Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat adat Rakyat Penunggu memanen lebih dini karena penggusuran.
Para perempuan ikut menghadang buldoser yang hendak masuk kampung.
Sempat berhasil, pertahanan mereka bobol: rumah dan ladang rata dilibas alat berat.
MAHYANUN tersungkur ketika petugas keamanan menghalau para perempuan masyarakat adat Rakyat Penunggu. Dalam posisi mendeprok, perempuan 64 tahun itu berupaya menghindari injakan seorang petugas keamanan.
Dorongan petugas turut menjatuhkan seorang rekan Mahyanun yang semula berniat menolong. Siang itu, 30 September lalu, bentrokan antara masyarakat Rakyat Penunggu dan petugas PT Perkebunan Nusantara II yang dibantu aparat Tentara Nasional Indonesia pecah di Kampung Durian Selemak, Kecamatan Wampu, Langkat, Sumatera Utara.
Bersama puluhan perempuan Rakyat Penunggu, Mahyanun berusaha menghadang buldoser yang hendak “membersihkan” belasan rumah dan lahan warga kampung. Permukiman Mahyanun masuk wilayah lahan yang diklaim milik PTPN II berdasarkan sertifikat hak guna usaha. “Kami mendapat warisan tanah ini dari leluhur yang sudah tinggal sejak puluhan tahun lalu,” kata Mahyanun di Kampung Durian Selempak pada Rabu, 16 Desember lalu.
Dua hari sebelumnya, 28 September, Mahyanun sudah bersiap menghadang alat berat yang hendak masuk ke kampung. Gesekan antara para perempuan Rakyat Penunggu dan petugas keamanan sudah terjadi pada hari itu. Sanun—panggilan Mahyanun—melihat sendiri seorang ibu dicampakkan ke parit oleh petugas keamanan PTPN II. Menurut Mahyanun, aparat TNI sudah dikerahkan pada hari pertama bentrokan.
Tak mampu menembus pagar hidup perempuan Rakyat Penunggu, perusahaan menarik mundur petugas dan alat berat. Besoknya, mereka datang lagi. Kali ini pertahanan warga dan ibu-ibu Rakyat Penunggu bobol. Buldoser merambah ladang masyarakat yang ditanami jagung.
Pohon buah seperti jeruk, manggis, dan rambutan roboh digilas buldoser dan alat berat lain. Sedikitnya 15 rumah warga Rakyat Penunggu juga rata dengan tanah, termasuk rumah dan pekarangan anak Mahyanun. “Sekarang saya sudah tak punya apa-apa lagi,” ujarnya.
Sejumlah warga kampung menyebutkan perusahaan tak pernah mengirim surat pemberitahuan rencana pembersihan lahan. Cuma ada spanduk terpasang di sejumlah titik. Spanduk itu berisi klaim PTPN II atas tanah dan pembangunan kebun tebu. Hal itu memaksa sejumlah perempuan pemilik kebun jeruk memanen buah lebih awal, meski buah-buah itu belum ranum.
Di Pertumbukan, kampung tetangga Durian Selemak, Juriah mengalami nasib serupa dengan Mahyanun. Mereka sama-sama berasal dari masyarakat adat Rakyat Penunggu. Perempuan 36 tahun itu memiliki ladang seluas 10 rante—sekitar 4.000 meter persegi—yang sudah dikelola bersama keluarga selama 25 tahun. Di atas tanah itu, Juriah menanam sawit, kelapa, dan jagung. Sesekali ia menanam ubi, mentimun, dan kangkung.
Menurut Juriah, ubi-ubian dan sayuran dikonsumsi untuk kebutuhan keluarga. Dari berjualan jagung dan buah sawit, Juriah dan suaminya membiayai sekolah ketiga anaknya. Lahan sumber penghasilan Juriah ikut digaruk alat berat PTPN II pada akhir September lalu. “Suami akhirnya kerja serabutan menjadi sopir yang penghasilannya tak pasti,” ucapnya.
Corporate Secretary Holding Perkebunan Nusantara Imelda Pohan tak merespons permintaan konfirmasi yang dikirim melalui pesan WhatsApp, meski ia berjanji akan memberikan jawaban tertulis. Pada 30 September lalu, di Markas Kepolisian Resor Langkat, pengacara PTPN II, Sastra, membantah kabar bahwa perusahaan melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat Rakyat Penunggu. “PTPN II berupaya mengamankan dan mengelola asetnya,” kata Sastra waktu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo