SANKSI ekonomi yang dilancarkan AS dan sekutunya mulai
menyakitkan Iran. Ternyata besar pengaruhnya Presiden Abolhassan
Bani Sadr sendiri mengakuinya. Ia bahkan menyebut Iran sedang
menghadapi periode yang paling buruk di bidang ekonomi, politik
dan militer. Sejak embargo AS itu berlaku, inflasi naik sampai
40%, sedang harga barang melonjak 50%.
"AS sedang mengharapkan bahwa dengan inflasi ini kita akan
hancur," kata Bani Sadr. Itu tak hanya mencemaskan Bani Sadr,
tapi juga Ayatullah Khomeini, di saat pemerintah Iran masih
direpotkan oleh urusan sandera Amerika yang sudah disekap selama
8 bulan-dan pertentangan di dalam negeri sendiri.
Akhir Juni, Khomeini mengecam pemerintah, karena terlalu lamban
dalam memecahkan masalah yang dihadapi negara itu. Ia
mengemukakan keheranannya mengapa presiden dan Dewan Revolusi
tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya. "Apabila
pemerintah tidak bisa bertindak, mereka hendaknya mengundurkan
diri. Kami bisa mencari penggantinya yang benar-benar efektif,"
kata sang ayatullah.
Kecaman itu tampaknya tidak melulu ditujukan kepada Bani Sadr.
Koordinasi antara para menteri memang tidak ada. Kabinet di
bawah pimpinan seorang perdana menteri belium terbentuk. Masih
ada sengketa mngenai siapa yang berhak menunjuk perdana
menteri. Kalangan mullah yang menguasai Partai Republik Islam
(PRI) yang memegang mayoritas di parlemen (Majlis) menghendaki
merekalah yang menunjuknya. Bani Sadr merasa ia yang berhak.
Memang Bani Sadr pernah mengajukan calon perdana menteri kepada
Khomeini. Sang Imam rupanya tak setuju. Akibatnya ialah Bani
Sadr langsung mendapat kecaman keras dari kalangan mullah.
Keadaan ini antara lain memperlemah kewibawaan pemerintah,
meskipun sebelumnya antara kelompok Bani Sadr dan kaum mullah
sudah 'mengisap pipa perdamaian'. Bahkan Ayatullah Mohammed
Behesti, tokoh utama PRI juga sudah mengumumkan akan mengadakan
makan siang sekali atau 2 kali seminggu dengan Bani Sadr.
Mendengar kecaman Khomeini, Presiden Iran itu konon langsung
mengirimkan surat permohonan berhenti. Ia rupanya tidak menduga
sang ayatullah akan sekeras itu mengecam pemerintahnya. "Setiap
waktu bila saya melanggar garis revolusi dan ajaran agama, dia
(Khomeini) boleh mengumumkannya," kata Bani Sadr yang belum
dipecat kepada koran Bamdad.
Ini suatu pertanda bahwa pertentangan di dalam tubuh kaum
revolusioner Iran semakin menajam. Para pengamat di Teheran
sulit untuk menebak di mana sebenarnya posisi Khomeini. Sedang
garis keras yang selama ini dijalankan kalangan mullah tampaknya
semakin dominan. Terutama yang menyangkut masalah 50 orang
sandera Amerika.
Dari pernyataannya belakangan ini, Pani Sadr tampaknya mulai
bersikap keras pula dalam menghadapi masalah sandera Amerika
itu. Bahkan ia menuduh AS sengaja menggunakan masalah sandera
ini tekanan untuk menggulingkan pemerintah Iran dari dalam.
Namun keruwetan yang dihadapinya, tentu saja, banyak bersumber
dari sikap Iran sendiri yang tak menentu. Terutama mengenai
tuntutan pemulangan Mohammad Reza Pahlavi ke Iran. Bekas Syah
itu yang sekarang ini coma, dalam keadaan gawat di rumah sakit
militer Maadi, Kairo, bagaimana pun sudah lepas dari
tanggungjawab AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini