Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Diminta Presiden Jokowi sejak 2016, sejumlah kementerian belum juga merampungkan kajian tuntas tentang pengendalian tembakau.
Masing-masing kementerian terus berselisih paham soal peta jalan industri hasil tembakau dan strategi untuk mengakhiri industri tembakau di Indonesia.
Bappenas menyusun studi terbaru tentang pengendalian tembakau dan menyodorkan strategi keluar bagi industri dan petani tembakau.
YANG diingat oleh Nirwala Dwi Heryanto dari rencana peta jalan industri hasil tembakau adalah keributan. Dalam setiap rapat, yang selalu melibatkan pejabat lintas kementerian, setiap peserta selalu membawa kepentingan sektoral masing-masing. “Baru saja rapat dimulai, sudah ada yang tanya, ‘Sebentar, ini road map-nya siapa?’” kata Nirwala, Direktur Teknik dan Fasilitas Cukai Kementerian Keuangan, Rabu, 16 Desember lalu, di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memang mulai intens membahas peta jalan industri hasil tembakau sejak awal 2020. Pembahasan berlanjut sepanjang tahun kendati pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) meledak. Hanya caranya yang berubah, dari semula tatap muka menjadi rapat virtual alias daring. “Memang harus duduk bersama dan ngobrol,” ujar Nirwala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski mengaku lelah berdebat, Nirwala mafhum akan sikap keras setiap kementerian. Perbedaan posisi mereka tak lepas dari tarik-menarik pemangku kepentingan di setiap sektor yang diwakili kementerian tersebut.
Kementerian Pertanian, misalnya, memang bertugas menjamin produksi tembakau tidak anjlok sekaligus menjaga penghidupan petani. Kementerian Perindustrian bertugas menjaga industri rokok tidak jeblok. Adapun Kementerian Ketenagakerjaan bertugas menjaga ketersediaan lapangan kerja. Tiga kepentingan ini berhadapan dengan Kementerian Kesehatan, yang menginginkan angka prevalensi perokok ditekan demi kesehatan masyarakat dan turunnya beban keuangan pemerintah untuk membiayai perawatan penyakit akibat rokok.
Kementerian Keuangan, menurut Nirwala, berada di tengah-tengah dan menjalankan peran ganda. Kementerian ini menerapkan tarif cukai hasil tembakau—yang selalu naik saban tahun—untuk mengendalikan konsumsi rokok. Namun Kementerian Keuangan juga menggunakan cukai tersebut sebagai pundi-pundi penerimaan negara.
Gara-gara peran ganda itu, Kementerian Keuangan saban tahun ketiban apes: didemo petani dan industri rokok yang berkeberatan cukai naik terus. Pada saat yang sama, mereka juga ditekan kelompok antitembakau yang mendesak tarif cukai naik setinggi-tingginya. “Tahun ini paling berat. Sudah empat tahun berturut-turut proses kenaikan cukai hasil tembakau harus sampai ke meja presiden. (Padahal) seharusnya ini level menteri saja,” ucap Nirwala.
Setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kebijakan cukai hasil tembakau 2021 pada 10 Desember lalu, Nirwala mengaku plong. Tapi kelegaan itu hanya berlaku sesaat. Perdebatan serupa pasti bakal berulang tahun depan—dan tahun-tahun berikutnya—bila peta jalan industri tembakau tidak kunjung rampung.
Anggota staf khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengklaim area kebijakan tarif cukai hasil tembakau 2021 sebetulnya cukup luas. Tidak hanya berbicara tentang kenaikan tarif—yang rata-rata naik 12,5 persen—kebijakan cukai tembakau tahun depan juga mengubah skema dana bagi hasil cuka hasil tembakau (DBHCHT). Menurut Yustinus, skema yang baru bakal memperkuat perlindungan petani tembakau dan buruh industri rokok.
Besaran dana bagi hasil untuk memperkuat petani dan buruh, misalnya, kini dicantumkan eksplisit. Paling sedikit 50 persen DBHCHT yang diterima pemerintah daerah penghasil tembakau harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, buruh tani tembakau, dan buruh rokok. “Ini mungkin pertama kalinya bauran kebijakannya terlihat jelas,” tutur Yustinus.
•••
KETEGANGAN antara kubu industri rokok dan kubu pemerhati kesehatan publik sebenarnya memanas sejak sejumlah negara menyepakati Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Berlaku sejak 2003, perjanjian internasional di bawah Badan Kesehatan Dunia (WHO) ini telah mengikat 188 negara per 2016. Kerangka kerja FCTC mewajibkan negara yang meratifikasinya melaksanakan sejumlah hal, yakni melarang segala bentuk iklan rokok; melarang pelabelan menyesatkan pada kemasan rokok seperti light, mild, dan rendah tar; menyertakan peringatan bahaya rokok pada 30 persen kemasan rokok; membuat kawasan tanpa rokok secara total; menaikkan secara bertahap pajak tembakau dan cukai; serta melarang masuknya tembakau bebas bea.
Indonesia satu-satunya negara di Asia yang belum mengikuti dan meratifikasi FCTC. Namun pemerintah telah mengadopsi sejumlah ketentuan dalam FCTC. Adopsi itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, jumlah perokok di Indonesia mencapai 60 juta orang atau 22,7 persen dari populasi 264 juta jiwa. Sedangkan angka prevalensi perokok anak mencapai 9,1 persen. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 menargetkan tingkat prevalensi perokok anak (10-18 tahun) turun menjadi 8,7 persen pada 2024.
Masalahnya, instrumen untuk mencapai target itulah yang masih bolong. Cara yang selama ini dianggap paling efektif, yaitu kenaikan tarif cukai hasil tembakau, rupanya tidak menjamin penurunan konsumsi rokok. Badan Kebijakan Fiskal mencatat, kendati selama 2013-2018 cukai hasil tembakau selalu naik—hanya pada 2014 tidak naik—angka prevalensi perokok anak dan remaja tetap meningkat, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Meski kurang efektif menekan jumlah perokok anak, kenaikan tarif cukai tembakau berpengaruh langsung pada pertumbuhan industri tembakau. Pada 2019, ketika tidak ada kenaikan tarif cukai, produksi industri rokok langsung meningkat 7,3 persen, dari 332,4 miliar batang pada 2018 menjadi 365,5 miliar batang pada 2019.
Karena itu, kalangan industri dan petani tergolong yang paling keras menolak kenaikan tarif cukai—nyaris setiap tahun. Namun konsistensi kenaikan cukai agak menyadarkan mereka. Kenaikan tak bisa dilawan.
Daripada ribut saban tahun, industri mulai terbuka dan mendesak agar dibuat peta jalan industri hasil tembakau yang melibatkan semua kepentingan. “Paling tidak kami punya jaminan untuk berusaha,” kata Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Henry Najoan, Oktober lalu. “Tidak temporer ribut, temporer ribut.”
•••
ABDILLAH Ahsan berjumpa dengan Pungkas Bahjuri Ali, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dalam konferensi kesehatan publik yang digelar di Bangkok, Thailand, pertengahan 2018. Saat bertemu dengan Abdillah, Pungkas sudah mendapat tugas dari bosnya ketika itu, Bambang Brodjonegoro, untuk menyusun kajian lintas sektor tentang pengendalian tembakau.
Abdillah, pengajar dan peneliti di Lembaga Demografi Universitas Indonesia, bertahun-tahun meneliti hubungan ekonomi dengan pengendalian tembakau. Dia banyak mempublikasikan dan mengkampanyekan bahaya rokok bagi kesehatan dan perekonomian jangka panjang.
Seusai perjumpaan itu, Pungkas meminta Abdillah membantu studi pengendalian tembakau di Bappenas. Studi itu merupakan kelanjutan dari perintah Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada Juni 2016, yang membahas FCTC. Jokowi ingin ada kajian mendalam tentang plus-minus FCTC. Kajian diperlukan karena ada 7 juta orang yang menggantungkan hidupnya pada industri hasil tembakau.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, industri hasil tembakau melibatkan sekitar 500 ribu keluarga petani—3 juta orang bersama anggota keluarga petani—200 ribu buruh pabrik rokok, dan jutaan pekerja yang berada dalam rantai pasok industri rokok. “Saya membantu studi tentang penyediaan solusi bagi pihak-pihak yang terkena dampak pengendalian tembakau,” ujar Abdillah lewat pertemuan virtual, Jumat, 18 Desember lalu.
Abdillah dan timnya lalu berkeliling ke daerah penghasil tembakau dan industri rokok. Dari studi lapangan tersebut, Abdillah menyimpulkan ada dua solusi bagi mereka yang terkena dampak pengendalian tembakau. Salah satunya opsi bertahan bagi para petani dan buruh yang ingin tetap bekerja di sektor pertembakauan. Caranya: mendesak kementerian teknis agar meningkatkan kemampuan mereka baik dalam produksi tembakau maupun penguatan pasar. Pengendalian tembakau impor menjadi salah satu solusi yang dianjurkan.
Hasil penelitian terbaru Abdillah di jurnal Globalization and Health menyimpulkan bahwa pertumbuhan industri rokok nasional sejak 2005 sampai 2016 tidak merembet ke kesejahteraan petani. Dalam penelitian berjudul “Comparison of tobacco import and tobacco control in five countries: lessons learned for Indonesia” itu, Abdillah mengangkat fakta menarik. Meski produksi rokok naik 54 persen, dari 222 miliar batang pada 2005 menjadi 342 miliar batang pada 2016, produksi tembakau malah turun 17 persen, dari 153 ribu ton pada 2005 menjadi 127 ribu ton pada 2016.
Dengan kata lain, yang naik justru tembakau impor, dari 48 ribu ton pada 2005 menjadi 82 ribu ton pada 2016. Jenis tembakau yang paling banyak diimpor pun Virginia—42 ribu ton pada 2016. Padahal varietas ini juga banyak ditanam petani lokal. Kenaikan impor itu menyebabkan, dari 127 ribu tembakau lokal, hanya 99 ribu ton yang dibeli industri.
Temuan Abdillah diamini para petani. “Seharusnya, ketika cukai naik, pemerintah langsung mengendalikan impor,” ucap Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Agus Parmuji lewat sambungan telepon pada Jumat, 18 Desember lalu.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementerian Pertanian Hendratmojo Bagus Hudoro menyebutkan pemerintah sebetulnya sudah punya instrumen pengendalian impor tembakau lewat Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 Tahun 2019. Peraturan itu mewajibkan industri menyerap tembakau lokal, dua kali dari kebutuhan impornya. Namun industri memprotes. “Ini dianggap peraturan yang memproteksi,” tutur Bagus, Rabu pekan lalu, 16 Desember. “Kata pengusaha enggak boleh.”
Kementerian Pertanian sedang mengubah peraturan tersebut. Istilah kewajiban serap akan diganti dengan kemitraan. Industri wajib bermitra dengan petani tembakau. Ketika akan mengimpor, industri tinggal melaporkan serapan tembakau lokal dari mitra mereka. “Ini bukan untuk menekan industri, tapi mendorong agar bahan baku dalam negeri itu diserap dulu.”
Solusi kedua yang ditawarkan Abdillah dalam studi Bappenas adalah strategi keluar dari industri tembakau. Abdillah mengusulkan pemerintah menyiapkan mitigasi bagi petani yang hendak berganti komoditas ataupun beralih profesi. Misalnya penyediaan bibit, pupuk, atau pelatihan. Mitigasi serupa termasuk untuk menyiapkan buruh dan industri yang beralih dari tembakau. “Kami ingin menyediakan paket solusi yang lengkap. Tidak hanya menyuruh orang pergi dari produksi tembakau,” kata Abdillah.
Kini studi Bappenas telah rampung. Pungkas sudah mengundang wakil lintas kementerian untuk memeriksa kajian mereka. “Tinggal diputuskan. Mau dijadikan dalam bentuk kebijakan seperti apa,” ujar Pungkas pada Selasa, 15 Desember lalu.
Edy Sutopo, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, mengaku belum terlibat banyak dalam rapat-rapat pembahasan studi dan peta jalan industri hasil tembakau. Tapi Edy masih membawa aspirasi yang sama dari sektor perindustrian. Menurut Edy, belum ada aktivitas ekonomi lain yang mampu menggantikan industri hasil tembakau, baik dalam kemampuan menyerap tenaga kerja maupun menyumbang penerimaan cukai kepada negara.
Pada 2020, target penerimaan cukai sebesar Rp 172,2 triliun dan Rp 178,5 triliun pada 2021. Porsinya 10 persen dari total penerimaan negara. Kontribusi tembakau hanya kalah oleh pendapatan pajak badan non-minyak dan gas serta pajak pertambahan nilai. “Saya masih berharap industri hasil tembakau ini diberi kesempatan buat tumbuh,” ucap Edy pada Jumat, 18 Desember lalu. “Yang antitembakau, perlu berpikir panjang dan harus ikut mencari alternatif kalau industri ini dikerdilkan atau dimatikan.”
Beban mencari solusi itu mau tak mau ada di Kementerian Koordinator Perekonomian. Mereka harus mengkoordinasi kepentingan banyak kementerian sekaligus mempertimbangkan kepentingan kesehatan. Masalahnya, isu kesehatan berada di bawah koordinasi kementerian koordinator lain, yakni bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengaku sudah tahu keberadaan studi Bappenas tadi. “Kajian Bappenas tersebut menjadi bagian dari diskusi untuk penyusunan peta jalan industri hasil tembakau yang komprehensif,” tutur Susiwijono lewat jawaban tertulis, Jumat, 18 Desember lalu.
Berbentuk peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden, Susiwijono melanjutkan, peta jalan nantinya mencantumkan program jangka menengah dan panjang. Dia juga mengatakan peta jalan tersebut akan mencantumkan kebijakan dan program yang jelas. “Sehingga bisa dijadikan pedoman dan referensi utama bagi pelaku usaha dan juga pemerintah,” katanya. Sayangnya, Susiwijono tak menyebutkan target waktu penyelesaian kebijakan itu. Padahal justru itu yang paling ditunggu.
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo