun jadi menteri muda keuangan, dengan bidang tugas yang luas. Desember 1968 mengantarnya ke pos yang lebih tinggi: menteri kehakiman. Dan puncaknya terjadi dua tahun kemudian: Enrile diangkat jadi menteri pertahanan. Dalam posisi itu, Enrile ikut mengantar Filipina ke bawah Undang-Undang Darurat Perang, yang menyebabkan Marcos begitu berkuasa. Dalam posisi itu pula, Enrile dengan segera dianggap jadi orang No. 2 terkuat. Di sisi lain, anak haram yang dulu tak bersepatu ini juga tengah naik bintang. Sebagai Ketua United Coconut Planters Bank, ia jadi jutawan besar pula, dengan istri cantik, bekas aktris Christina Castener. Rumahnya tergolong paling mencorong di Manila, dan ia mengakui punya harta kekayaan di AS. Tak heran bila ia merasa berutang budi pada Marcos. Tapi dengan raut muka lonjong keras, gerak jantan, dan ambisi yang tak tersembunyi, ia teramat menonjol. Segera saja ia terbentur pada sejumlah persaingan wibawa. Terutama dengan Imelda, istri Presiden yang punya hasrat kekuasaan tersendiri. Pelan-pelan Marcos sendiri mulai mencurigainya. Di tahun 1981, ketika berkunjung ke Arab Saudi, Marcos menitipkan pesan agar bila terjadi apa-apa pada dirinya, maka Jenderal Ver -- sepupu jauh dan bekas ajudannya yang kemudian diangkat jadi KSAB -- yang akan memegang pimpinan. Enrile kecewa. Apalagi ketika pada 1983, Marcos menegaskan: menteri pertahanan tak boleh kasih perintah kepada militer. Mungkin Marcos khawatir jika Enrile, seperti kemudian ternyata di tahun 1983, menyatakan ingin jadi presiden. Lagi pula, Enrile terkenal bukan Pak Turut, meskipun ia menyatakan diri loyalis. Sebuah lelucon pernah diceritakan seorang menteri Marcos: "Jika Marcos minta kami loncat dari tingkat tujuh, maka Ver langsung akan lari dan loncat. Saya akan tanya dulu kenapa, baru loncat. Tapi Enrile? Dia akan tanya, berdebat sebentar, dan cari pintu ke luar." Dua pekan lalu cerita itu ternyata hampir benar, dengan tambahan: Enrile cari pintu ke luar dan Marcoslah yang loncat. Masih harus ditunggu apa begitu pula nanti sikap Enrile kepada bosnya yang baru: Corazon Aquino. Pada Maret 1985 ia pernah mengatakan kepada wartawan The Straits Times tentang 20 tahun lamanya ia duduk dalam pemerintahan. "Saya tahu tujuan hidup seseorang harus ada batasnya." Tapi bagi Enrile, orang mudah bertanya: Sudah sampai di batas itukah, Juan Ponce?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini