Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGADUHAN pecah begitu hakim menyatakan Joshua Reynaldo Radja Gah bersalah. Lima puluhan pengunjung sidang mendadak sontak mengamuk saat mendengar pria 21 tahun itu dihukum empat tahun penjara. Mereka menggebrak meja, membanting kursi dan pintu, serta memaki hakim dan puluhan polisi yang berjaga-jaga.
"Ini rekayasa. Di mana hati nurani kalian!" seorang pengunjung berteriak lantang di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pengunjung lain, yang rata-rata "berseragam" baju putih dengan syal hitam, menimpali dengan pekikan, "Joshua free!"
Selasa dua pekan lalu itu, amarah keluarga dan teman Joshua masih membara meski sidang sudah dibubarkan. Saat Joshua meninggalkan gedung pengadilan dengan mobil tahanan, mereka terus berteriak. Di mobil tahanan, Joshua hanya menangis tersedu-sedu. "Mengapa saya dihukum? Mana keadilan?" kata Slamet Yuono, pengacara Joshua, menirukan ucapan terakhir kliennya sebelum masuk mobil tahanan.
Joshua divonis bersalah mengeroyok Kelasi Arifin Sirih hingga tewas pada 31 Maret lalu di arena balapan sepeda motor liar di Jalan Benyamin Sueb, Pademangan, Jakarta Utara. Majelis hakim yang dipimpin Harsono mengabaikan pembelaan Joshua bahwa dia berada di tempat lain saat Arifin meregang nyawa.
Tanpa perlu berpikir panjang, Joshua dan pengacaranya langsung mengajukan permohonan banding. "Jangankan dihukum empat tahun, dihukum sehari saja kami pasti banding," ujar Slamet setelah pembacaan putusan.
SEMULA cekcok itu hanya melibatkan pengemudi mobil Avanza hitam dan kontainer. Penyebabnya, kendaraan mereka bergesekan di lajur cepat Jalan Benyamin Sueb, 31 Maret dinihari lalu. Tapi, karena dua pengemudi itu ribut di lajur yang akan dipakai balapan liar, emosi kelompok pendukung adu cepat sepeda motor pun terpancing. Mereka memarahi kedua sopir itu dan mengusirnya dari jalur balapan.
Kala ribut-ribut itu terjadi, dari arah belakang truk, dua lelaki bersepeda motor datang melerai. Berbaju preman, mereka ternyata anggota TNI Angkatan Laut berpangkat kelasi: Arifin Sirih dan Albert Tabra. Kedatangan dua anggota staf Pangkalan Armada Maritim Wilayah Barat itu malah memanaskan situasi. Cekcok mulut pun berubah jadi baku pukul. Terdesak, anak-anak geng motor berlari menuju kerumunan temannya. Kelasi Arifin mengejar mereka hingga garis start balapan.
Dari sekitar garis start, puluhan anak geng motor berbalik menyerang dan mengejar Arifin. Ketika berlari, Arifin terjatuh. Dia diinjak-injak, lalu dipukuli dengan helm, balok kayu, dan batu. Terluka di sekujur tubuh, Arifin akhirnya meninggal. Adapun Albert, setelah lolos dari maut, melapor ke kantor Kepolisian Sektor Pademangan.
Hampir sepekan berlalu, polisi belum menemukan biang kerok pengeroyokan. Kecewa terhadap kelambanan polisi, sekelompok orang diam-diam merancang serangan balasan. Pada 7, 8, dan 12 April 2012, puluhan lelaki berambut cepak dan bersepeda motor menyisir tempat yang biasa menjadi arena balap liar. Geng motor ini melakukan pengejaran dan pemukulan membabi-buta terhadap siapa pun yang nongkrong atau berada di tempat-tempat itu. Aksi balas dendam tersebut memakan korban. Puluhan remaja terluka dan dua orang, Ismail Soleh, 17 tahun, dan Anggi Darmawan, 19 tahun, tewas terkena bacokan.
Teror "geng motor cepak" di Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, mendapat perlawanan dari sekelompok orang yang mengendarai mobil jenis city car. Mereka menembak rombongan motor itu. Dua terluka. Identitas mereka kemudian diketahui: Prajurit Dua Akbar Fidi Aldian, anggota Komando Strategis TNI Angkatan Darat, dan Kelasi Satu Sugeng Riyadi, anggota Lembaga Farmasi TNI Angkatan Laut. Anggota geng motor itu ternyata sebagian besar personel Angkatan Laut ditambah sejumlah prajurit Angkatan Darat (Tempo, 29 April 2012).
Belakangan Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Waris mengumumkan empat serdadu terlibat gerombolan brutal itu. Mereka adalah Sersan Dua Yogi Pramana, Sersan Dua Jaka Trima, Prajurit Kepala Mazuri, dan Prajurit Satu M. Khotibul Imam. Semuanya berasal dari Artileri Pertahanan Udara VI Tanjung Priok.
Berbeda dengan TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut tak pernah mengumumkan nama anggotanya yang terlibat aksi penyisiran maut. Menurut sumber Tempo, TNI Angkatan Laut pun tak memberi akses memadai kepada tim gabungan polisi militer dan Kepolisian Daerah Metro Jaya, yang menginvestigasi kasus itu.
Nah, di bawah bayangan teror "geng motor jadi-jadian" itu, pada 9 April lalu, polisi menjemput Joshua dari rumah orang tuanya di Jalan Seroja, Rawa Badak, Jakarta Utara. Dari tempat berbeda, polisi menangkap Abdul Kahar alias Idung, Adrian Pance, dan Michael Tri Fernando. Ketiganya diduga turut mengeroyok Arifin.
Polisi menangkap Joshua atas informasi saksi bernama Apner. Tanpa didampingi pengacara, di kantor polisi, Joshua diminta meneken berita acara pemeriksaan, yang kelak menyudutkannya. Dalam berita acara 10 April 2012 itu, Joshua mengaku tiga kali meninju Arifin ketika korban menghalangi dia memacu sepeda motor Ninja Kawasaki 250 RR. Pengakuan awal Joshua ini persis sama dengan kesaksian Apner kepada polisi.
Sepekan kemudian, Joshua mencabut pengakuan awalnya. Kali ini dia telah didampingi kuasa hukum dari kantor pengacara Otto Cornelius Kaligis. Pada berita acara baru, Joshua mengaku berada di tempat lain sewaktu Arifin dikeroyok. Bersama lima temannya, dia berada di gerai McDonalds di Mal Artha Gading, beberapa kilometer dari lokasi kejadian.
Kepada pengacaranya, Joshua mengaku terpaksa meneken berita acara pertama karena diancam. Penyidik mengancam akan menyerahkan Joshua kepada teman-teman Arifin di Armada Maritim Barat. Penyidik pun memperlihatkan foto-foto korban Âamukan geng motor berambut cepak kepada mahasiswa semester VI Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti itu.
Di persidangan, hanya saksi Apner yang berkukuh melihat Joshua memukul Arifin. Katanya, Joshua tiga kali menonjok Arifin sambil duduk di atas Kawasaki Ninja warna oranye. Anehnya, Apner mengaku tak melihat kontainer dan minibus yang serempetan di Jalan Benyamin Sueb dinihari itu. Adapun saksi Albert Tabra mengaku hanya melihat orang mirip Joshua di antara puluhan pengeroyok. Sedangkan saksi lain, termasuk yang dihadirkan jaksa, mengaku tak melihat Joshua di tempat itu.
Sebaliknya, ada tiga saksi yang menyebutkan Joshua berada di McDonald’s Artha Gading dari pukul 01.00 sampai pukul 03.30. Mereka adalah Bayu, Lutfi, dan Ponco, teman dekat Joshua. Menurut mereka, malam itu Joshua pun tak mengendarai sepeda motor Kawasaki Ninja 250 RR, tapi Suzuki Satria.
Karena keterangan saksi bertentangan, pengacara meminta hakim memutar rekaman 16 kamera CCTV di McDonald’s Artha Gading. Namun, hingga proses pembuktian berakhir, rekaman CCTV tak pernah diputar di persidangan. "Kalau tak ada yang disembunyikan, semestinya semua rekaman diputar," ucap Slamet.
Jaksa penuntut umum Saptono pun menuntut Joshua empat tahun penjara. Menurut jaksa, Joshua melanggar Pasal 170 dan 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pengeroyokan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Pasal yang sama dipakai jaksa menjerat tiga terdakwa lain, yakni Abdul Kahar, Adrian Pance, dan Michael Tri Fernando.
Di akhir persidangan, hakim menghukum Joshua empat tahun penjara. Majelis hakim mengabaikan pengakuan Joshua ditekan penyidik sewaktu meneken berita acara. Alasan hakim, bila ditekan penyidik, Joshua tak mungkin bisa menjawab secara terperinci, seperti menyebut nama orang tua, saudara, dan teman-temannya.
Hakim pun memutus Abdul Kahar, Adrian Pance, dan Michael Tri Fernando bersalah. Tapi mereka hanya dihukum tiga tahun penjara. Ketiganya dihukum lebih ringan karena mengakui dan menyesali perbuatan mereka. Itu berbeda dengan Joshua, yang dianggap hakim berbelit-belit dan terus menyangkal. "Klien kami tak mungkin mengakui perbuatan yang tak dia lakukan," ujar Slamet.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut Laksamana Pertama TNI Untung Suropati menyambut positif vonis bagi para terdakwa penganiaya Arifin. Untung pun meminta kasus penganiayaan Arifin diungkap tuntas. "Bila ditemukan ’Joshua’ lain, mereka harus dihukum," kata Untung kepada Isma Savitri dari Tempo.
Lalu bagaimana nasib pengusutan anggota geng motor berambut cepak? Menurut Untung, tiga anggota TNI Angkatan Darat dan delapan anggota TNI Angkatan Laut sudah dikenai hukuman disiplin. Mereka pernah ditahan selama dua pekan. Inilah yang, menurut Slamet, jauh dari rasa keadilan. Untuk kasus penganiayaan yang juga berujung pada kematian, kata Slamet, hukuman bagi para serdadu itu seperti mengoyak rasa keadilan.
Jajang Jamaludin, Istman Musa Harun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo