Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Peluru di Hari Hak Asasi

Perempuan jurnalis Afganistan tewas diberondong peluru segerombolan orang tak dikenal. Kekerasan terhadap warga sipil meningkat di tengah perundingan damai pemerintah dan Taliban.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Upacara pemakaman jurnalis Malalau Maiwand yang tewas tertembak di Jalababad, Afghanistan, 10 Desember 2020. REUTERS/Parwiz

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah Afganistan didesak untuk menangani keamanan jurnalis setelah seorang perempuan jurnalis dibunuh.

  • Sebanyak 10 jurnalis Afganistan tewas dalam serangan yang diduga dilakukan Taliban.

  • Kekerasan terhadap sipil meningkat di tengah perundingan damai antara pemerintah dan Taliban.

SEPULUH bulan sebelum ditembak, Malala Maiwand berbicara tentang hubungan hak asasi manusia dan perdamaian. “Tak ada kehidupan tanpa perdamaian,” kata jurnalis dan aktivis hak-hak perempuan Afganistan itu dalam wawancara dengan Radio Free Afghanistan pada Februari 2020. “Berlawanan dengan perang, perdamaian berarti kamu tidak hidup dalam ketakutan akan dibunuh terus-menerus. Hak atas pendidikan, tempat tinggal, kesehatan, kerja, dan kebebasan berbicara hanya dapat dilindungi bila ada perdamaian di masyarakat dan negeri ini.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tepat pada Hari Hak Asasi Manusia sedunia, 10 Desember lalu, perempuan 26 tahun itu dibunuh segerombolan orang tak dikenal. Pagi itu, berondongan peluru menyirami Maiwand dan sopirnya, Mohammad Tahir, ketika mereka hendak masuk ke mobil yang terparkir di depan rumah Maiwand. Mobil itu seharusnya membawa mereka ke kantor Enikas, stasiun televisi swasta tempat Maiwand bekerja, di Jalalabad, ibu kota Provinsi Nangarhar, Afganistan. Sejauh ini, belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas insiden tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua hari kemudian, polisi mengklaim telah menangkap pelakunya, tapi belum memberikan keterangan apa pun tentang mereka. “Penangkapan para pembunuh Malala Maiwand sangat penting bagi pemerintah Afganistan karena Maiwand bukan hanya wartawan, tapi juga perempuan pemberani, dalam situasi yang paling sulit, yang tak gentar menyampaikan suara perempuan Afganistan,” kata Wahid Omer, penasihat presiden.

Malala Maiwand saat membawakan acara Talk Show di stasiun televisi Enikass, April 2020. Youtube/Enikass

Keluarga Maiwand ingin melihat bukti yang menunjukkan bahwa tersangka yang ditangkap adalah memang pelaku penyerangan. “Gubernur atau beberapa pejabat lain mungkin cuma mau menunjukkan sesuatu agar masyarakat tenang,” ujar Gul Mullah, ayah Maiwand, kepada media Afganistan, Tolo News, Ahad, 13 Desember lalu.

“Dua tersangka itu ditahan karena membunuh Malala, tapi kami tidak yakin,” ucap Bilal Hamad, adil lelaki Maiwand. “Tiga hari setelah penahanan, pemerintah belum menyampaikan isi pengakuan mereka di media sosial.”

Gubernur Nangarhar Zia-Ul-Haq Amarkhil menyatakan temuan dari para tersangka akan segera diumumkan. “Informasi awal mengindikasikan Daesh berada di balik serangan ini, tapi sebenarnya ini perbuatan Taliban,” tuturnya. Daesh adalah sebutan bagi Negara Islam (IS) dalam bahasa Arab. Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban, membantah kabar bahwa kelompoknya terlibat dalam serangan ini.

Maiwand menjadi jurnalis keempat yang dibunuh di Afganistan dalam sebulan terakhir. Korban-korban lain juga tewas karena ditembak atau dibom. Sepanjang tahun ini, sepuluh wartawan tewas di kawasan konflik itu.

Malala Maiwand, yang namanya dipungut dari nama perempuan pahlawan Afganistan abad ke-19, adalah pengasuh acara televisi Enikas. Selain membacakan berita dan meliput untuk Enikas, dia menjadi satu-satunya perempuan komentator kriket, olahraga paling populer di negeri itu. Ini pula yang membuatnya sangat tersohor.

Aziz Tassal, Direktur Kabul Press Club, menuturkan bahwa nama Maiwand melejit sejak tiga tahun lalu setelah menyampaikan pidato di depan Presiden Republik Islam Afganistan Ashraf Ghani yang mengangkat masalah korupsi di Nangarhar. “Anda dikelilingi oleh orang-orang korup,” kata Maiwand kepada Ghani, seperti ditirukan Tassal. Sebagai aktivis, ia juga gencar mempromosikan hak-hak perempuan di berbagai lembaga non-pemerintah.

Di keluarganya, Maiwand bukan korban pertama. Lima tahun lalu, ibunya, yang juga aktivis, dibunuh orang tak dikenal. “Kami siap berkorban lebih banyak untuk tanah air kita,” ucap Bilal Hamad dalam pemakaman Maiwand di Jalalabad. “Musuh kita akan kehabisan peluru, tapi mereka tak dapat menghentikan kita semua.”

Paman Maiwand, Qari Ali Khan, menyatakan keponakannya itu telah beberapa kali menerima ancaman sebelum pembunuhan terjadi. “Dia meliput untuk Enikas di daerah-daerah perdesaan selama bertahun-tahun. Tapi saya kaget bahwa dia justru terbunuh di jantung kota ini,” ujarnya kepada wartawan seusai pemakaman. “Saya bangga terhadap keponakan saya, yang menjadi martir ketika sedang bertugas.”

Nangarhar salah satu wilayah Afganistan yang didera konflik bertahun-tahun. Milisi Taliban dan Negara Islam bersaing memperebutkan wilayah ini. Pasukan internasional juga beroperasi dalam skala besar di kawasan tersebut.

Maiwand dibesarkan di Nangarhar setelah kekuasaan Taliban jatuh. Dia sangat menentang kembalinya Taliban dan kerap menyampaikan pandangannya secara terbuka. Menjelang perundingan damai antara Taliban dan pemerintah pada Februari lalu, dia menyebut masa kekuasaan Taliban pada 1990-an sebagai “zaman kegelapan” bagi perempuan Afganistan. Pada masa itu, Taliban menerapkan syariat Islam versi mereka yang menindas kaum Hawa. Perempuan, misalnya, dilarang bersekolah dan bekerja. Taliban juga menculik dan menjual para perempuan sebagai budak seks.

“Tak ada orang Afganistan, khususnya perempuan, yang dapat menerima kembalinya rezim Taliban. Saya ingin mendapat jaminan dari Anda sebagai pemimpin pemerintahan,” katanya kepada Hamdullah Mohib, penasihat keamanan nasional pemerintah, dalam sebuah pertemuan dengan elite politik Nangarhar, Juli lalu. “Selepas perjanjian damai dengan Taliban, akankah saya diizinkan berpartisipasi dalam pertemuan seperti ini, memegang mik dan bertanya seperti yang saya lakukan sekarang?”

Kematian Maiwand terjadi hanya beberapa hari setelah Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Uni Eropa mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam penyerangan terhadap para jurnalis. Namun aparat keamanan Afganistan jarang menemukan pelaku pembunuhan jurnalis dalam dua dekade terakhir.

Sebelum Maiwand, pada 12 November lalu, Elias Dayee, koresponden Radio Liberty, yang didanai pemerintah Amerika Serikat, tewas dibom di Provinsi Helmand. Dayee pernah menyampaikan kepada Human Rights Watch bahwa dia mendapat banyak ancaman pembunuhan yang menuntutnya berhenti meliput operasi militer Taliban. Yama Siawash, pembawa acara televisi Tolo News yang baru saja pindah kerja menjadi penasihat komunikasi bank sentral Afganistan, juga terbunuh dalam sebuah ledakan di Kabul lima hari sebelumnya.

Kekerasan terhadap jurnalis, politikus, dan pembela HAM di sana dilaporkan memburuk dalam beberapa bulan terakhir. Inspektur Jenderal Khusus Amerika untuk Rekonstruksi Afganistan (SIGAR) menyebutkan ada kenaikan 50 persen “serangan yang dimulai oleh musuh” dibanding tiga bulan sebelumnya. Data SIGAR mencatat, pada kuartal ketiga tahun ini, 2.561 orang sipil menjadi korban dengan 876 di antaranya terbunuh. Pada kuartal kedua, terdapat 1.787 korban dengan 582 orang tewas.

Jumlah korban sipil terendah dalam dua tahun terakhir tercatat pada kuartal pertama tahun ini, yakni 1.309 orang dengan 510 di antaranya tewas. Ini masa ketika wakil Afganistan, Amerika, dan Taliban mencapai kesepakatan damai dalam pertemuan di Doha, Qatar, pada 29 Februari. Sebagai bagian dari kesepakatan, Amerika mulai menarik pasukannya secara bertahap dari Afganistan.

Kekerasan yang terus meningkat kini mendorong para pihak untuk kembali bertemu di Doha. Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Mark Milley datang sendiri ke pertemuan itu. “Yang paling penting dalam perundingan yang saya lakukan dengan Taliban dan pemerintah Afganistan adalah perlunya segera mengurangi kekerasan,” tutur Milley pada Kamis, 17 Desember lalu. “Yang lain bergantung pada hal tersebut.”

IWAN KURNIAWAN (TOLO NEWS, US NEWS, BBC, CGTN, RADIO FREE AFGHANISTAN)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus