Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Malam Berdarah di Istana Ittihadiya

Konflik politik di Mesir kembali menelan korban jiwa. Tokoh-tokoh oposisi menggalang kekuatan.

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerusuhan pecah di samping Istana Ittihadiya, Kairo, Rabu pekan lalu. Dua kelompok besar berhadapan di luar istana kepresidenan Mesir itu. Mereka saling lempar batu. Bom molotov berpendaran di udara seperti kembang api, lalu jatuh menghantam dua kelompok yang bertikai.

Tembakan gas air mata dari polisi tak membuat kubu pendukung Presiden Muhammad Mursi dan penentang pemerintah itu surut langkah dari Istana, yang terletak di Heliopolis—wilayah timur laut Kota Kairo. "Tolak pemerintahan diktator," teriak kelompok oposisi. Teriakan mereka ditingkahi raungan kelompok pendukung Mursi: "Membela Mursi berarti membela Islam."

Korban pun berjatuhan. Media setempat melaporkan lima orang tewas dan lebih dari 350 orang luka-luka dalam bentrokan yang berlangsung di Jalan El-Maraghbi itu. Para demonstran di kedua belah pihak terluka karena tidak bisa melihat arah datangnya batu dan bom molotov tersebut.

Sirene ambulans meraung-raung tanpa henti. Suasana semakin mencekam karena listrik di permukiman di sekitar Istana dipadamkan. Hanya ada sedikit cahaya dari bom molotov serta api dari barang-barang yang dibakar demonstran. Ini merupakan bentrokan terbesar sepanjang demonstrasi menentang dekrit presiden yang dikeluarkan 22 November lalu dan pemecatan Jaksa Agung Abdul Majid Mahmud. Polisi telah menahan 32 orang dari kedua kelompok.

Malam sebelumnya, para penentang Mursi yang mengepung Istana Kepresidenan meneriakkan yel-yel "Erhal" (turun dari jabatan), "Mursi haram", dan "Al-Ikhwan al-Muslimun haram". Mereka memasang spanduk berukuran besar di pagar Istana. Akibat ulah mereka, Mursi—yang memenangi pemilihan umum pada Juni lalu—terpaksa meninggalkan Istana melalui pintu belakang.

Para penentang Mursi menjadikan Lapangan Tahrir sebagai titik pusat berkumpulnya massa, sama seperti ketika para demonstran bergerak melawan Husni Mubarak setahun lalu. Kelompok oposisi ini dimotori sejumlah tokoh revolusi 2011 yang menggulingkan Mubarak, seperti Mohamed ElBaradei, Amr Mousa, dan Ham­deen Sabahi.

Sedangkan para pendukung Mursi memilih Lapangan Nahdhah (Lapangan Kebangkitan), yang tidak lebih besar daripada Lapangan Tahrir. Dukungan untuk Mursi mengalir tidak hanya dari Kairo, tapi juga dari beberapa kota lain di Mesir.

Sebelum bentrokan besar Rabu malam itu, kedua kelompok kerap terlibat bentrokan di Jalan Muhammad Mahmud, yang terletak di antara Lapangan Tahrir dan Lapangan Nahdhah. Salah seorang pemimpin Al-Ikhwan al-Muslimun, Mahmud Hussen, menolak tudingan bahwa tindakan massa pendukung Mursi—yang oleh sejumlah media dianggap arogan—merupakan wajah asli al-Ikhwan al-Muslimun. Ia mengatakan ada penyusup yang ingin mengacaukan suasana unjuk rasa damai itu.

Menurut Hussen, pihaknya sudah berusaha menghindari bentrokan. Keputusan mereka tidak menggunakan Lapangan Tahrir sebagai tempat berkumpul merupakan upaya menghindari bentrokan dengan penentang Mursi.

Dalam setiap unjuk rasa, para penentang Mursi memukuli besi di sekitar mereka, seperti pagar dan papan reklame. Ini merupakan sinyal khusus agar massa penentang Mursi berkumpul di sumber bunyi. Maklum, dalam kondisi lapangan yang semrawut, sulit membedakan massa penentang dan pendukung Mursi.

Bahkan sering kali, seusai unjuk rasa, kedua belah pihak naik bus yang sama dan melanjutkan debat di atas bus. Tak jarang pula korban bentrokan dari kelompok penentang dan pendukung Mursi berada dalam satu kamar rawat di rumah sakit terdekat.

Sejak dua pekan lalu, lebih dari seratus ribu orang berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan menuntut Presiden Mursi mundur dari jabatannya. Mereka kecewa terhadap dekrit presiden yang memberikan kekuasaan hampir tak terbatas kepada Mursi. Mereka khawatir isi dekrit itu diselewengkan kroni-kroni Mursi dalam membuat Rancangan Konstitusi. Para penentang Mursi menganggap isi dekrit itu tidak sejalan dengan semangat revolusi.

Salah seorang penentang Mursi, Mohammad Tohami, 35 tahun, mengatakan pihaknya akan terus mengawal keputusan Mursi untuk menghindarkan penyelewengan kewenangan, yang pada akhirnya akan merugikan Mesir. Ia khawatir dekrit itu bisa menjadikan Mursi diktator baru.

"Terkadang perjalanan seseorang dapat membuatnya lupa melihat ke belakang. Karena itu, kami ada di sini untuk mengingatkan dia," ujar Tohami kepada Tempo di Lapangan Tahrir, Rabu pekan lalu. Pada pemilihan umum Mei lalu, Tohami memilih Mursi karena, menurut dia, pada saat itu bekas Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan ini mendukung revolusi.

Mohamed ElBaradei mengingatkan Mursi bahwa perpecahan ini akan menjerumuskan Mesir ke kerusuhan lebih buruk. Ia mengancam akan menggalang unjuk rasa lebih besar untuk menghentikan referendum—yang digelar untuk meloloskan Rancangan Konstitusi pada 15 Desember ini.

"Kami tidak akan berhenti memperjuangkan kebebasan dan harga diri kami sampai kami menang," ujar ElBaradei, tokoh reformasi dari Front Penyelamat Nasional, yang baru diangkat sebagai koordinator serikat oposisi sekuler.

Kelompok oposisi marah karena penyusunan Rancangan Konstitusi oleh Komite Perancang Konstitusi, yang beranggotakan 100 orang, tanpa partisipasi anggota dari kelompok Kristen dan Liberal. Mereka menganggap rancangan itu tak melindungi hak-hak perempuan dan kelompok minoritas, dan justru memperkuat posisi ulama Islam dengan memberi mereka hak suara dalam proses legislasi. Sejumlah pasal sengaja dirancang untuk menyingkirkan musuh-musuh kelompok islamis. Rancangan itu juga dituding mengebiri kebebasan berekspresi.

Para hakim mogok, memprotes dekrit itu karena yudikatif tak boleh lagi membubarkan parlemen dan Dewan Perumus Konstitusi. Klub hakim—serikat yang beranggotakan 9.500 hakim—menyatakan tidak akan mengawasi jalannya referendum. Jika Rancangan Konstitusi lolos dalam referendum, pemilihan anggota parlemen akan dilaksanakan dua bulan setelahnya dan berlangsung tanpa pengawasan Mahkamah Mesir.

Wakil Presiden Mahmud Mekki yakin para hakim akan bekerja kembali memeriksa isi Rancangan Konstitusi dan mempersiapkan referendum. Meski sebagian besar hakim menolak dekrit dan isi Rancangan Konstitusi, Mekki memastikan referendum akan berlangsung sesuai dengan jadwal. Sebab, kata dia, pemeriksaan isi Rancangan dan penyiapan referendum tidak hanya dilakukan para hakim di Majelis Konstitusi, tapi juga oleh hakim-hakim lain di luar Majelis.

Para pendukung Mursi juga tak tinggal diam. Mereka bergerak melawan para penentang junjungan mereka dengan turun ke jalan. Pada 1 Desember lalu, mereka mengumpulkan dua jutaan orang di Universitas Kairo untuk menghindari bentrokan dengan oposisi di Lapangan Tahrir. Dengan khidmat mereka mendengarkan pidato para tokoh pendukung Mursi, di antaranya Safwat Higazi, salah seorang penggerak revolusi 2011. Higazi mengatakan kelompok yang berkumpul di Lapangan Tahrir dimotori antek Mubarak.

Namun kelompok pendukung Mursi tak seluruhnya berasal dari Al-Ikhwan al-Muslimun. Banyak dari mereka warga biasa yang menginginkan perubahan. Mereka melihat kebijakan Mursi sudah benar di tengah ketidakpastian hukum dan politik setelah Mubarak lengser.

"Ini bukan gerakan Al-Ikhwan sebagai partai pendukung Mursi. Ini gerakan mendukung revolusi agar terus terjaga dan berjalan ke arah lebih baik," ujar Mogaheed Assalam, 29 tahun, ketika ditemui Tempo di Universitas Kairo, Sabtu dua pekan lalu. Ia mengaku bukan anggota Al-Ikhwan al-Muslimun.

Assalam mengatakan, setelah Mubarak turun, tidak serta-merta semua kroninya lengser. Revolusi Mesir, kata dia, bisa terhambat bila setiap kebijakan Mursi ditentang para kroni Mubarak. "Saya setuju pemberlakuan dekrit ini untuk membersihkan rezim lama dan membangun rezim baru yang bersih untuk Mesir yang lebih baik."

Pakar Timur Tengah dari Brookings Doha Center, Shadi Hamid, memperkirakan Mursi akan menjadi lebih kuat setelah referendum. Menurut dia, Al-Ikhwan al-Muslimun mendesakkan referendum bukan tanpa alasan. "Mereka percaya referendum akan memberi tambahan mandat yang membenarkan dekrit Mursi."

Namun unjuk rasa memang mengguncang pemerintahan Mursi. Rabu pekan lalu, tiga anggota tim penasihatnya mundur mendadak. Mereka adalah Seif Abdelfattah, Ayman al-Sayyad, dan Amr al-Leithy, yang keluar menyusul tiga anggota staf presiden yang mundur sepekan sebelumnya—salah satunya Samir Morcos, cendekiawan Kristen Koptik.

Konflik Mesir juga membuat gusar Amerika Serikat. Abang Sam khawatir gonjang-ganjing politik itu mengganggu kesepakatan damai Mesir-Israel. Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton mengatakan Mesir harus segera menggelar dialog. "Konstitusi harus menjunjung hak semua warga negara," ujarnya seperti dikutip Reuters.

Sapto Yunus, Akbar Pribadi Brahmana Aji (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus